USIANYA 6 tahun. Barangkali lantaran perawakannya yang kecil,
ia lincah. Tingginya pun tak lebih dari 160 Cm. Rambutnya tipis
kecoklatan bekas dicat, berbaur warna putih. Ada tampangnya
kalau ia mengisap cerutu. Berkemeja safari batik berkembang biru
muda, Kamis malam pekan lalu ia duduk di kursi deretan belakang
dalam sidang pleno DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta -
langsung berhadapan dengan ketua umum Sanusi Hardjadinata.
Itulah R. Achmad Sukarmadidjaja, salah seorang ketua DPP PDI
yang sering bicara lantang - nyaris berteriak - dalam sidang
yang tegang selama empat malam. Yang dibicarakan: Bahan-bahan
GBHN, calon PDI unuk pimpinan DPR/MPR, tapi juga soal fusi.
Setelah pemilu, hasil fusi itu ternyata belum mantap. Tiadanya
loyalitas pada partai, sebagai gejala umum, bisa mengundang
usaha campur tangan dari luar.
Pernyataan Achmad (bekas IPKI) dan Djon Pakan (Wakil Sekjen DPP
PDI, bekas Partindo yang kemudian masuk Murba) dua minggu
sebelum anggota DPR/MPR hasil pemilu 1977 dilantik 1 Oktober
kemarin, menunjukkan ketidak-serasian dalam fusi tersebut. Kedua
tokoh bekas partai kecil itu menyatakan: PDI mencalonkan kembali
Jenderal Soeharto sebagai Presiden dalam sidan umum MPR yang
akan datang.
Karena tidak melalui rapat DPP, seperti diakui sendiri oleh
Achmad ketika ditemui oleh Eddy Herwanto dari TEMPO, kontan
ditanggapi oleh pimpinan DPP yang lain. "DPP PDI belum
memutuskan pencalonan itu," kata TAM Simatupang, salah seorang
ketua DPP. Meski begitu, kata Simatupang, dalam sidang MPR nanti
sudah pasti PDI akan mencalonkan Jenderal Soeharto.
Jadi Tersinggung
Sabam Sirait pun, sekjen DPP PDI, sebenarnya tidak keberatan
dengan isi pernyataan Achmad. Sebab dalam rapatrapat DPP nama
Jenderal Soeharto mendapat tempat kuat, juga Sri Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai Wakil. "Tapi kepemimpinan nasional itu
kan bukan perkara gampang. Jadi memerlukan kebersamaan,"
katanya.
Jadi sebenarnya hanyalah menyangkut prosedur. Tapi gara-gara
pernyataan Achmad Itu, Sanusi yang biasanya amat tenang, jadi
tersinggung. "Kalau ada pribadi berpendapat demikian, boleh
saja. Tapi jangan pakai nama DPP PDI," katanya kesal. Baginya,
membicarakan pencalonan Presiden di luar sidang MPR tidaklah
wajar. Menurut Prof. Usep Ranuwidjaja, salah seorang ketua DPP
lainnya, pernyataan tersebut "tidak sesuai dengan mekanisme."
Maksunya, barangkali, Achmad telah melanggar tatatertib
partai.
Achmad pun berusaha membela diri. "Sebelumnya juga banyak
keputusan yang diambil tanpa melalui rapat DPP. Misalnya dalam
bilang administrasi, juga tur-tur ke daerah. Di daerah banyak
saya jumpai keputusan yang diambil tidak melalui rapat itu,"
katanya. "Juga banyak anggota DPP yang ngomong di luar
seenaknya. Tapi pak Sanusi diam saja, tambahnya.
Mungkinkah DPP PDI mengenakan sanksi terhadap Achmad? Rupanya
Achmad Sukarmadidjaja tidak begitu khawatir. "Saya kan diangkat
oleh kongres," tukasnya. Ada kesan bahwa Achmad mewakili
kepentingan di luar PDI. Terhadap suara seperti itu, ia
menjawab: "Saya belum pernah ditunggangi. Mungkin ide saya
paralel dengan kepentingan orang lain dalam pola politiknya
sama, bukan berarti saya diperkuda."
Tapi paling tidak ada kemungkinan mudah dicampuri dari luar.
Apalagi kalau membicarakan jatah kursi. Menurut ketentuan,
Pemerintan memberi jatah imbangan kursi sebanyak 10 kepada PDI.
Menuut sumber TEMPO di kantor DPP PDI, 5 kursi diminta oleh PNI.
Sisanya: Parkindo dan Partai Katolik masing-masing 2, IPKI satu
kursi, sedang Murba tidak kebagian.
Ngotot Soal Kursi
Sepertl halnya PNI dalam PDI, maka dalam PPP pun NU merasa
sebagai mayoritas. Dan keretakan dalam PPP pun diakui atau
tidak, tidak pula terhindarkan. Apalagi kalau sudah menyangkut
soal kursi. Seperti halnya IPKI dan Murba (dalam PDI), maka PSII
dan Perti (dalam PPP) sebagai partai-partai kecil biasanya
kurang puas.
Di Banjarmasin misalnya, di sana PPP memperoleh 16 kursi. PSII
dan Perti menghendaki agar 16 kursl itu dibagi rata, tapi
ditolak oleh NU dan Parmusi. Apalagi ketika dalam pemilihan
pimpinan DPRD, yang muncul sebagai ketua Subagio MWD (Fraksi
ABRI), sedang wakil-wakilnya Aspul Anwar (Fraksi Karya) dan
H.M. Mukeri Gawith (Fraksi Persatuan).
Tak ayal, pihak Perti pun protes. Demikian pula Usman Rifanie
(bekas PSII) yang mengaku sebagai Angkatan Muda PPP. Pola
seperti itu jua terjadi di Madura, di mana PPP justru
mayoritas. Orang-orang PPP rebutan kursi ketua DPRD, hingga
sidang macet. Di NTB. persaingan itu malah antar orang-orang NU
sendiri: Sanusi dan Lalu Muslichin.
Di Kalimantan Timur di mana PPP memperoleh 10 dari 40 kursi, PPP
sudah bulat mencalonkan Zainuddin SH (Parmusi) sebagai ketua
DPRD Tiba-tiba Parmusi malah mendukung Aini Bakri (NU) yang juga
diorbitkan oleh Golkar. Meski begitu, masih adabeberapa daerah
yang bisa dikendalikan. Misalnya soal kursi utusan daerah di MPR
dari Jawa Tengah dan Jawa Timur: orang Pamlusi yang tampil. NU
mengalah.
Sementara di Sumatera Utara erjadi saling pecat-memecat. PPP
Sulawesi Selatan mengalami kericullan fatal pula. Keempat unsur
dalam PPP itu masing-masing mengajukan calon untuk ketua DPRD.
Akhirnva yang terpilih NU. Konon, pengajuan empat calon itu
disarankan oleh Pemerintah Daerah.
Tapi menurut Chalid Mawardi, Sekjen DPP PPP, ketua umum PPP
Mintaredja sendiri pernah punya usul pula seperti itu. Di satu
pihak mungkin bisa memuaskan masing-masing organisasi. Tapi di
lain pihak, bisa mengundang keretakan. Anjuran untuk musyawarah
di dalam tampaknya kurang disepakati. Bisa dimaklum, sebab kalau
dilakukan pemilihan, tentu saja jatuh ke tangan NU yang
mayoritas itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini