Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gara-Gara Suara Achmad

Sidang pleno dpp pdi, jakarta membicarakan tentang gbhn, calon pdi untuk pimpinan dpr. mpr dan soal fusi. tidak ada keserasian fusi dari anggota dpr/mpr hasil pemilu 1977.

8 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USIANYA 6 tahun. Barangkali lantaran perawakannya yang kecil, ia lincah. Tingginya pun tak lebih dari 160 Cm. Rambutnya tipis kecoklatan bekas dicat, berbaur warna putih. Ada tampangnya kalau ia mengisap cerutu. Berkemeja safari batik berkembang biru muda, Kamis malam pekan lalu ia duduk di kursi deretan belakang dalam sidang pleno DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta - langsung berhadapan dengan ketua umum Sanusi Hardjadinata. Itulah R. Achmad Sukarmadidjaja, salah seorang ketua DPP PDI yang sering bicara lantang - nyaris berteriak - dalam sidang yang tegang selama empat malam. Yang dibicarakan: Bahan-bahan GBHN, calon PDI unuk pimpinan DPR/MPR, tapi juga soal fusi. Setelah pemilu, hasil fusi itu ternyata belum mantap. Tiadanya loyalitas pada partai, sebagai gejala umum, bisa mengundang usaha campur tangan dari luar. Pernyataan Achmad (bekas IPKI) dan Djon Pakan (Wakil Sekjen DPP PDI, bekas Partindo yang kemudian masuk Murba) dua minggu sebelum anggota DPR/MPR hasil pemilu 1977 dilantik 1 Oktober kemarin, menunjukkan ketidak-serasian dalam fusi tersebut. Kedua tokoh bekas partai kecil itu menyatakan: PDI mencalonkan kembali Jenderal Soeharto sebagai Presiden dalam sidan umum MPR yang akan datang. Karena tidak melalui rapat DPP, seperti diakui sendiri oleh Achmad ketika ditemui oleh Eddy Herwanto dari TEMPO, kontan ditanggapi oleh pimpinan DPP yang lain. "DPP PDI belum memutuskan pencalonan itu," kata TAM Simatupang, salah seorang ketua DPP. Meski begitu, kata Simatupang, dalam sidang MPR nanti sudah pasti PDI akan mencalonkan Jenderal Soeharto. Jadi Tersinggung Sabam Sirait pun, sekjen DPP PDI, sebenarnya tidak keberatan dengan isi pernyataan Achmad. Sebab dalam rapatrapat DPP nama Jenderal Soeharto mendapat tempat kuat, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Wakil. "Tapi kepemimpinan nasional itu kan bukan perkara gampang. Jadi memerlukan kebersamaan," katanya. Jadi sebenarnya hanyalah menyangkut prosedur. Tapi gara-gara pernyataan Achmad Itu, Sanusi yang biasanya amat tenang, jadi tersinggung. "Kalau ada pribadi berpendapat demikian, boleh saja. Tapi jangan pakai nama DPP PDI," katanya kesal. Baginya, membicarakan pencalonan Presiden di luar sidang MPR tidaklah wajar. Menurut Prof. Usep Ranuwidjaja, salah seorang ketua DPP lainnya, pernyataan tersebut "tidak sesuai dengan mekanisme." Maksunya, barangkali, Achmad telah melanggar tatatertib partai. Achmad pun berusaha membela diri. "Sebelumnya juga banyak keputusan yang diambil tanpa melalui rapat DPP. Misalnya dalam bilang administrasi, juga tur-tur ke daerah. Di daerah banyak saya jumpai keputusan yang diambil tidak melalui rapat itu," katanya. "Juga banyak anggota DPP yang ngomong di luar seenaknya. Tapi pak Sanusi diam saja, tambahnya. Mungkinkah DPP PDI mengenakan sanksi terhadap Achmad? Rupanya Achmad Sukarmadidjaja tidak begitu khawatir. "Saya kan diangkat oleh kongres," tukasnya. Ada kesan bahwa Achmad mewakili kepentingan di luar PDI. Terhadap suara seperti itu, ia menjawab: "Saya belum pernah ditunggangi. Mungkin ide saya paralel dengan kepentingan orang lain dalam pola politiknya sama, bukan berarti saya diperkuda." Tapi paling tidak ada kemungkinan mudah dicampuri dari luar. Apalagi kalau membicarakan jatah kursi. Menurut ketentuan, Pemerintan memberi jatah imbangan kursi sebanyak 10 kepada PDI. Menuut sumber TEMPO di kantor DPP PDI, 5 kursi diminta oleh PNI. Sisanya: Parkindo dan Partai Katolik masing-masing 2, IPKI satu kursi, sedang Murba tidak kebagian. Ngotot Soal Kursi Sepertl halnya PNI dalam PDI, maka dalam PPP pun NU merasa sebagai mayoritas. Dan keretakan dalam PPP pun diakui atau tidak, tidak pula terhindarkan. Apalagi kalau sudah menyangkut soal kursi. Seperti halnya IPKI dan Murba (dalam PDI), maka PSII dan Perti (dalam PPP) sebagai partai-partai kecil biasanya kurang puas. Di Banjarmasin misalnya, di sana PPP memperoleh 16 kursi. PSII dan Perti menghendaki agar 16 kursl itu dibagi rata, tapi ditolak oleh NU dan Parmusi. Apalagi ketika dalam pemilihan pimpinan DPRD, yang muncul sebagai ketua Subagio MWD (Fraksi ABRI), sedang wakil-wakilnya Aspul Anwar (Fraksi Karya) dan H.M. Mukeri Gawith (Fraksi Persatuan). Tak ayal, pihak Perti pun protes. Demikian pula Usman Rifanie (bekas PSII) yang mengaku sebagai Angkatan Muda PPP. Pola seperti itu jua terjadi di Madura, di mana PPP justru mayoritas. Orang-orang PPP rebutan kursi ketua DPRD, hingga sidang macet. Di NTB. persaingan itu malah antar orang-orang NU sendiri: Sanusi dan Lalu Muslichin. Di Kalimantan Timur di mana PPP memperoleh 10 dari 40 kursi, PPP sudah bulat mencalonkan Zainuddin SH (Parmusi) sebagai ketua DPRD Tiba-tiba Parmusi malah mendukung Aini Bakri (NU) yang juga diorbitkan oleh Golkar. Meski begitu, masih adabeberapa daerah yang bisa dikendalikan. Misalnya soal kursi utusan daerah di MPR dari Jawa Tengah dan Jawa Timur: orang Pamlusi yang tampil. NU mengalah. Sementara di Sumatera Utara erjadi saling pecat-memecat. PPP Sulawesi Selatan mengalami kericullan fatal pula. Keempat unsur dalam PPP itu masing-masing mengajukan calon untuk ketua DPRD. Akhirnva yang terpilih NU. Konon, pengajuan empat calon itu disarankan oleh Pemerintah Daerah. Tapi menurut Chalid Mawardi, Sekjen DPP PPP, ketua umum PPP Mintaredja sendiri pernah punya usul pula seperti itu. Di satu pihak mungkin bisa memuaskan masing-masing organisasi. Tapi di lain pihak, bisa mengundang keretakan. Anjuran untuk musyawarah di dalam tampaknya kurang disepakati. Bisa dimaklum, sebab kalau dilakukan pemilihan, tentu saja jatuh ke tangan NU yang mayoritas itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus