Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Difabel

Disabilitas, Informasi, dan Lingkup yang Kian Sempit Kala Pandemi Covid

Belum semua penyandang disabilitas mengetahui informasi dan protokol kesehatan untuk mencegah Covid-19.

10 September 2020 | 10.00 WIB

Ilustrasi penyandang disabilitas atau difabel. REUTERS | Rafael Marchante
Perbesar
Ilustrasi penyandang disabilitas atau difabel. REUTERS | Rafael Marchante

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Makassar - Andi Ukhrawi tahu pandemi Covid-19 tengah berkecamuk di seluruh penjuru, termasuk Indonesia sejak pertengahan maret 2020. Gara-gara pagebluk, siswa sekolah luar biasa kelas IX di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, itu tak lagi bisa berangkat ke sekolah. Dalam sepekan, dia hanya satu kali berinteaksi dengan gurunya lewat video daring.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Remaja dengan disabilitas wicara ini pun tak leluasa ke luar rumah. Rutinitas salat lima waktu di masjid kini dilakukan di rumah. Harus pakai masker, rajin cuci tangan, dan menjaga jarak satu sama lain yang tentu sulit diterapkan saat dia harus ditemani pendamping. Dari semua aktivitasnya yang mendadak berubah, ada satu pertanyaan di benak Andi, sebenarnya apa itu Covid-19?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kakak Andi Ukhrawi, Andi Maya, mencoba menjelaskan segala sesuatu yang ingin diketahui adiknya tentang Covid-19 sejauh yang dia tahu dan bisa. Musababnya, menurut dia, belum ada sosialisasi tentang Covid-19 khusus untuk difabel di pemerintah Kota Makassar. "Yang penting kami selalu menjaga dan mengawasinya, khawatir tertular," kata Maya kepada Tempo, Kamis 27 Agustus 2020.

Seorang difabel netra, Muhammad Luthfi tahu tentang Covid-19 dari teman-temannya dan mendengarkan berita. Menurut dia, edukasi atau sosialisasi tentang Covid-19 dari pemerintah belum efektif karena tak melibatkan organisasi difabel atau guru sekolah luar biasa. Akibatnya, banyak penyandang disabilitas yang tak tahu apa dan dampak dari Covid-19.

Luthfi menjelaskan, penyandang disabilitas sensorik, yakni tuli dan netra paling terhambat dalam mendapatkan informasi. Berbagai media tayang atau informasi tentang virus corona baru ini belum terakses oleh aplikasi pembaca layar, alat penerjemah bahasa isyarat, subtitle, dan close caption. Padahal, kelompok difabel termasuk paling rentan terpapar Covid-19.

Menurut Luthfi, difabel tuli dan netra yang beraktivitas dengan pendamping kesulitan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah Covid-19, khususnya ketentuan menjaga jarak satu sama lain. "Tidak mungkin saya menjaga jarak dengan pendamping sejauh tiga meter," kata pria 30 tahun ini.

Direktur Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan atau PerDIK, Abdul Rahman menganggap Pemerintah Kota Makassar mengabaikan kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas dalam sosialisasi informasi tentang Covid-19. "Pemerntah hanya fokus pada masyarakat, melupakan kelompok rentan, yakni penyandang disabilitas," kata Abdul Rahman saat ditemui Tempo di kantornya di Kabupaten Gowa, Selasa 18 Agustus 2020.

Direktur Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan atau PerDIK, Abdul Rahman. TEMPO | Didit Hariyadi

Keterbatasan informasi tentang virus corona baru bagi difabel, misalkan terjadi ketika jumpa pers virtual yang tanpa kehadiran penerjemah bahasa isyarat. Abdul Rahman membandingkan dengan Pemerintah Kota Surabaya yang menyederhanakan bahasa bagi disabilitas agar mudah dipahami. Begitu juga dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat yang telah menginformasikan tentang Covid-19 melalui penyederhanaan bahasa.

Kurangnya informasi dari pemerintah tentang apa dan bagaimana Covid-19 membuat difabel mencari sendiri, dan tak jarang terjebak pada informasi yang keliru atau hoax. "Akhirnya kami mengetahui apa isi protokol kesehatan itu dari daerah lain," ucap Abdul Rahman. Dia pun menyampaikan informasi tersebut kepada berbagai kelompok difabel sesuai dengan ragam disabilitasnya.

Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia atau HWDI Sulawesi Selatan, Maria Un mengatakan seharusnya difabel menjadi prioritas dalam penanganan Covid-19. "Sebab mereka jauh lebih rentan tertular ketimbang non-difabel," katanya. Contoh difabel netra yang menggunakan perabaan untuk mengidentifikasi benda dan membutuhkan pendampingan. Mereka harus tahu dan memahami isi protokol kesehatan untuk melindungi diri dan orang-orang di sekitarnya.

"Sosialisasi itu penting sekali sehingga mereka mendapatkan informasi yang benar," katanya. Tak cukup sosialisasi tentang Covid-19 ke berbagai kelompok masyarakat, Maria Un menyarankan pemerintah juga memperhatikan bagaimana supaya alat bantu yang dipakai penyandang disabilitas bersih dari virus.

PerDIK dan HWDI yang berinisiatif turun ke lapangan untuk melakukan sosialisasi pencegahan Covid-19 kepada penyandang disabilitas mengaku sulit menjangkau seluruh difabel. Alasannya, minim alat pelindung diri sehingga mereka juga berpotensi tertular Covid-19. Hingga Ahad, 6 September 2020, jumlah kasus Covid-19 di Kota Makassar sebanyak 7.103 orang. Di antaranya 1.800 orang dirawat, 5.046 orang yang sembuh, dan 257 meninggal.

Ketua Satuan Tugas Penegakan Disiplin Covid-19 Makassar, Muhammad Sabri mengatakan selalu melakukan sosialisasi protokol kesehatan, termasuk untuk penyandang disabilitas. "Kami melibatkan satuan tugas hingga ke tingkat rukun tetangga dan rukun warga atau RT dan RW," katanya. Hanya saja, Sabri mengaku belum maksimal karena tiada peraturan daerah yang menjadi payung hukum dan panduan. "Kami tetap lakukan penegakan protokol kesehatan,” ucap Sabri. Untuk kecamatan atau kelurahan yang masih menjadi episentrum, langsung dilakukan tes usap secara massal.

Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Makassar, Ismail Hajiali mengatakan masing-masing organisasi perangkat daerah punya peran untuk sosialisasi pandemi. Misalkan dinas komunikasi dan informatika melakukan sosialisasi melalui media televisi, cetak, dan online. Di tingkat kelurahan, sosialisasi protokol Covid-19 dilakukan dengan pembekalan kepada ketua-ketua RT dan RW serta dinas sosial pendamping difabel. "Khusus penyandang disabilitas, kami juga melibatkan aktivis difabel," kata dia.

Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas PPPA Kota Makassar, Makmur mengaku sulit menerapkan protokol perlindungan bagi disabilitas karena butuh pendamping yang bisa memahami mereka. Selama ini, pemerintah terkendala peran perantara, seperti penerjemah bahasa isyarat atau pendamping untuk melakukan sosialisasi terkait pandemi Covid-19 kepada difabel.

Dinas PPPA kemudian menjalankan instruksi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melibatkan aktivis difabel dalam melakukan sosialisasi protokol kesehatan mencegah penyebaran Covid-19. Mereka yang menyampaikan segala informasi tentang Covid-19 sehingga mudah dipahami oleh difabel sesuai dengan ragam disabilitasnya. "Metode sosialisasi ini memanfaatkan berbagam sarana, mulai dari media sosial, temu virtual, sampai turun langsung ke lapangan," katanya.

Data Persatuan Penyandang Disabilitas Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan jumlah difabel di Kota Makassar sebanyak 2.250 orang. Rinciannya, 1.794 penyandang disabilitas fisik, 242 penyandang disabilitas mental, dan 214 penyandang disabilitas fisik dan mental.

Rini Kustiani

Rini Kustiani

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus