Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IRAMA hidup Taufiq Kiemas hari-hari ini kian menderu. Jumat pekan lalu, dia meluncur ke Johar Baru, Jakarta Pusat. Di sana, suami mantan presiden Megawati Soekarnoputri ini bertemu dengan ribuan warga. Esok harinya, dia bergerak ke Meruya Selatan, Jakarta Barat, wilayah yang tengah membara karena perebutan tanah. Hari berikutnya, pria berbadan subur itu melompat ke Kalideres, juga di Jakarta Barat.
Datang ke sejumlah kampung di seantero Ibu Kota, Taufiq merapatkan barisan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan merayu warga agar memilih Fauzi Bowo. Fauzi diusung Partai Banteng itu maju ke pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang digelar Agustus tahun ini.
Karena harus melompat dari kampung ke kampung, anggota rombongan Taufiq Kiemas sekuat tenaga tampil prima. Agar tak lekas loyo, ”Minum banyak vitamin dan makan bergizi,” kata Audi Tambunan, petinggi PDI Perjuangan, anggota tetap rombongan turba ini.
Walau tenggat daftar calon gubernur di Komisi Pemilihan Umum Daerah berakhir pada 8 Juni nanti, sejumlah calon sudah riang gembira dari kampung ke kampung. Stiker, poster, dan spanduk kampanye ramai bergelantungan di pelosok Ibu Kota. Kampanye dini, begitu sejumlah kalangan menuduh, tapi petinggi partai bilang: ini cuma sosialisasi.
Yang juga getol merayu adalah tim sukses pasangan Adang Daradjatun dan Dani Anwar yang diusung Partai Keadilan Sejahtera. Spanduk dan stiker keduanya bertebaran di sejumlah tempat. Peluang menang juga tak kecil.
Modal mereka lumayan. Jika Pemilihan Umum 2004 jadi ukuran, maka pasangan ini sudah menyimpan modal awal sekitar 24 persen dari total suara. Ini jumlah pemilih Partai Keadilan Sejahtera di DKI Jakarta, 2004.
Soal uang tampaknya juga tak jadi masalah. Dari tiga calon gubernur yang dipastikan berlaga, rekening Adang terhitung yang paling gendut. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, hingga 31 Desember 2005, Adang menyimpan kekayaan Rp 18 miliar.
Sejumlah sumber menyebutkan Adang sudah menguras hartanya itu untuk biaya sosialisasi, tapi dia membantah. ”Terus terang sampai hari ini, saya belum mengeluarkan uang,” kata Adang beberapa waktu lalu. Acara sosialisasi selama ini, katanya, semata-mata hasil kreasi Relawan Oranye.
Nah, Relawan Oranye inilah yang rajin memasang spanduk di sejumlah sudut kota. Kelompok ini beranggotakan teman-teman Adang di Sekolah Menengah Atas Budi Utomo, tetangga rumahnya di Kebayoran, dan, kata Adang, ”Teman anak- anak saya dan saudara-saudara saya.”
Walau mengaku belum merogoh dompet, Adang mengaku dana yang diperlukan untuk kampanye cukup besar. Berapa? Belum bisa dipastikan. ”Mungkin nanti menjelang akhir baru kita tahu soal jumlah-jumlah ini.”
Calon yang maju dengan modal lebih jumbo adalah Fauzi Bowo. Putra Betawi asli ini diusung belasan partai, di antaranya empat partai besar, yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Perolehan suara empat partai itu dalam pemilihan legislatif di Jakarta 2004 mencapai 47 persen. Di luar empat partai besar itu, Foke—begitu Fauzi biasa disapa—juga disokong penuh sembilan partai nonparlemen alias partai yang tidak mendapat kursi di Dewan Perwakilan Rakyat DKI Jakarta.
Dalam Pemilihan Umum 2004, total perolehan suara partai-partai kecil itu sekitar 5,5 persen. Bila digabung, modal awal Fauzi memang lebih perkasa: 52,5 persen.
Bila tekun bertamu ke kampung-kampung, seperti yang dilakukan rombongan Taufiq Kiemas, penyokong Fauzi haqul yakin bisa mendulang sekitar 65 persen dari 6,4 juta pemilih. ”Itu perhitungan yang sangat masuk akal,” kata Audi Tambunan.
Hitung-hitungan itu memang masuk akal, tapi itu jika diasumsikan para pemilih di lapangan bakal memilih calon yang diusung partai. Masalahnya, dari tiga calon yang ada, koalisi pengusung Fauzi Bowo ini terhitung yang paling cair, dibangun dengan susah payah, dan hingga kini belum akur seratus persen.
Jika jalan Adang Daradjatun terbilang mulus mengkilap, Fauzi Bowo melewati jalan berliku dan berduri pula. Saat pimpinan pusat PDI Perjuangan ikut mendeklarasikan nama Fauzi, Maret tahun ini, sejumlah kader tingkat ranting protes keras.
”Kami sangat kecewa dengan keputusan pengurus pusat karena keputusan itu tanpa memperhatikan aspirasi kader di bawah,” ujar Irwan Gading, fungsionaris partai itu di Jakarta Utara, kepada Choirul Aminuddin dari Tempo.
Aksi tolak Fauzi Bowo pun sempat marak. Pertengahan Maret lalu, 44 pengurus cabang Partai Banteng berkumpul di Gedung Pola Perintis Kemerdekaan di Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu mereka menyatukan tekad, ”Tolak Fauzi Bowo sudah harga mati.”
Para kader itu punya alasan. ”Selama menjadi wakil gubernur, Fauzi Bowo tidak pernah memberi kontribusi apa pun kepada partai kami,” kata Daru Saptono, Ketua Pengurus Anak Cabang PDIP Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Seorang petinggi PDI Perjuangan memastikan sejumlah kader di tingkat bawah partai bakal berjibaku menyokong Sarwono Kusumaatmadja, calon yang diusung Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa. Alasannya, ”Sejak awal banyak kader yang mengusulkan nama Sarwono.” Jadi, menurut sumber ini, penggembosan terhadap Fauzi amat mungkin terjadi.
Ancaman penggembosan itu dibantah Audi Tambunan. Kami akan terus konsolidasi dan, katanya, ”Kader kami juga pemilih ideologis. Tidak mungkin menyeberang ke calon lain.”
Sumber malapetaka untuk koalisi ini, juga bisa datang dari calon wakil gubernur. Hingga kini nama pasangan Fauzi Bowo belum ditentukan karena setiap anggota koalisi ngotot mengusung calon sendiri-sendiri.
Ada lima calon pendamping Fauzi Bowo. Mereka adalah Mayor Jenderal (Purn.) Djasri Marin, Edy Waluyo, Mayor Jenderal (Purn.) Slamet Kirbiyantoro, Abdul Wahab Mokodongan, dan Azril Tanjung. Siapa yang bakal dipilih, kata Rully Chairul Azwar dari Golkar, ”Terserah pada Fauzi Bowo.”
Dari lima nama itu ada dua calon kuat, yakni Djasri Marin dan Slamet Kirbiyantoro. Seorang petinggi Golkar memastikan partainya sudah bulat mengusung Djasri ke kursi pendamping Fauzi. Nama mantan Komandan Pusat Polisi Militer marak didagang-gadang sejumlah kader Golkar di Jakarta Timur.
Kader PDI Perjuangan di lapis bawah justru mengusung Slamet Kirbiyantoro. Nama mantan Panglima Daerah Militer Jaya itu memang hasil saringan dari bawah: dari pengurus partai kabupaten dan provinsi. Karena itu, kata Audi, ”Slamet Kirbiyantoro sudah harga mati.” Walau begitu, kata Audi, penetapan calon wakil gubernur itu hak pimpinan pusat partai itu.
Djasri Marin mengaku diundang untuk bertemu kader-kader partai di sejumlah tempat. Jadi, menurut Djasri, ”Posisi saya sudah dilamar, tinggal menunggu penentuan.” Siapa calon yang pasti maju bakal ditentukan pekan ini.
Lantaran tak kunjung ditentukan, sejumlah calon wakil gubernur itu cuma bisa menunggu. Mereka belum bisa melakukan sosialisasi seperti yang dilakukan pasangan Adang Daratjatun dan Dani Anwar. Akibatnya, dalam berbagai sosialisasi, poster, dan stiker, Fauzi Bowo terlihat seperti ”jomblo” alias tanpa pasangan.
Siapa pun pasangannya, Foke terhitung bersaku tebal. Hingga akhir 2001, harta kekayaan Foke sekitar Rp 16 miliar.
Yang bakal maju dengan modal pas-pasan adalah pasangan Sarwono Kusumaatmadja dan Jeffrie Geovanie yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional. Pasangan ini bakal dideklarasikan dalam waktu dekat.
Modal suara pasangan ini secara umum terbagi dua. Pertama, mesin politik yang dibawa Sarwono sewaktu pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta 2004. Saat itu perolehan suara Sarwono cukup besar. Dia menduduki peringkat kedua dengan perolehan 10,24 persen, terpaut tipis dengan Mooryati Soedibyo yang mengantongi 10,30 persen.
Kedua, selain diusung PKB dan PAN, Sarwono juga disokong penuh sejumlah partai seperti PNI Marhaenisme, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Daerah, dan Partai Merdeka.
Dengan dukungan sejumlah partai kecil itu, Sarwono yakin sudah menyimpan modal sekitar 18 persen suara ke arena pemilihan. Jika koalisi pendukung Fauzi Bowo retak, Sarwono bisa jadi kuda hitam.
Kelemahan Sarwono adalah koceknya tak penuh. Hingga Maret 2004, saat dia masih menjadi penasihat ahli kelautan dan perikanan, kekayaannya ”hanya Rp 6 miliar”. Harta itu berupa aset seperti tanah, rumah, mobil, dan simpanan di bank. Jika ingin menang, mereka harus cari uang ke sana-sini.
Sebetulnya Jeffrie Geovanie bisa jadi kasir yang baik karena dia pengusaha sukses. Tapi, menurut Jeffrie, sejak awal ia menolak menyediakan uang. Jeffrie mengaku sudah pernah bilang kepada Sarwono, ”Kalau Bapak mau sama saya, Anda yang harus punya akses dana.” Dan, Sarwono, menurut Jefffie, mantuk-mantuk.
Berapa dana yang diperlukan selama masa kampanye? Susah menghitungnya, tapi Jeffrie punya pengalaman saat maju merebut kursi Gubernur Sumatera Barat. ”Waktu itu saya menghabiskan uang sekitar lima miliar,” katanya.
Sebagian terbesar dari dana itu untuk mejeng di koran dan televisi. Itu sebabnya dia jarang kampanye di lapangan yang melibatkan massa. Karena saku kurang tebal, Jeffrie menutup kekurangannya dengan rajin datang ke acara kawinan dan melayat orang meninggal.
Selain untuk kampanye, dana juga diperlukan untuk ”membeli tiket” partai politik. Berapa harga tiket itu, sejumlah petinggi partai tutup mulut rapat-rapat. Tapi seorang mantan calon gubernur berkisah, ”Hampir 70 persen energi dan dana para calon sebenarnya habis untuk partai politik.”
Wenseslaus Manggut, Budi Setyarso, Mustafa Moses, Indriani Dyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo