BANYAK cara melihat konflik. Di awal Orde Baru sebuah pertemuan mirip konperensi diadakan oleh Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film. Waktu itu sedang ada semangat anti-rambut gondrong di kalangan Pemerintah. Ada yang bertanya, kalau ia melihat seorang pemuda berambut gondrong, mesti diapakan? Pak Ditjen menjawab, santai. Kalau pemuda itu melempari genting rumah dengan batu, atau membakar rumah, ya tangkaplah. Bukan karena ia berambut gondrong, tapi karena membahayakan keamanan umum. Kalau tak berbuat apa-apa, ya biarkan saja. Sebagian orang melihat rambut gondrong sebagai konflik, karena ia mengganggu rasa sopan mereka, mungkin. Yang lain melihat, konflik baru muncul bila si rambut gondrong melakukan sesuatu yang membahayakan keamanan umum. Ada analogi dengan kisah tersebut dalam perkembangan kemelut di HKBP kini. Ketika Sinode Godang ke-51 Huria Kristen Batak Protestan November 1992 gagal memilih ketua, yang disebut ephorus, orang melihatnya sebagai konflik dua kubu dalam HKBP. Itulah konflik antara pendukung ephorus lama, Pendeta S.A.E. Nababan, dan kelompok Sekjen HKBP. Konflik itu mestinya tak akan luber keluar, mengganggu umat lain. Tapi ketika itu sudah ada yang mencemaskan ''baku hantam'' dalam HKBP itu bisa berdampak ke luar. Jelasnya, bisa mengganggu keamanan umum. Jadi? Perlu dicampuri, dicegah agar konflik tak berkembang. Sebenarnya, ketika itu konflik masih dalam taraf ''rambut gondrong saja''. Justru ketika ada uluran tangan dari luar, konflik pun merembet ke luar lewat tangan itu. Munculnya Surat Keputusan Ketua Bakorstanasda yang menentukan penjabat sementara ketua HKBP yang dinamakan ephorus itulah yang, sayang sekali, justru menarik konflik jadi terbuka. Lihat, demonstrasi pun muncul, dari dua belah pihak. Yang menentang penjabat ephorus itu dan yang mendukungnya. Uluran tangan jadi lebih nyata, dan lebih keras. Sejumlah demonstran ditahan. Ketika konflik muncrat keluar itulah, apa pun sebabnya, ia bukan lagi masalah intern HKBP. Ketika itulah ia menjadi masalah nasional. Masalah inilah yang dicoba diungkapkan dalam Laporan Utama kali ini di bagian pertama. Tentu saja keterlibatan pihak dari luar HKBP perlu diperjelas latar belakangnya. Sebuah wawancara dengan Ketua Bakorstanasda Mayjen Pramono melengkapi bagian pertama ini. Di situ terungkapkan, uluran tangan itu juga karena ada permintaan dari dalam HKBP. Dan karena sudah ada ancang-ancang melihat konflik dalam HKBP bisa mengganggu keamanan umum, permintaan itu diterima. Untuk melihat masalah secara keseluruhan, bagian pertama dilengkapi pula dengan wawancara dengan Pendeta Nababan, ephorus periode 1987-1992. Lalu ada bagian-bagian yang membahas kedudukan ephorus, jabatan yang menjadi masalah itu. Dan guna lebih memberikan latar belakang jalannya konflik, dari dalam meledak keluar, sebuah bagian mencoba melacak balik proses itu: masalah apa saja sebenarnya yang bermuara dalam kericuhan Sinode Godang November tahun lalu itu. Sebagai perbandingan, konflik-konflik yang pernah terjadi dalam HKBP, Gereja yang sudah berusia lebih dari 130 tahun itu, dicoba diceritakan. Dari seluruh kisah terbayang solusi yang mungkin. Mundurnya penjabat ephorus yang ditunjuk, dicabutnya surat permintaan yang menyebabkan adanya uluran tangan pihak luar, atau menengok pengalaman HKBP, salah satu pihak yang terlibat konflik mendirikan Gereja baru. Tapi memang, yang terbaik adalah mencegah konflik. Apa boleh buat, telanjur konsep ''rambut gondrong sebagai konflik'', tanpa melupakan adanya niat baik di situ, diterapkan di sini. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini