Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dosen Universitas Mulawarman soal Pemanggilan Rieke Diah: MKD Jadi Alat Pembungkam Pengkritik Pemerintah

Sejumlah pihak soroti pemanggilan terhadap Rieke Diah Pitaloka oleh MKD imbas pelaporan dugaan pelanggaran etik atas konten video soal PPN 12 persen

2 Januari 2025 | 07.06 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anggota Badan Pengkajian MPR antara lain, Rieke Diah Pitaloka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pihak menyoroti pemanggilan terhadap legislator PDIP, Rieke Diah Pitaloka oleh Mahkamah Kehormatan Dewan atau MKD imbas pelaporan dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dosen Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan reaksi MKD yang melayangkan pemanggilan terhadap Rieke semakin menebalkan adanya upaya untuk mengkooptasi DPR agar dapat sejalan dengan selera subjektif kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"MKD seperti menjadi alat pembungkam legislator yang mengkritik kekuasaan," kata Herdiansyah saat dihubungi, Rabu, 1 Januari 2025.

Menurut Herdiansyah, MKD semestinya memanggil dan memeriksa para legislator yang cenderung abai terhadap fungsi pengawasan dan keberpihakannya kepada masyarakat. Alih-alih menakuti-nakuti legislator yang aktif bersuara.

Syahdan, kata Herdiansyah, apa yang dilakukan Rieke merupakan bagian dari fungsi dan tugasnya sebagai legislator, yaitu melakukan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

"Kalau kemudian yang dipanggil hingga diperiksa itu yang aktif mengkritik. Tentunya MKD sudah bertindak tidak sesuai fungsinya," ujar dia.

Ia mengingatkan, jika legislator memiliki hak imunitas untuk menyampaikan pendapatnya sebagaimana Pasal 224 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau MD3.

Herdiansyah menjelaskan, jika bunyi Pasal tersebut secara eksplisit menyebutkan legislator tidak dapat dihukum karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPR atau yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang anggota DPR

Rieke Diah Pitaloka berurusan dengan MKD setelah dilaporkan karena dianggap melakukan pelanggaran etik anggota DPR. Politikus PDIP itu dilaporkan seorang bernama Alfadjri Aditia Prayoga ihwal video unggahannya di media sosial.

Video yang dimaksud, ialah manakala Rieke mengajak kepada pimpinan dan anggota DPR lain untuk membatalkan kenaikan tarif PPN 12 persen.

"Kita beri dukungan penuh kepada Presiden Prabowo. Saya yakin menunggu kado tahun baru 2025 dari Presiden Prabowo, batalkan rencana kenaikan PPN 12 persen,” kata Rieke.

Menurut Herdiansyah, pasal 7 pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP mesti dipahami secara utuh. 

Ia mengimbau pemerintah untuk tidak hanya berfokus pada Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undangan HPP. Tetapi, juga Pasal 7 ayat (3) yang menyebutkan tarif PPN dapat diubah tidak hanya menjadi paling tinggi 15 persen, namun bisa menjadi lebih rendah sebesar 5 persen.

Adapun Pada 30 Desember lalu, MKD berencana menggelar persidangan bagi Rieke di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Tetapi, agenda sidang tersebut ditunda dengan alasan DPR masih memasuki masa reses hingga 20 Januari 2025. 

Ketua MKD, Nazaruddin Dek Gam, mengatakan agenda sidang kemungkinan besar akan dilakukan setelah DPR kembali memasuki masa sidang. 

“Masih ada anggota kami yang di daerah pemilihan,” kata Nazaruddin pada Ahad, 29 Desember 2024.

Dihubungi terpisah, Peneliti pada Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, mengatakan jika reaksi MKD terhadap sikap kritis legislator cenderung kebablasan. 

Menurut dia, apa yang disampaikan Rieke ihwal pembatalan tarif PPN 12 persen merupakan persoalan yang menjadi concern Masyarakat saat ini. 

"Jika seperti ini, MKD tak ubahnya alat untuk menggebuk legislator yang cenderung mengkritik pemerintahan,” kata Lucius.

Lucius mengatakan, sangat menyayangkan apabila MKD menindaklanjuti pelaporan terhadap Rieke hingga kemudian memutus perkara dengan amar putusan bersalah. 

Alasannya, sebagai institusi yang memiliki fungsi dan tujuan untuk menegakkan kehormatan dan martabat legislator, MKD sudah semestinya berpihak pada para legislator yang telah menjalankan fungsi pengawasannya, sebagai legislatif yang mengawasi ekskutif agar tetap dalam jalur. 

“Kalau nanti ini diproses, yang sebenarnya bermasalah secara etik adalah MKD,” ujar Lucius.

Ketua MKD, Nazaruddin Dek Gam; Wakil Ketua MKD, Tubagus Hasanuddin; dan Aboe Bakar Alhabsyi belum menjawab pesan pertanyaan Tempo yang disampaikan melalui pesan singkat ihwal tindak lanjut pelaporan Rieke di kemudian hari. 


Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.


Pilihan Editor: Formappi: Kalau Pelaporan terhadap Rieke Diproses, MKD yang Bermasalah Secara Etik

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus