Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia Corruption Watch merilis 26,8 persen peserta pilkada terafiliasi dengan dinasti politik.
Dinasti politik mendorong terjadinya kecurangan dalam pilkada.
Pola yang diduga dipakai untuk mengakali proses pemilihan kepala daerah sama persis pada masa pemilihan presiden.
PEMILIHAN kepala daerah atau pilkada serentak 2024 tak lepas dari politik dinasti. Menurut penelusuran mutakhir Indonesia Corruption Watch (ICW), tercatat 26,8 persen peserta pilkada terafiliasi dengan dinasti politik. "Ada 156 dari total 582 individu yang mencalonkan diri," kata peneliti ICW, Yassar Aulia, dalam keterangan tertulis pada Ahad, 24 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluarga politik atau dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun-temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah yang tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Dari 156 peserta yang terafiliasi dengan dinasti politik, lembaga pemantau antikorupsi itu mencatat sebanyak 100 orang merupakan calon kepala daerah, sedangkan 56 lainnya calon wakil kepala daerah.
Menurut Yassar, para kandidat ini umumnya terafiliasi karena ikatan darah atau pernikahan. Pola dinasti yang paling umum ditemui adalah dinasti dengan variasi hubungan orang tua dan anak. ICW menemukan ada 70 kandidat pilkada terafiliasi dengan dinasti politik karena ada hubungan orang tua-anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemudian 40 kandidat dengan variasi hubungan suami dan istri serta 34 kandidat memiliki hubungan adik dan kakak. Ada juga delapan kandidat yang terafiliasi dengan dinasti politik memiliki pola hubungan saudara, baik keponakan, sepupu, maupun ipar. "Pola dinasti mertua-menantu ditemukan sebanyak empat kandidat," kata Yassar.
Para peneliti dari Perludem, Fadli Ramadhanil; Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari; ICW, Donal Fariz; Lingkar Madani, Ray Rangkuti; Pukat UGM, Oce Madril; dan ICW, Almas Sjafrina, mengikuti diskusi politik dinasti, korupsi, dan pilkada serentak, di kantor ICW, Jakarta, 13 Januari 2017. Dalam diskusi ini, para peneliti menyatakan masyarakat sebagai pemilih punya peran besar untuk memutus dinasti politik. TEMPO/Imam Sukamto
Selain menelusuri afiliasi politik dinasti, ICW meluncurkan kanal Rekamjejak.net. Kanal ini, Yassar menjelaskan, mencatat rekam jejak para kandidat yang memiliki hubungan dengan dinasti politik atau kasus korupsi dalam kanal tersebut. Pranala tersebut akan mengarahkan pengguna ke laman penelusuran kandidat pilkada 2024. Ada data kandidat-kandidat dari 37 provinsi dan 89 kota/kabupaten dalam situs tersebut.
Dinasti politik menjadi perhatian karena peluang terjadinya potensi kecurangan dalam pilkada. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas sekaligus Direktur Themis Indonesia Law Firm, Feri Amsari, menyebutkan dinasti politik adalah salah satu faktor penyebab kecurangan pilkada, terutama politik gentong babi.
Politik gentong babi adalah pola kecurangan dengan menggunakan anggaran negara untuk mempengaruhi pemilih. Biasanya dengan cara menggelontorkan bantuan sosial kepada masyarakat dengan tujuan meraup keuntungan elektoral. “Sasaran politisasi bansos ini juga terjadi di daerah yang pilkadanya diikuti oleh dinasti politik,” kata Feri saat memaparkan riset Themis ihwal kecurangan pilkada 2024 pada Selasa, 26 November 2024.
Selain pengerahan bansos, pola kecurangan lain adalah rekayasa calon tunggal, pengerahan aparat kepolisian, pengerahan aparatur sipil negara (ASN) dan kepala desa, serta politisasi bantuan sosial. “Pada dasarnya, pola yang dipakai untuk mengakali pilkada ini sama persis dengan apa yang terjadi pada pemilihan presiden atau pilpres lalu,” ujar Feri.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan mengatakan TNI dan Polri akan memastikan pilkada serentak bisa berjalan transparan, jujur, dan adil. “Kualitas pilkada sangat ditentukan oleh netralitas seluruh penyelenggara, termasuk aparat keamanan, ASN, serta pejabat daerah sampai tingkat desa,” kata Budi Gunawan seusai rapat koordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Senin, 25 November 2024.
Presiden Prabowo Subianto berbincang dengan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan setelah pelantikan menteri dan kepala badan setingkat menteri dalam Kabinet Merah Putih, di Istana Negara, Jakarta, 21 Oktober 2024. ANTARA/Sigid Kurniawan
Dilansir dari situs Bawaslu.go.id, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 283 ayat 1 menyebutkan pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta aparatur sipil negara dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Anggota Bawaslu Bidang Penanganan Pelanggaran dan Data dan Informasi, Puadi, mengatakan lembaganya telah mempersiapkan pengawasan pada masa tenang kampanye pilkada hingga hari pencoblosan. Salah satunya mengantisipasi politik uang sebelum pencoblosan.
Dia menuturkan, pengawas di tempat pemungutan suara (TPS) akan berkeliling di wilayah TPS dan memastikan tidak ada pemberian uang atau barang selama masa tenang kampanye. “Jika ditemukan masih ada alat peraga kampanye, aktivitas kampanye, atau pemberian uang, pengawas TPS akan mendokumentasikan dan mencatat kejadian dalam Form A,” ujar Puadi, Selasa, 26 November 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo