Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sandi rahasia para teroris, mereka disebut "pengantin". Bukan mempelai yang sedang menuju pelaminan, melainkan orang-orang yang siap mati dalam aksi bom bunuh diri. Buat mereka, bunuh diri adalah cara cepat menuju surga. Hanya dengan satu entakan, blar…, lalu bidadari datang menyambut.
Dalam bom Kuningan, pelaku peledakan disebut-sebut juga tewas di tempat. "Kami mengindikasikan hanya ada satu pelaku bom bunuh diri itu," kata Kepala Polisi Federal Australia (AFP), Mick Keelty, kepada Radio Australia. Bersama Polri, Keelty terlibat dalam penyelidikan bom yang terjadi di depan kedutaan negaranya itu.
Penyelidik Polri juga meyakini bom Kuningan dilakukan oleh pengebom berani mati. Sumber Tempo di Mabes Polri menyebutkan, dari lokasi kejadian aparat tidak menemukan serpihan telepon seluler—peralatan favorit untuk memicu ledakan dari jarak jauh.
Fakta ini diperkuat oleh kenyataan bahwa bom berpemicu ponsel selalu memiliki jarak waktu antara penekanan tombol dan saat ledakan. "Pada ledakan Marriott, mobil bom diparkir. Sedangkan pada bom Kuningan, mobil tetap berjalan. Jika menggunakan ponsel, ada jarak waktu sehingga mobil bisa nyelonong jauh dari sasaran," kata sumber itu.
Satu jenazah yang diidentifikasi polisi sebagai pelaku bom bunuh diri itu adalah Ahmad Hasan, mantan karyawan PT Pertani cabang Kediri. Dalam selebaran yang dibuat polisi, foto Hasan disandingkan dengan foto Dr. Azahari dan Noordin Mohammad Top, dua pria yang disebut-sebut sebagai mentor Hasan dalam urusan bom. "Besar kemungkinan, sistem yang digunakan adalah pull and release," kata seorang perwira polisi. Ia menduga, rem tanganlah yang digunakan untuk itu.
Dalam ledakan di Paddy's Café di Kuta, Bali, 2002 lalu, bom juga diduga diledakkan oleh "pengantin". Menurut Ali Imron, salah seorang pelaku, pengantin itu adalah Iqbal alias Arnasan. Iqbal disebut-sebut direkrut oleh Imam Samudra dan belum lama menjadi anggota komplotan. Seorang perwira polisi menyebut orang yang pandai mempengaruhi anggota komplotan agar mau jadi pengantin adalah Noordin Mohammad Top. "Dia ideolog dalam gerakan," kata sumber itu.
Begitu radikalkah para teroris itu dan begitu mudahkah seseorang mau dijadikan martir? Ada yang meragukannya. Seorang ahli bahan peledak dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD menilai kesimpulan bahwa bom Kuningan adalah bom bunuh diri terlalu prematur. Ia cenderung melihatnya sebagai bom yang dipicu dari jarak jauh. "Kalau tak ada sisa ponsel, ya, pesawatnya sudah hancur lebur," katanya. Soal rem tangan sebagai pemicu pun dinafikannya. Menurut dia, pelaku akan menghindari menggunakan rem tangan yang rentan meledak. "Risikonya tinggi. Siapa bisa menjamin tidak lupa menariknya di perempatan," katanya. Kesimpulan atas rekaman CCTV pun bertolak belakang dengan dugaan tim polisi. Rekaman, menurut dia, tidak memperlihatkan mobil berhenti sebelum meledak, satu hal yang mutlak ada bila mobil tersebut direm.
Sumber lain dari TNI menyebutkan klaim bunuh diri sebenarnya hanya dibuat untuk menjadikan para pelaku tampak heroik. Irfan Suryahadi Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia—organisasi yang kerap dikaitkan dengan gerakan Islam radikal—tidak yakin bom syahidlah yang meledak di berbagai tempat di Indonesia. "Bisa jadi mereka berpikir untuk Islam, padahal cuma diperalat," katanya.
Lepas dari silang pendapat tersebut, usia bom bunuh diri sebenarnya belumlah tua. Aksi seperti itu mulai populer ketika tentara pendudukan Israel menekan penduduk dan para pejuang Intifadah Palestina. Ketika korban di pihak Palestina berjatuhan, anggota gerakan garis keras Palestina membalasnya dengan bom manusia. Bom bunuh diri, di mata pelakunya di Palestina, adalah bom syahid atau amaliah al istisyhad.
Di Indonesia, pro-kontra aksi tersebut sangat tajam. Majelis Ulama Indonesia sendiri hanya menyetujuinya dalam konteks jihad di daerah perang (darul harb) seperti di Bosnia dan Palestina, namun tidak untuk negeri yang tengah dalam keadaan damai seperti Indonesia.
AZ/Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo