Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Mustofa mengatakan keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur potensial untuk mendukung pengembangan obat herbal di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mustofa menjelaskan potensi pengembangan obat itu didukung keanekaragaman hayati yang melimpah di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. "Nantinya kalau kita benar-benar pindah ke IKN, tentunya ini sangat potensial," ujar dia dalam rilis pada Rabu, 29 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalimantan, kata dia, kaya akan biodiversitas, termasuk tanaman obat mengingat 80 persen spesies tanaman obat dunia ada di Kalimantan. "Tanaman obat yang terdaftar di BPOM ini ada sekitar 25.000-30.000 spesies tanaman," kata dia.
Dia mengatakan mayoritas tanaman obat tersebut sudah digunakan oleh kurang lebih 55 sub-etnis suku Dayak di Kalimantan, dengan tanaman yang potensial, antara lain pasak bumi, sarang semut, akar kuning, sekungbak, dan bajakah.
Ia mengatakan berbagai penelitian telah membuktikan bahwa tanaman-tanaman herbal di daerah Kalimantan mayoritas bisa mengatasi kanker, gangguan organ dalam, bahkan bisa menjadi bahan baku kosmetik yang potensial.
Namun, dia menilai hingga saat ini belum ada upaya untuk mengeksplorasi lebih jauh potensi tersebut di industri.
Mustofa menambahkan penelitian antardisiplin terkait dengan tanaman herbal itu memang sudah banyak dilakukan, namun dari sektor industri, pemerintah, ataupun masyarakat belum memiliki visi yang sama untuk mengembangkan potensi biodiversitas di daerah IKN.
Potensi IKN sebenarnya sudah dirumuskan sejak awal inisiasi pemindahan ibu kota dibuat dengan melibatkan tiga konsep utama, yaitu IKN sebagai kota hutan, kota spons atau sponge city, dan kota cerdas atau smart city. Hal itu disebutkan dalam Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2022.
Guru Besar Fakultas Biologi UGM Ratna Susandarini menambahkan salah satu tantangan pengembangan obat herbal berupa ketersediaan data biodiversitas. "Tentu kalau ingin memanfaatkannya, kita perlu mengetahui ketersediaan spesies tersebut di alam," kata dia.