Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia menyayangkan langkah pemerintah yang menganggap bencana banjir di Kalimantan Selatan, murni karena cuaca buruk. Ia menegaskan bahwa kondisi iklim di sana banyak berubah, salah satunya karena kerusakan hutan yang parah. Hal ini memicu banjir Kalsel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Narasi-narasi yang dikeluarkan pemerintah itu juga mentransformasi pengetahuan bagi masyarakat Indonesia (menjadi) denial terhadap perubahan iklim ini," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas, dalam diskusi daring, Jumat, 29 Januari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arie menegaskan kejadian-kejadian baru ini menunjukkan bahwa bencana alam sudah di depan mata. Yang paling parah, ia menyebut Indonesia menjadi salah satu dari sembilan negara Asia yang paling terdampak perubahan iklim.
"Tapi dalam sebuah survei di 23 negara menempatkan masyarakat Indonesia di urutan tertinggi yang tidak percaya pada pemanasan global dipicu oleh manusia," kata Arie.
Baca juga: Menelisik Penyebab Banjir Kalsel
Ia menegaskan bahwa perubahan iklim adalah salah satu dampak dari deforestasi terus menerus yang terjadi di tanah Kalimantan. Khusus untuk kasus di Kalimantan Selatan yang baru dilanda banjir besar, hal ini didorong oleh semakin berkurangnya tutupan hutan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Barito dan DAS Maluka.
Dari total luas DAS Barito seluas 6,2 juta hektar, tutupan hutannya pada 2019 hanya tinggal 3,5 juta saja, atau 49 persen. Adapun DAS Maluka, dari total luas 88 ribu hektare, hanya menyisakan 0,97 persen tutupan hutan atau seluas 854 hektare saja.
"Fakta di Kalimantan menunjukkan deforestasi dan penggunaan tata guna lahan berkontribusi nyata terhadap terjadinya banjir di Kalimantan Selatan," kata Arie.
Ia mengatakan hal ini tak terlepas dari komoditas-komoditas dari kayu-kayu alam, sawit, hingga tambang batubara. Dari data Greenpeace, di DAS Barito saja sudah ada 94 konsesi perusahaan kelapa sawit, 19 konsesi HTI, 34 konsesi HPH, dan 354 konsesi tambang.
"Totalnya di DAS Barito ini sudah mengambil 53 persen wilayahnya. Jadi tutupan hutannya sudah sedikit, di bawah 50 persen, izin konsesinya sudah 53 persen," kata Arie.
Ia mengatakan deforestasi atau penggundulan hutan sejak 1973 hingga saat ini, mengakibatkan perubahan iklim. "Akumulasi kerusakan hutan di Kalimantan meningkatkan suhu harian lokal dan suhu ekstrem di wilayah tersebut dan mengakibatkan perubahan iklim," kata dia menjelaskan soal akar dari banjir Kalsel.