Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengkritik langkah Mahkamah Kehormatan Dewan DPR yang akan menyidang etik legislator PDIP Rieke Diah Pitaloka. Lucius menilai MKD saat ini telah dimanfaatkan untuk membungkam sikap kritis anggota dewan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sikap kritis yang seharusnya diapresiasi tak layak dianggap sebagai perbuatan tidak etik,” kata Lucius saat dihubungi, Selasa, 31 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rieke dilaporkan ke MKD karena mengkritik rencana pemberlakukan PPN 12 persen pada 2025 di media sosial. Video itu dianggap memuat ajakan hasutan terhadap pemerintah. Dalam video itu, Rieke meminta agar Presiden Prabowo membatalkan pemberlakuan PPN 12 persen.
Menurut Lucius, sudah sewajarnya seorang anggota dewan menyampaikan kritikan terhadap pemerintah. Dia pun menyayangkan sikap MKD yang menilai kiritkan tersebut sebagai sebuah pelanggaran etik.
Lucius menilai justru langkah MKD memproses aduan terhadap Rieke. Sebab, ujar Lucius, apa yang dilakukan Rieke adalah upaya menegakkan muruah parlemen karena menjalankan fungsi pengawasan.
“Kalau laporan etik terhadap Rieke tetap diproses, maka MKD yang bermasalah secara etik. Karena Kode Etik yang ditegakkan MKD seharusnya untuk menjaga muruah DPR,” ujar Lucius.
Dia melanjutkan, seharusnya aduan etik terhadap Rieke tidak bisa diterima dan cacat secara formil. Untuk itu, Lucius mendesak agar MKD segera menolak aduan etik tersebut agar tidak memunculkan preseden buruk terhadap parlemen.
“Kalau logika seperti di atas yang menjadi rujukan MKD, maka mereka seharusnya tak memprotes laporan dugaan pelanggaran etik yang nampak mengada-ada,” katanya.
Ketua MKD Nazaruddin Dek Gam membenarkan telah menerima aduan dugaan pelanggaran etik terhadap Rieke. Sedianya sidang etik akan berlangsung hari ini. Namun hal itu urung terlaksana karena sebagian anggota MKD masih menjalani reses.
“Sidangnya kemungkinan nanti setelah masuk masa sidang. Karena kami cek, anggota masih di dapil. Ada yang masih natalan juga," katanya kepada Tempo, pada Ahad, 29 Desember 2024.
Di dalam surat pemanggilan sidang, MKD tak menyebutkan konten mana yang dilaporkan memprovokasi penolakan PPN 12 persen. Namun, Rieke diketahui pernah mengunggah video mengenai penolakan kebijakan yang akan berlaku per 1 Januari 2025 itu dengan tagar #ViralForJustice dan #TolakKenaikanPPN22% pada 5 dan 6 Desember 2024.
Rieke mengunggah video upayanya meminta agar Presiden Prabowo Subianto membatalkan kebijakan PPN 12 persen. "Yuk kita berjuang bareng. Nih mau paripurna, mudah-mudahan nanti ada kesempatan interupsi, kita perjuangkan penolakan terhadap kenaikan PPN 12 persen," kata Rieke sebelum rapat dimulai di kompleks parlemen, Senayan, pada Kamis, 5 Desember 2024.
Ketika interupsi rapat, dia juga meminta agar para pimpinan dan anggota DPR mendukung usulannya itu. "Kita beri dukungan penuh kepada Presiden Prabowo. Saya yakin menunggu kado tahun baru 2025 dari Presiden Prabowo, batalkan rencana kenaikan PPN 12 persen," ujar Rieke di dalam rapat yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani.
Dia menyatakan, amanat Pasal 7 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) harus dipahami secara utuh. Rieke menekankan agar pemerintah tak hanya fokus pada Pasal 7 ayat 1 huruf b yang mengamanatkan kenaikan PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Namun, pada Pasal 7 ayat 3, kata dia, dinyatakan bahwa tarif PPN 12 persen dapat diubah bukan hanya paling tinggi 15 persen, tetapi bisa juga diubah paling rendah 5 persen. "Dalam penjelasannya, disampaikan juga bahwa keputusan naik tidaknya harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter, serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya," tutur Rieke.
Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: MKD Tunda Pemanggilan Rieke Diah Pitaloka soal Dugaan Provokasi Tolak PPN 12 Persen