SAMPAI akhir pekan lalu, tak kurang dari 350 permohonan ditandatangani para anggota DPR untuk membeli mobil dengan fasilitas DPR. Sebagian telah menyatakan akan menjual kembali mobil tersebut. "Yang mengambil ke tempat kami sekitar 200 orang. Lima puluhan di antaranya sudah menyatakan akan menjual kembali jatah mereka," ujar Soegiarto Pribadi, penyelia (supervisor) di PT Sinar Inti Telaga, salah satu anak cabang Astra Motor. Kredit pembelian mobil dengan subsidi ini bukan monopoli anggota DPR. Kepres No. 48/1986 dan dilaksanakan dengan SK Menkeu 29 November tahun silam itu juga diperuntukkan pejabat-pejabat lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara lainnya. Keringanan itu sebenarnya berupa penghapusan bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN). Biaya yang bisa mencapai harga kendaraan itu sendiri ditanggung pemerintah. Sementara itu, bunganya hanya 12% per tahun, yang dicicil selama lima tahun. Maka, ini memang kesempatan yang terlalu sayang untuk disia-siakan. Bisa dimengerti bila ratusan anggota DPR segera memanfaatkan kesempatan itu. Tapi yang diramaikan: sebagian ternyata langsung menjual kembali jatah mereka. Dengan membawa surat persetujuan pembelian mobil itu, sang wakil rakyat mendatangi dealer mobil, yang langsung memberikan uang tunai sebesar selisih harga mobil dikurangi subsidi, hingga anggota DPR itu bisa melunasi pembelian itu di bank yang ditunjuk.Dengan begitu, mereka mengantungi keuntungan yang bisa mencapai belasan juta rupiah. Banyak yang mengecam praktek mencari keuntungan itu karena tujuan pemberian fasilitas itu untuk membantu kelancaran tugas para pejabat tersebut. Selain itu, menurut SK Menkeu yang mengatur pemberian fasilitas itu, pejabat penerima kredit tidak diperkenankan memindahtangankan kendaraan kepada pihak ketiga selama kredit belum lunas. Tapi para pembeli itu tentu punya alasan sendiri. "Sayang, dong, kalau fasilitas itu nggak dipakai. Soal bagaimana saya memakai, itu urusan saya," kata Rusli Desa, Ketua Komisi I dari FKP. Ia, yang sudah 15 tahun menjadi anggota DPR dan tak pernah menikmati fasilitas pemerintah ini, mengambil Corona seharga Rp 34,790 juta. Dari harga itu, yang harus dibayarnya sekitar Rp 18 juta dengan angsuran per bulan sekitar Rp 400.000 selama lima tahun. Tetapi Rusli tak memakainya sendiri. "Saya nggak sanggup membayar cicilan sebesar itu," katanya. Buat dia, tak soal dengan aturan kredit tersebut. "Tidak apa-apa. Barang itu 'kan diambil juga dari dealer, dan kreditnya juga dibereskan," kata Rusli lebih lanjut. Maksudnya, jatah itu dipakai temannya. "Ya, memang berat bagi teman-teman yang tidak duduk lagi di DPR untuk membayar cicilan itu, apalagi yang akan kembali ke daerah," kata Syufri Helmy Tanjung, 43 tahun, Ketua BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) DPR ini. Ia juga sangat maklum kalau mereka menjual kembali mobil itu. "Toh itu untuk pelunasan utangnya ke bank," katanya. Masalahnya bagaimana dengan subsidi yang diberikan pemerintah untuk kemudahan kerja tersebut. "Itu 'kan penghargaan pemerintah pada mereka. Hak mereka dong untuk menggunakan fasilitas itu," katanya lagi. Syufri mengambil Mada 626 SGX Prestige seharga Rp 41 juta. Karena plafonnya hanya Rp 35 juta, maka wakil FPP ini nombok Rp 6 juta. Ia tidak termasuk yang menjual kembali mobil kreditannya. Yang disayangkannya cuma mengapa hal ini diramaikan. "Masa anggota DPR lebih rendah dari dirjen. Mereka itu dapat mobil, dapat bensin, dapat sopir. Anggota DPR yang baru dapat kreditan mobil saja diributkan," kata Syufri. Rusli Desa menyambung, "Cuma karena kami ini lebih terbuka terhadap pers, maka kamilah yang disorot. Padahal, hal serupa mungkin juga terjadi pada pejabat lain."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini