Untuk peresmian sebuah gedung, seorang camat, di depan undangan, menganiaya wanita yang mempertahankan tanahnya. CAMAT Abdul Rachman benar-benar gregetan. Bayangkan. Tamu sudah berdatangan untuk menghadiri peresmian kantor Perum Husada Bhakti Medan di Kelurahan Karang Berombak. Sebentar lagi, atasannya, Sekretaris Wilayah Daerah Sumatera Utara yang akan meresmikan juga akan datang. Tapi di kompleks bangunan baru itu, sejak pagi-pagi sudah ada pemandangan tak sedap. Sebanyak 25 orang ibu-ibu unjuk rasa. Mengenakan kaus bertuliskan "Mohon Keadilan" sambil menenteng gambar Presiden Soeharto dan Wapres Sudharmono, mereka mengklaim bahwa tanah yang akan diresmikan itu masih dalam sengketa. Menghadapi ibu-ibu itu, Camat dan anak buahnya tampak sibuk berkomunikasi lewat handy talky. Setelah ada suara "Segera bersihkan ...," Camat Abdul Rahman pun mengomandoi anak buahnya. Siti Boru Sinaga, 45 tahun, yang dianggap komandan pengunjuk rasa, dikeroyok. Pentungan, tendangan, dan pukulan mendarat di tubuh wanita itu. Pengunjuk rasa lainnya bubar. Tinggal Siti, "pemeran utama" adegan itu. Setelah menginjak-injak, Camat dan anak buahnya menggotong ramai-ramai ibu delapan anak itu dan melemparkannya ke atas mobil patroli. Selanjutnya, mobil pun diperintahkan meluncur ke kantor polisi Kota Medan. "Saya diperlakukan seperti babi saja," kata Siti pada TEMPO setelah keluar rumah sakit Minggu lalu. Adegan mengusir ibu-ibu berkaus "Mohon Keadilan" 14 Agustus lalu itu secara lengkap disaksikan puluhan pejabat dan tamu lainnya. Setelah "bersih", acara peresmian pun dimulai, dengan pidato dan peninjauan seperti layaknya upacara peresmian gedung. Kasus penganiayaan itu masih disidik polisi. Sedang penyebab insiden itu masih tak jelas arahnya. Pada mulanya, Siti gigih mempertahankan tanah miliknya seluas 2.500 m2 yang kini dipakai untuk kantor PHB. Siti membelinya seharga Rp 50 juta pada 1972 dari Tengku Hidayat. Karena tahu riwayat tanah itu, 25 wanita ahli waris Tengku Hidayat pun solider membantu Siti unjuk rasa. Tanah itu kini diambil Perum Husada Bhakti (PHB). Siti pernah mengadukannya ke Dinas Penertiban Medan. Konon, PHB tak punya IMB, sehingga bangunan sempat disetop. Namun, kemudian urusan pun cair lagi. IMB, sertifikat atas nama PHB, keluar setahun lalu. Ketika itu, Siti bersedia menyerahkan tanahnya dengan janji akan mendapat ganti rugi. Ternyata, janji tinggal janji. Ia, lewat pengacaranya Syarief Siregar, menggugat PHB, BPN, Camat, dan Lurah, pada September 1990. Sebaliknya, PHB merasa tanah itu sudah miliknya, setelah membelinya dari Alboin Tambunan, Rp 125 juta pada April 1988. Transaksi memang cuma disaksikan dan ditandatangani Camat Medan Barat. Siapa yang benar-benar berhak atas tanah itu, mungkin pengadilan bisa menunjukkannya. Yang perlu segera diselesaikan mungkin kasus penganiayaan Siti di depan pejabat yang kemudian mengundang protes dari berbagai pihak itu. Misalnya saja Ketua Fraksi ABRI di DPRD Sum-Ut. "Bila perlu, oknum camat itu dipecat," kata Letkol. Aminsuar. Camat Rachman membantah apa yang dia lakukan di depan umum itu. "Mana mungkin saya terlibat secara fisik," katanya, ketika diserbu wartawan pekan lalu. Namun, dalam laporan tertulisnya, yang disampaikan kepada Wali Kota Medan, ia tak mungkir ikut "mengamankan" Siti dkk. Ia menyebutkan tindakan itu dilakukan agar keributan tak melebar. "Sebab, mereka sudah menunjukkan sikap keras kepala," tulis Abdul Rachman. Bersihar Lubis dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini