Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Greenpeace: Penggundulan Hutan Jadi Akar Masalah Banjir Kalsel

Greenpeace Indonesia menyayangkan pemerintah yang menganggap bencana banjir Kalsel, murni karena cuaca buruk. Ada problem penggundulan hutan.

30 Januari 2021 | 07.47 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara kondisi Sungai Hantakan pascabanjir bandang di Desa Alat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Rabu, 20 Januari 2021. ANTARA/Muhammad Nova

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia menyayangkan langkah pemerintah yang menganggap bencana banjir di Kalimantan Selatan, murni karena cuaca buruk. Ia menegaskan bahwa kondisi iklim di sana banyak berubah, salah satunya karena kerusakan hutan yang parah. Hal ini memicu banjir Kalsel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Narasi-narasi yang dikeluarkan pemerintah itu juga mentransformasi pengetahuan bagi masyarakat Indonesia (menjadi) denial terhadap perubahan iklim ini," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas, dalam diskusi daring, Jumat, 29 Januari 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arie menegaskan kejadian-kejadian baru ini menunjukkan bahwa bencana alam sudah di depan mata. Yang paling parah, ia menyebut Indonesia menjadi salah satu dari sembilan negara Asia yang paling terdampak perubahan iklim.

"Tapi dalam sebuah survei di 23 negara menempatkan masyarakat Indonesia di urutan tertinggi yang tidak percaya pada pemanasan global dipicu oleh manusia," kata Arie.

Ia menegaskan bahwa perubahan iklim adalah salah satu dampak dari deforestasi terus menerus yang terjadi di tanah Kalimantan. Khusus untuk kasus di Kalimantan Selatan yang baru dilanda banjir besar, hal ini didorong oleh semakin berkurangnya tutupan hutan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Barito dan DAS Maluka.

Dari total luas DAS Barito seluas 6,2 juta hektar, tutupan hutannya pada 2019 hanya tinggal 3,5 juta saja, atau 49 persen. Adapun DAS Maluka, dari total luas 88 ribu hektare, hanya menyisakan 0,97 persen tutupan hutan atau seluas 854 hektare saja.

"Fakta di Kalimantan menunjukkan deforestasi dan penggunaan tata guna lahan berkontribusi nyata terhadap terjadinya banjir di Kalimantan Selatan," kata Arie.

Ia mengatakan hal ini tak terlepas dari komoditas-komoditas dari kayu-kayu alam, sawit, hingga tambang batubara. Dari data Greenpeace, di DAS Barito saja sudah ada 94 konsesi perusahaan kelapa sawit, 19 konsesi HTI, 34 konsesi HPH, dan 354 konsesi tambang.

"Totalnya di DAS Barito ini sudah mengambil 53 persen wilayahnya. Jadi tutupan hutannya sudah sedikit, di bawah 50 persen, izin konsesinya sudah 53 persen," kata Arie.

Ia mengatakan deforestasi atau penggundulan hutan sejak 1973 hingga saat ini, mengakibatkan perubahan iklim. "Akumulasi kerusakan hutan di Kalimantan meningkatkan suhu harian lokal dan suhu ekstrem di wilayah tersebut dan mengakibatkan perubahan iklim," kata dia menjelaskan soal akar dari banjir Kalsel.

Egi Adyatama

Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus