Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemberian mandat dalam Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar yang ditandatangani Presiden Sukarno ditujukan kepada Soeharto untuk mengatasi keamanan yang bergejolak akibat dari peristiwa pemberontakan G30S menjadi sejarah baru bagi pemerintahan Indonesia kala itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat perintah tersebut diklaim Soeharto sebagai sekaligus surat penyerahan jabatan kepresidenan, penanda berakhirnya Pemerintahan Sukarno dan awal bagi rezim Soeharto yang menyebut sebagai Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun kebenaran dan kepastian isi Supersemar masih diragukan, hal tersebut menyebabkan banyaknya kemunculan teori-teori kontroversial atas apa yang sebenarnya terjadi kala itu.
Apalagi Supersemar yang asli telah raib dan belum ditemukan keberadaannya, Arsip Nasional Republik Indonesia atau ANRI hanya menyimpan salinan dokumen Supersemar.
Dokumen simpanan ANRI itu malah makin membingungkan karena ada tiga versi, yakni dari Sekretariat Negara, Pusat Penerangan Angkatan Darat TNI serta Akademi Kebangsaan. Jadi belum jelas apakah surat itu berisi perintah menjaga stabilitas negara, termasuk keamanan presiden dan keluarganya, atau surat legitimasi untuk pengalihan kekuasaan.
Cara mendapatkan surat perintah tersebut juga menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat Indonesia, menurut sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI Asvi Warman Adam Supersemar diberikan bukan atas kemauan Sukarno, melainkan di bawah tekanan.
Menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara mengutus dua pengusaha Hasjim Ning dan Dasaad, untuk membujuk Sukarno agar menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto. Karuan saja Sukarno menolak bujukan tersebut, dan sempat melempar asbak karena marah.
“Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Sukarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor,” kata Asvi.
Dalam buku biografinya, M. Yusuf tidak setuju mereka bertiga, Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M.Yusuf dan Brigjen Amirmachmud, dituduh menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor pada 11 Maret 1966 untuk menekan Presiden Soekarno supaya menyetujui memberikan kewenangan khusus kepada Soeharto.
Yusuf mengakui sikap mereka bertiga adalah ‘mendesak’ dan bukan 'menekan' Presiden dengan alasan yang masuk akal. Namun, kalimat “Mengambil semua tindakan yang dianggap perlu”, sebagai terjemahan dari pemberian kewenangan idenya memang dibawa dari Jakarta.
Selain keberadaan surat perintah asli yang tidak diketahui hingga kini dan dugaan Sukarno ditekan agar mau menyerahkan jabatan kepresidenan kepada Soeharto, kontroversi lain adalah perbedaan penafsiran antara Presiden Sukarno dengan Mayjen Soeharto. Bagi Sukarno, Soeharto hanya diberi perintah untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu sehingga tidak akan membuatnya kehilangan kursi kekuasaan.
Sebaliknya, bagi Soeharto, mengambil semua tindakan yang perlu adalah terjemahan dari pemberian kewenangan. Bahkan M. Yusuf mengaku mereka sengaja menghindari mendiskusikan apa batas dari kewenangan yang diberikan kepada Soeharto itu. Jadi memang ada kesengajaan untuk membuka ruang interpretasi yang luas pada isi Supersemar.
Demikian kontroversi Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar, keberadaan surat perintah yang asli belum ditemukan, ada unsur penekanan yang dilakukan Soeharto kepada Sukarno memalui utusannya, dan sengaja menyalah-tafsiran maksud isi surat perintah tersebut oleh Soeharto demi merebut kekuasaan, benar atau tidak, semua itu masih kontroversi.
HENDRIK KHOIRUL MUHID