Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ia Mangkat Karena Serangan Jantung

Keluarga Keraton meminta keterangan pada tim dokter di RS George Washington perihal penyebab kematian sultan. Almarhum meninggal karena penyumbatan pembuluh darah ke jantung. Sultan diautopsi.

19 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISU itu terus gentayangan, bahkan setelah 40 hari meninggalnya Hamengku Buwono IX. Bisik-bisik itu menyebutkan: penyebab kematian Sri Sultan belum jelas dan "misterius". Serangan jantung, kelelahan, usia tua, keracunan makanan. Atau apa lagi? K.R.Ay. Nindyokirono, istri Sri Sultan yang mendampinginya berkunjung ke Amerika, telah menjelaskan ihwal hari-hari terakhir Sultan (TEMPO, 22 Oktober 1988). Toh desas-desus menyebar terus. Tampaknya, belum adanya keterangan resmi tentang penyebab kematian Sultan menyebabkan munculnya berbagai isu itu. Mungkin karena itulah, pekan lalu, 3 hari sebelum tahlilan, G.B.P.H. Prabukusumo, putra Sultan dari K.R.Ay. Hastungkoro, mengadakan konperensi pers. Dalam keterangannya, Prabukusumo -- yang didampingi G.B.P.H. Pakuningrat dan Kapolresta Yogya, Letkol. Moerdiono Darmo -- menjelaskan bahwa pihak keluarga Keraton Yogya akan meminta keterangan pada tim dokter di RS George Washington University. Sebab, katanya, hingga saat ini pihak keluarga belum tahu persis sebab-sebab meninggalnya Sultan. "Berhubung Ngarso Dalem itu milik masyarakat, maka kami punya kewajiban memberi keterangan yang benar kepada mereka," tuturnya. Jadi, adakah kecurigaan dari pihak putra-putra mendiang tentang penyebab kematian Sultan? "Ah, tidak. Kami sudah ikhlas, kok," tutur Prabukusumo. Yang terpenting, menurut dia, bagaimana meredam isu yang banyak dibicarakan orang di luar Keraton dan media massa itu. Misalnya tentang autopsi. "Lha kami sendiri tak tahu, apakah Bapak diautopsi atau tidak," tutur Prabukusumo. Keraguan pihak Keraton dapat dipahami. Apalagi seminggu sebelum keberangkatannya ke AS, Sri Sultan telah diperiksa dengan teliti oleh Prof. Dr. Sadatoen, salah satu dokter langganan Sultan. "Sebelum beliau berangkat, kami memeriksa kencingnya, darahnya, faal dari liver, ginjal, paru-paru," ujar urolog pada RS Husada ini. Hasilnya? "Semua normal. Gula pun tak ada. Kalau jantung, ya gangguan sedikit itu biasa, karena usia," tambahnya. Menurut rencana, Sri Sultan, yang dikenal selalu mengikuti nasihat dokter dengan tertib ini, akan menjalani 2 macam operasi di AS. Yakni operasi mata dan kelenjar kandung kemih. Seperti biasa, Sultan menginap di Hotel Embassy Row, di Massachusetts Avenue, Washington DC. Hujan yang turun di Sabtu Pahing -- hari kelahiran Sultan -- pada 1 Oktober itu agaknya menyebabkan Sri Sultan masuk angin. Tubuhnya dikeroki oleh Suyati Narsikin, seorang sekretaris Atase Pertahanan KBRI, yang sudah 18 tahun bekerja di sana. Hari itu, ia memang diminta Nyonya Norma untuk datang ke site 316-317, tempat Sri Sultan menginap. Sementara itu, Nyonya Norma tiduran di samping suaminya. Malam itu Yati ditelepon lagi oleh Norma dan diminta menemaninya di hotel. "Kalau ada Yati, saya tenang," kata Norma. Minggu pagi keesokan harinya, mereka -- Sultan, Norma, dan Yati -- ngobrol sambil menunggu sarapan pagi. Saat itulah Yati mengungkapkan bahwa ia merasa melihat Sultan sekitar pukul 3.30 pagi itu. Sultan tampak duduk di kursi dekat sofa tempat Yati tidur, mengenakan sweater biru, hem putih, dan bersarung. Karena malu, Yati menghadapkan mukanya ke tembok. "Tapi saya pikir tak sopan tiduran sementara ada Sultan. Jadi saya bangun. Eh, kursi ternyata kosong. Saya pikir Sultan masuk kamar lagi, sebab beliau biasa keluar-masuk kamar tanpa pakai sandal, hingga tak ada suaranya. Waktu itu saya dengar Sultan omong-omong dengan Bu Norma, di dalam kamar," cerita Yati pada TEMPO pekan lalu. Mendengar cerita Yati itu, Sultan bertanya, "Saya waktu itu berbicara nggak, Yati?" Jawab Yati, "Nggak". Sultan diam sebentar. "Oh, itu artinya baik," katanya kemudian. Pagi itu Sultan cuma makan grape fruit dan sepotong toast bermentega. Sebelumnya Sultan menanyakan pada Norma apakah ia boleh makan toast bermentega. "Boleh saja. 'Kan cuma sedikit," jawab sang istri. Sultan memang dilarang makan mentega dan sebangsanya, karena sedang makan pil antibiotlk. Mengenal soal ini, Prof. Dr. Sadatoen menjelaskan, "Mungkin karena kolesterolnya high normal -- tinggi tapi masih normal -- Sultan perlu mengurangi protein hewani. Siang itu Sri Sultan setuju untuk berjalan-jalan sambil mencari makan, dan menukarkan sepatu Norma yang kekecilan. "Bapak fit?" tanya Yati. "Mengapa kamu tanya fit?" tanya Sultan. Yati diam saja. Ia merasa wajah Sultan berubah, merah-pucat-merah. "Saya tak apa-apa," kata Sultan kemudian. Lalu, ditemani Ambe Rombat dari Athan KBRI, rombongan Sultan pun menuju ke Virginia Tyson Corner. "Kami sampai di Tyson Corner Shopping Center sekitar pukul 12.30," tutur Ambe Rombat. Pada pukul 15.00, rombongan ini menuju ke Restoran Hunan yang berjarak 3 km dari pertokoan itu. Restoran Cina di kawasan Rockfield Virginia ini merupakan langganan Sultan. Di sana Sultan memesan steamed seabus (ikan karapu yang dimasak dengan saus), orange beef, keilan saus tirem, dan minum ginger ale. "Bapak makan dengan lahap, tapi nasinya sedikit," cerita Ambe Rombat. Dessert-nya waktu itu pisang goreng dengan tepung. Ada yang menduga bahwa Sultan keracunan makanan saat itu. Namun menurut Prof. Dr. Sadatoen, Sri Sultan adalah orang yang paling pandai menjaga makanan dan tak pernah makan terlalu banyak. "Kalau makan tak pernah tanduk," ujarnya. Lagi pula, "kalau memang keracunan, mestinya yang lain pun juga kena," tutur Sadatoen. "Ya, kalau toh ginger ale itu ada alkoholnya, ya sedikit sekali. Dan nggak ada pengaruh apa-apa," tuturnya. Kembali ke Hotel Embassy Row, Sultan pun beranjak ke peraduan. Tak lama kemudian Norma, yang berada di bagian lain di suite yang luas itu, tiba-tiba mendengar suara orang muntah. Ia berlari ke kamar, dan melihat Sri Sultan terduduk sambil memuntahkan bekas makanan yang disantapnya siang itu. Segelas air putih diberikannya untuk berkumur, tapi Sri Sultan muntah lagi. "Kok muntah terus, Yang?" tanya Norma. "Ya, kok saya nggak enak rasanya," jawab Sri Sultan, yang membiarkan tengkuknya dipijit istrinya. Sri Sultan kemudian berbaring lagi. Ketika suaminya terus muntah, dan ia merasakan tubuh itu jadi dingin, Norma memasangkan sweater biru ke badan suaminya. Tapi Sri Sultan kembali muntah. Norma segera menelepon ke KBRI yang letaknya persis di seberang hotel. Beberapa saat kemudian Kol. Jauhari, seorang staf Athan KBRI, pun. Akhirnya diputuskan membawa Sultan ke RS George Washington University, yang hanya berjarak 5 menit dari hotel. Tubuh Sri Sultan yang makin dingin itu diangkut dengan pengusung, dan langsung dimasukkan ke bagian gawat darurat. "Saya ingin ikut, tapi dilarang, dan menunggu bersama para staf KBRI yang sudah hadir di sana," tutur Norma. "Sadar, Yang?" ia bertanya pada suaminya. "Sadar," sahut Sri Sultan. Itulah ucapan terakhir Sultan yang sempat didengar Norma. Di dalam, sebuah tim dokter, di bawah pimpinan Dr. Robert Rosenthal, bekerja keras lebih dari satu jam. Tapi usaha itu sia-sia. Pada pukul 19.59, hari Minggu tanggal 2 Oktober itu (Senin pagi waktu Indonesia), Sri Sultan wafat pada usia 76 tahun. "No, no, it's impossible," jerit Norma setelah diberi tahu. Suaranya tenggelam di antara isak tangis keluar para pejabat KBRI yang hadir di sana. Norma akhirnya sadar, setelah seseorang, membisikinya: "Ibu beriman? Percaya 'kan semua akan kembali. Relakan, Bu." Menurut dokter, Sultan terkena serangan jantung (heart attack). Dokter RS George ashington itu juga bertanya pada Norma apakah Sultan punya heart trouble. "Saya bilang nggak, karena Bapak bukan pasien jantung. Tapi tekanan darahnya rendah, paling tinggi 120/80," kata Norma. Berapa terakhir tekanan darah Sultan? Jawab dokter: fifty/zero (50/0). Menilik tekanan darah yang 50/0 itu kuat dugaan bahwa Sri Sultan memang terkena serangan jantung. Menurut Prof. Sadatoen, itu berarti sestoli 50 dan diatoli 0. Dan hal ini menandakan jantung tak berfungsi lagi secara wajar. "Kalau sudah kena heart attack dengan infark -- kematian jaringan setempat, karena pembuluh darah arteri tersumbat, sehingga tak mendapat O2 -- dapat menyebabkan jantung berhenti bekerja," ujar Sadatoen menjelaskan. Serangan seperti itu menyebabkan tekanan darah turun, dan membuat penderita merasa mual, muntah-muntah, hingga akhirnya tak sadar. Tapi, kata Sadatoen lagi, perhitungan tersebut secara klinis saja. "Semuanya bisa terungkap bila diadakan sectio atau bedah mayat," ujarnya. Sebuah kemungkinan lain diutarakan pula oleh Sadatoen. Menurut dia, serangan jantung dapat diakibatkan adanya gumpalan yang melekat pada dinding pembuluh darah yang lepas dan ikut masuk ke aliran darah. Di sana gumpalan tersebut menyumbat pembuluh darah penting yang terdapat dalam jantung. "Ya, itu baru teori," ucapnya, sambil sekali lagi menjelaskan perlunya dilakukan suatu autopsi. Itulah sebabnya para dokter di RS George Washington meminta agar Norma mengizinkan Sri Sultan diautopsi. "Saya ragu-ragu. Tepat ketika itu, Pak Ramly, Dubes RI, datang dan menggelengkan kepala memberi isyarat," tutur Norma. Melihat itu, ia berkata. "Tak usah. Biarkan sebagaimana adanya." Sang dokter menjelaskan, nanti jenazah Sultan susah keluar dari RS. Memang betul. Setelah hampir 28 jam terbujur di RS George Washington University, jasad Sri Sultan dipindahkan ke Ives Pearson Funeral Home, sebuah tempat untuk menyiapkan layon sebelum dibawa ke Honolulu, dan selanjutnya ke Jakarta. Namun, beberapa sumber menjelaskan kepada TEMPO bahwa di bagian perut Sri Sultan terdapat sebuah sayatan, yang diduga sebagai bekas autopsi. Dari Dr. Coleman-Miller, Special Assistant pada Commission of Public Health, Washington DC -- lembaga yang bertugas menangani autopsi diperoleh keterangan bahwa, "Setiap pasien yang meninggal bukan karena kecelakaan atau mengidap penyakit jantung harus diautopsi," ujarnya kepada wartawan TEMPO Bambang Bujono Selasa pagi lalu. Jasad pasien akan diserahkan ke Medical Examiner's Office untuk diautopsi. Hasilnya kemudian diumumkan oleh Commission of Public Health tadi. Mengenai Sri Sultan Dr. Coleman-Miller memberi keterangan sebagai berikut: "Hamengku Buwono telah diautopsi. Ia meninggal karena Erterios Clerotic Desease (penyempitan pembuluh darah) dan Coronary Occlusion (tersumbatnya pembuluh darah jantung). Hal itu disebabkan karena kadar kolesterol yang terlalu tinggi dan biasa terjadi pada orang-orang usia lanjut." Pada arsip itu disebutkan pula bahwa Sri Sultan meninggal karena usia tua. Bambang Bujono (Washington) dan Didi Prambadi (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus