Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah polisi memburu Dr. Azahari dan Noordin M. Top mirip film kartun kucing memburu tikus. Walaupun polisi merasa si buruan sudah di depan hidung, tidak gampang menerkamnya segera. Operasi perburuan dijalankan di Jakarta. Agar tidak meleset seperti penggerebekan di Bandung tahun lalu, Ali Imron—salah satu pelaku bom Bali—diikutkan sebagai penunjuk untuk mengenali dua pelaku warga Malaysia yang diduga pelaku bom Bali dan Marriott itu.
Namun justru pada saat tersudut itulah keadaan berbalik. Diduga keras Azahari dan Top segera mengambil kesempatan untuk melakukan counter-attack dengan mengirim martir, dan mobil boks penuh bom, yang meledak hebat di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta, 9 September lalu. Sembilan orang warga negara Indonesia yang tak berdosa tewas.
Di markas besar kepolisian, sesungguhnya "korban" sudah lebih dulu jatuh. Dia tak lain adalah orang yang selalu "setia" menguntit ke mana saja embusan info tentang Azahari pergi, yakni Brigjen Polisi Gorries Mere, ketua tim khusus pengejaran doktor bom asal Malaysia itu. Namun, sejak kepergok di Kafe Starbucks di Plaza Indonesia, yang terletak di depan Bundaran Hotel Indonesia, awal September lalu, bersama Ali Imron—adik Amrozi, salah satu trio bom Bali asal Tenggulun, Jawa Timur—Gorries dikabarkan tidak lagi memimpin pengejaran. Ketua satuan tugas pengejaran Azahari-Noordin Top kini beralih ke tangan kolega Gorries, Kombes Bekto Suprapto.
Ke mana Gorries? Ketika Jakarta diguncang bom Kuningan, dia disebut sedang berada di Australia. Sumber Tempo di kepolisian menyebut Direktur Narkotika Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polri itu sedang kecewa setelah dipersalahkan membawa Ale—panggilan Ali Imron—ke Starbucks. Sumber lain yang tak mau disebut namanya menyebut Gorries sedang mengejar salah satu tersangka tindak kriminal di Negeri Kanguru.
Keterangan dari Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar membuat persoalan ini lebih jelas. "Tidak perlu ada prasangka yang tidak-tidak. Saya sudah menegur dia," kata Da'i kepada pers menunjuk Gorries Mere. Tampilnya terpidana Ali Imron di depan publik, menurut Da'i, sangat tidak menguntungkan polisi. "Saya harus menjelaskan kepada publik tentang target-target operasi Polri dalam kasus terorisme. Padahal, seandainya tidak ada kejadian tersebut, hal-hal semacam itu tidak perlu saya sampaikan," kata orang nomor satu kepolisian itu.
Yang tidak disampaikan, misalnya, Gorries ditugasi memimpin satuan tugas yang mempunyai sasaran khusus mengejar dan menangkap Azahari dan Noordin M. Top. Mereka juga harus memastikan doktor kimia lulusan Inggris itu tidak kabur ke luar Indonesia. Tugas tim yang anggotanya terdiri dari para reserse yang sukses menggulung para pelaku bom Bali itu juga untuk memastikan Noordin tak merekrut anggota baru.
Di lapangan, tim Gorries kadang bertemu dengan Detasemen 88, sebuah pasukan polisi antiteror dengan kemampuan layaknya Special Weapons and Tactics (SWAT) dari Amerika. Menurut Jenderal Da'i, Den 88 menangani kasus terorisme secara umum. Namun, lantaran yang diburu satu jaringan, kedua tim diberitakan sering saling salip di lapangan. Tapi agaknya bukan karena itu Gorries diganti Bekto yang berpangkat komisaris besar. Pergantian itu dimaksudkan agar tim pemburu teroris lebih solid di bawah koordinasi Direktur VI Antiteror dan Komandan Detasemen 88, Brigjen Pranowo Dahlan. Mengomentari tugas dua tim di bawahnya di lapangan, Pranowo menolak anggapan ada rivalitas. Ia berkomentar, "Kami bersinergi di lapangan."
Soalnya, tinggal bagaimana memadukan dua tim itu agar para pengebom bisa lebih cepat ditangkap. Jelas bukan perkara enteng, dan bahkan ada urusan nasib di sana. Ketua tim investigasi bom Bali, Inspektur Jenderal I Made Mangku Pastika, menyebut kadang ada faktor "keberuntungan" dalam penangkapan teroris itu. Dan tentu perlu usaha keras. Itulah yang membawa Gorries dan Ali Imron ke Starbucks, kata sumber Tempo. Langkah Gorries itu, menurut Pastika, "Pasti bukan untuk bersenang-senang seperti dibayangkan orang. Gorries itu reserse kawakan."
Gorries membawa Ali Imron ke Jakarta bukan tanpa alasan, menurut sumber Tempo. Azahari diduga telah bersalin rupa. Hanya "orang dalam" seperti Ali Imron yang mungkin sanggup mengenalinya. "Menangkap teroris harus dengan memanfaatkan teroris," ujar sumber itu membela Gorries. Sumber ini menilai Gorries adalah perwira yang prestasinya menonjol. Dan, kata sumber ini, "Tidak semua orang senang melihat macan. Mereka lebih suka kucing."
Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo