Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yogyakarta- Kekerasan seksual terhadap perempuan difabel di Yogyakarta selama tiga tahun terakhir terus bertambah. Penyandang difabel yang tergabung dalam Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (Ciqal) mencatat terdapat 92 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel dalam tiga tahun terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lemahnya penanganan dan penegakan hukum membuat mereka mendesak Dewan Perwakilan Rakyat segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun, dua tahun berjalan, RUU ini tak juga segera disahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari 92 kasus kekerasan seksual terhadap difabel catatan Ciqal, hanya tiga kasus yang dibawa dalam proses hukum hingga tingkat pengadilan. Sisanya hanya ditangani secara medis, psikologis, dan ekonomi. Direktur Ciqal, Nuning Suryaningsih, mengatakan perkosaan menjadi jenis kekerasan seksual paling banyak yang menimpa perempuan difabel.
Mereka di antaranya merupakan penyandang tuli. “Pelaku seringkali meneror korban agar tidak melaporkan kasus kekerasan seksual,” kata Nuning dalam diskusi public menggalang dukungan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Rabu, 25 Oktober 2017.
Menurut Nuning, sejumlah perempuan difabel juga kurang mendapatkan pengetahuan tentang kekerasan seksual dan tidak memahami hak-haknya yang kerap dilanggar. Ia mencontohkan perempuan disabilitas yang hamil banyak yang meninggal setelah melahirkan secara prematur. Mereka pun mendapatkan rintangan ketika berhadapan dengan masyarakat. Perempuan difabel cenderung tidak dipercaya dan dipojokkan karena keterbatasannya.
Ketika menjalani proses hukum, polisi seringkali meragukan kesaksian mereka. Dalam menjalani proses hukum, perempuan difabel kesulitan berkomunikasi dengan polisi karena tidak ada penerjemah maupun pendamping. Nuning berharap anggota dewan benar-benar serius memperhatikan perempuan difabel. “Kami perlu kebijakan yang tidak sekadar administrasi sifatnya. Tapi, benar-benar adil dan memanusiakan,” kata Nuning.
Ketua Forum Perlindungan Korban Kekerasan Daerah Istimewa Yogyakarta, Yosephine Sari Murti, mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan karena kasus kekerasan seksual semakin bertambah dan penanganan hukum belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Tanpa adanya aturan itu, pelaku yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi sulit dijerat.
Dia mencontohkan kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan di bawah 18 tahun di Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul yang proses hukumnya terhambat. Penyebabnya adalah pelaku merupakan anggota DPRD. “Pelaku melakukan negosiasi dengan keluarga dan proses hukumnya mental,” kata Sari Murti.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, kata dia diperlukan untuk mempertajam dan mengisi kekosongan di aturan sebelumnya. Dalam RUU ini dirumuskan definisi kekerasan seksual, usulan bukti-bukti kekerasan seksual selain visum, misalnya hasil pemeriksaan psikolog.
Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY mencatat tahun 2016 terdapat 527 korban kekerasan seksual. Bentuk kekerasan seksual itu di antaranya perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, dan kekerasan seksual. Dari jumlah itu, sebanyak 15 korban merupakan perempuan difabel.
Perempuan difabel yang menjadi korban perkosaan oleh tetangganya. mengalami serangkaian kekerasan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya karena diolok-olok. Kasus kekerasan ini kata Sari Murti terjadi di Kabupaten Sleman. “Ketidakpekaan dan stereotipe masih kerap terjadi. Ini melanggar hak dan mengurangi martabat kemanusiaan,” kata dia.
Sari Murti mendesak negara untuk serius memberikan jaminan perlindungan terhadap korban yang mengalami kekerasan seksual. Ia berharap anggota DPR semakin terbuka dan berkomitmen membuka mata terhadap kasus kekerasan seksual.
Dalam diskusi publik itu, mereka juga mengedarkan petisi dukungan untuk mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Mereka yang membubuhkan tanda tangan untuk petisi itu di antaranya aktivis perempuan dan aktivis penyandang disabilitas.
SHINTA MAHARANI