Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NGURAH Anom, 32 tahun, pernah sulit tidur selama enam bulan setelah bom meledak di Legian, Bali, pada 12 Oktober 2002. Saat bom menggelegar, anggota satpam sebuah restoran ini berada cukup dekat dengan sumber ledakan. Akibatnya, kedua telinganya lenyap, mata kirinya rusak. Bukan luka fisik ini yang membuatnya susah tidur, tapi ia terus teringat pada kejadian mengerikan itu. Emosinya labil. Ngurah sering marah dan gelisah tanpa alasan yang jelas.
Kendati tak menjadi korban langsung, I Ketut Jondri, 34 tahun, juga pernah mengalami gejala serupa. Ia mudah kalap dan menjadi pemurung setelah suaminya, I Ketut Cindra, sopir taksi yang biasa mangkal di Jalan Legian, tewas dalam peristiwa itu. "Saya bingung, tak tahu harus melakukan apa," kata Jondri mengenang kisah sedihnya.
Mimpi-mimpi buruk itu sekarang sudah berakhir, tapi tidak berlalu dengan sendirinya. Untuk melenyapkan kecemasan, Anom dan Jondri mesti mengikuti terapi yang diselenggarakan oleh International Medical Center (IMC), sebuah lembaga yang bergerak di bidang bantuan pemulihan trauma psikologis. Mereka bergabung dengan para korban lainnya yang menderita trauma serupa.
Dikoordinasi oleh IMC, para korban langsung dan anggota keluarga yang mengalami guncangan jiwa membuat kelompok diskusi. Masing-masing diberi kesempatan mengungkapkan masalahnya dengan bimbingan seorang psikolog. Hasilnya tak mengecewakan. Setelah menjalani terapi lewat diskusi selama beberapa bulan, Anom, Jondri, dan korban lainnya menjadi lebih tenang, tidak dibekap kecemasan lagi.
Boleh jadi terapi lewat diskusi merupakan cara yang ampuh mengatasi trauma selain berkonsultasi langsung dengan psikiater. Terapi serupa juga dilakukan Yayasan Pulih untuk menangani para korban ledakan bom Hotel JW Marriott, Jakarta, yang terjadi 5 Agustus tahun lalu.
Mula-mula Yayasan Pulih membagikan brosur kepada para korban tentang bagaimana mengatasi kenangan buruknya itu. Keluarga dan teman-teman dekat korban pun ikut dilibatkan. Mereka diminta supaya sering berdiskusi dengan korban, mendengarkan keluhan korban, dan menunjukkan pengertian tentang penderitaannya.
Menurut Nelden Djakababa, psikolog Yayasan Pulih, dalam tahap itu para korban belum memerlukan bantuan seorang psikolog. Sebab, setiap orang mampu menyembuhkan dirinya sendiri dalam waktu enam hingga delapan minggu setelah kejadian. "Ini penyembuhan secara alami," kata Nelden.
Setelah dalam waktu dua bulan korban belum juga mengalami kemajuan, barulah yayasan itu menawarkan jasa psikolog. Para korban diajak menceritakan keluhannya masing-masing. "Kalau dibutuhkan, kami menyediakan terapi khusus," kata Nelden. Misalnya, jika si korban merasa cemas berlebihan, psikolog memberikan latihan relaksasi kepadanya.
Hingga akhir tahun silam, Yayasan Pulih memang hanya memfokuskan diri pada orang-orang yang selamat secara fisik tapi bermasalah dengan kejiwaan mereka. Tapi, sejak satu setengah bulan lalu, yayasan ini mulai menangani masalah kejiwaan para korban yang mengalami cacat fisik. Tujuannya terutama untuk membantu para korban membiasakan diri dengan kondisi fisiknya yang baru. Tentu, termasuk pula untuk menghilangkan kenangan buruk kejadian yang menimpanya.
Rian Suryalibrata, Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo