Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

HOS Tjokroaminoto Wafat 90 Tahun Lalu, Mertua Sukarno Ini Dimakamkan di Kuncen Yogyakarta

HOS Tjokroaminoto wafat 90 tahun lalu atau 17 Desember 1934. Begini riwayat hidup tokoh Sarekat Islam dan perjuangan mertua Sukarno ini.

18 Desember 2024 | 05.47 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 90 tahun lalu atau 17 Desember 1934 tokoh besar pergerakan nasional di Tanah Air, ulama dan Pemimpin Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto meninggal dan dimakamkan pemakaman umum Kuncen, Yogyakarta. Tokoh pergerakan nasional dan pendiri organisasi Sarekat Islam ini lahir dengan nama lengkap Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Ia lahir di Ponorogo, Jawa Timur pada 16 Agustus 1882.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh besar pergerakan nasional ini diketahui menempuh pendidikan di OSVIA, Magelang dan lulus pada 1902. Kemudian, pada 1910, Tjokroaminoto melanjutkan pendidikannya di BAS (Burgerlijk Avord School). Setelah lulus, Tjokroaminoto telah melakukan pekerjaan di berbagai bidang, seperti menjadi juru tulis di kepatihan Ngawi hingga 1905 selanjutnya pindah ke Surabaya dan bekerja di Firma Kooy & Co.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berikutnya, Tjokroaminoto bekerja sebagai Learling Machinist yang selanjutnya menjadi Chemicer di suatu pabrik gula di sekitar Surabaya. Tidak hanya itu, selama hidupnya Tjokroaminoto juga terkenal sebagai wartawan dan seniman. Pekerjaan sebagai wartawan itu telah dilakukannya sejai dirinya membantu Surat Kabar Suara Surabaya.

Bukan hanya itu, Tjokroaminoto diketahui memiliki beberapa murid yang kemudian menjadi tokoh besar di Tanah Air, antara lain Sukarno, Musso, dan Kartosoewirjo. Namun terdapat beberapa pemikiran yang tidak sejalan sehingga menimbulkan perdebatan di antara mereka. Soekarno kemudian menjadi menantunya setelah menikah dengan Siti Oetari.

Putri sulung HOS Tjokroaminoto, Sri Oetari merupakan istri pertama dari Sukarno. Keduanya resmi menikah pada 1921 saat usia Sukarno 20 tahun dan Oetari 16 tahun.

Tjokroaminoto bergabung dengan kepengurusan Organisasi Sarekat Islam pada Mei 1912. Alasannya bergabung sebab Ia ingin memperjuangkan nasib rakyat. “Kita diberi makan bukan hanya karena kita dibutuhkan.” Begitulah ekspresi patriotisme HOS untuk menentang penghisapan dan eksploitasi oleh pemerintahan kolonial.

Tjokroaminoto adalah orang pertama yang diakui serta ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda sebab pengaruhnya yang besar. De Ongekroonde van Java atau “Raja Jawa Tanpa Mahkota” adalah julukan pemerintah kolonial Belanda untuknya. Karier Tjokro kian mentereng dengan dirinya yang diangkat sebagai ketua Central Sarekat Islam (SI) pada 1915. Central SI adalah gabungan dari SI di daerah-daerah, sehingga pada saat itu Ia terus berjuang mengukuhkan eksistensi SI.

Semasa kepemimpinannya, Tjokro berjuang untuk menghapuskan diskriminasi usaha terhadap pedagang pribumi. Lebih lanjut, usaha Tjokro ini dapat diartikan untuk menghilangkan dominasi ekonomi penjajah Belanda dan para pengusaha keturunan, Cina. Berikutnya, pada Maret 1916, SI diakui secara nasional oleh pemerintah Hindia Belanda. Meskipun keturunan bangsawan, Tjokroaminoto memiliki pemahaman yang berbeda dari pemuda keturunan bangsawan lainnya.

HOS Tjokroaminoto adalah tokoh yang berupaya untuk keluar dari belenggu budaya Jawa, sehingga tak mengherankan jika dirinya tak memilih organisasi Budi Oetomo sebagai wadah perjuangannya. Oleh sebab itu, tak mengherankan juga jika melihat ada banyak gubahan-gubahan tulisan karyanya yang mencuri perhatian, seperti “Apakah Sosialisme Itu" dan “Sosialisme Berdasar Islam."

Dua tulisan ini dimuat di surat kabar resmi SI, Oetoesan Hindia yang terbit pada 1 Januari 1913. Menurut pendapat Tjokro, Islam dan sosialisme bukanlah dua kutub yang berseberangan dan menghasilkan perpaduan yang begitu apik. Ia pun menjadi salah satu tokoh muslim pertama di Indonesia yang menggagas adanya perpaduan Islam dan sosialisme untuk pertama kalinya.

Akan tetapi, perjuangan dalam membela rakyat dan menegakkan ajaran agama Islam oleh Tjokroaminoto harus terhenti kala dirinya berpulang di Yogyakarta, 17 Desember 1934 dalam usia 52 tahun. Beberapa bulan sebelum Ia wafat, tubuh Tjokro telah menunjukkan tanda-tanda seperti sakit setelah dirinya mengikuti Kongres Sarekat Islam di Banjarmasin.

Semasa hidupnya, HOS Tjokroaminoto terkenal memiliki sifat simpatik, tegas, berjiwa besar, cerdas, dan berwibawa. Jasad Tjokro pun dimakamkan di Pakuncen, Yogyakarta di kawasan Wirobrajan, yang kini kawasan makamnya dikenal sebagai Taman Makam Pahlawan (TMP). Mertua Sukarno ini pun diberi gelar Pahlawan Nasional.

Rindi Ariska, Valmai Alzena Karla, dan Idris Boufakar berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus