Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANYA mendengar suara ketukan pintu, Sujarwo sering tersentak. Jantungnya berdebar-debar. Ia menjadi cemas dan gelisah. Ingatan lelaki 21 tahun ini segera melayang pada peristiwa 9 September 2004 di depan Kedutaan Besar Australia. Begitu ledakan menggelegar, asap menyergap, lalu ia mendengar jeritan, rintihan, dan melihat potongan tubuh yang tercabik-cabik.
Segala hal yang memilukan terekam amat jelas di kepalanya karena saat itu ia berada di balik pintu gerbang kedutaan, cuma sekitar empat meter dari pusat ledakan. Petugas keamanan Kedutaan Australia ini juga melihat pemandangan yang mengerikan: tubuh rekannya, Anton Sujarwo, yang remuk diterjang serpihan bom hingga tewas. Kawan yang nama belakangnya sama dengan dirinya itu sedang berada di luar pagar, hanya kira-kira dua meter dari bom mobil yang meledak.
Kendati selamat, Sujarwo sendiri terpental beberapa meter. Tangan kirinya remuk. Tangan kanan, kaki, dan punggungnya sobek. Sudah dua kali ia menjalani operasi pengangkatan serpihan bom dari tubuhnya. Sekarang keadaan Sujarwo, yang dirawat di Metropolitan Medical Centre (MMC), Kuningan, sudah membaik. Ia mulai berlatih berjalan.
Tapi kecemasan selalu mengejarnya. Setiap mendengar suara yang agak keras, ia langsung teringat peristiwa ledakan bom sampai ke detail-detailnya. Padahal, "Sebelumnya saya tidak pernah bisa mengingat sebuah kejadian yang sudah lewat secara mendetail begini," kata Sujarwo.
Ibunya, Tari Jumadi, yang menemaninya di rumah sakit, paham akan trauma yang dialami sang anak. Ia berusaha tidak membuat kaget Sujarwo. "Makanya, saya selalu hati-hati meletakkan sesuatu di meja. Dering handphone pun saya pelankan," ujarnya.
Menurut dr. Irmansyah, ahli psikiatri dari Universitas Indonesia, gejala kecemasan seperti yang dialami Sujarwo dikenal dengan istilah post-traumatic stress disorder (PTSD). Dipercaya, lebih dari 50 persen mereka yang terluka akibat bom akan menderita trauma. Sementara itu, 30 persen dari korban yang tidak terluka tapi berada di lokasi, menyaksikan banyak hal yang mengerikan, punya potensi untuk menderita hal yang sama.
Korban lainnya, Wayan Suarja, mungkin juga termasuk yang menderita PTSD. Saat kejadian, ia berada di lantai tujuh gedung Departemen Koperasi di seberang Kedutaan Australia. Pejabat Departemen Koperasi ini hanya terluka sedikit di kening, tangan kiri, dan kakinya karena terkena serpihan kaca dan eternit dari gedungnya. Luka ini sudah sembuh, tapi sampai sekarang Wayan masih sering dihinggapi kecemasan. Ketika pergi ke sebuah mal bersama anak-anaknya, ia tiba-tiba gelisah, keringat dingin mengalir deras, dan mukanya pucat. Dia merasa pusat perbelanjaan itu hendak meledak.
Begitu pula saat terjebak kemacetan di jalan, Wayan menjadi panik. "Saya merasa mobil di samping saya membawa bom yang siap meledak," ujarnya. Ia tidak tahu sampai kapan kecemasan akan lenyap. "Apa perlu saya ke psikiater untuk mengobati trauma ini?" tanya dia kepada Tempo.
Nyonya Chalyjah Seroja Daulay, yang mengalami luka ringan di tangan akibat bom, juga mengalami trauma serupa. Kini ia tidak mau lewat Jalan Rasuna Said di Kuningan. Bahkan, saking merasa traumanya, ibu dua anak ini akhirnya memutuskan pindah dari tempat tinggalnya di Karet Kuningan, Setiabudi, ke kawasan Depok.
Tidak semua korban mengalami trauma. Abdul Amsar, anggota satpam Kedutaan Australia, mengaku tidak menderita kecemasan. Padahal ia mengalami luka yang cukup serius: gendang telinga kanannya pecah, tangan dan kakinya robek. "Anggap saja ini cobaan. Jadi, saya lebih tawakal," tuturnya.
Begitu juga Rozy Munir, anggota Panitia Pengawas Pemilu yang sudah tiga kali berada di dekat ledakan bom—ledakan di Hotel JW Marriott, Komisi Pemilihan Umum, dan Kedutaan Australia—sama sekali tidak mengalami trauma. "Mungkin karena hobi saya menembak, suka film perang, jadi terbiasa mendengar suara ledakan," katanya.
Trauma yang diderita korban seperti Sujarwo, Wayan Suarja, dan Nyonya Chalyjah bukan tidak bisa disembuhkan. Menurut dr. W.M Roan, psikiater dari Rumah Sakit Ongkomulyo, Jakarta, mereka bisa menjalani terapi medis ke psikiater atau terapi kelompok. Terapi kelompok biasa dilakukan oleh relawan dan psikiater. Para korban dikumpulkan dalam sebuah kelompok kecil, lalu mereka diminta berbagi cerita tentang trauma yang dialaminya. Cara ini cukup efektif untuk melenyapkan kecemasan dan mimpi-mimpi buruk korban (lihat Terapi Lewat Diskusi).
Berkonsultasi langsung dengan psikiater pun tidak ada salahnya. Apalagi, Kepala Dinas Kesehatan DKI, Chalik Masulili, berjanji akan menanggung seluruh biaya pengobatan korban bom, termasuk terapi untuk menghilangkan trauma. "Jika ada rujukan dari dokter yang menanganinya dan masih terkait dalam rangkaian bom, kami akan menggantinya," tuturnya.
Eni Saeni, Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo