Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ia sudah lelah berdebat

Gubuk hendry m. ali di depok digusur. hendry terus bertahan dengan tenda pinjaman dari mahasiswa UI. ia tetap menuntut ganti rugi Rp 1 milyar. sebelumnya sudah dua kali digusur, di senayan dan tebet.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HENDRY M. Ali, 45 tahun, tampaknya sudah kalah, tapi dia masih enggan menyerah. Hampir tiga setengah tahun dia bergulat mati-matian untuk mempertahankan rumah dan tanahnya dari penggusuran. Akhirnya, toh dia tak berdaya, ketika Kamis pekan lalu sebuah buldozer menerjang pondoknya hingga rata dengan tanah. Pondok 6 x 8 meter berdinding papan dan gedek itu kini telah lenyap dari "tanah asalnya", di bundaran persimpangan antara jalan tembus Pondok Cina-Cimanggis dan Depok-Pasar Minggu, persis di depan Kampus UI yang megah. Kelak, menurut rencana pemerintah, di atas tanah itu akan dibangun taman yang cantik dan jembatan layang. Kendati rumahnya telah dihancurkan, Hendri tetap tak mau menyingkir. Dia bersama istri dan keempat anaknya tetap nekat bertahan, kendati harus berteduh di bawah tenda terpal 2 x 4 meter. Belakangan, sekelompok mahasiswa UI meminjaminya sebuah tenda parasut. Di bawah dua buah, tenda ini kini keluarga Hendri melewatkan hari-harinya. "Saya harus bersedia pindah kalau pemerintah memberikan ganti rugi Rp 1 milyar," ujar Hendri, menantang. Perlawanan Hendri adalah sebuah letupan dari proyek jalan raya Pasar Minggu-Depok, yang mulai digarap pertengahan 1985. Ada 1.134 keluarga yang harus menjadi "korban" proyek itu. Dari jumlah itu, hanya Hendri yang bertahan, selebihnya menyerah dengan menerima ganti rugi Rp 7.562 per meter untuk tanah garapan, dan Rp 30.000 untuk tanah milik bersertifikat. Hendri menolak santunan itu. Ganti mgi Rp 27.500 per meter untuk tanah girik miliknya, dan Rp 21.450 per meter persegi untuk kategori rumah sederhana seperti yang didiaminya, dianggapnya kurang pantas. Santunan Rp 54 juta untuk rumah dan 1.834 m2 tanahnya tak pernah dia sentuh dan kini dititipkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada teras rumah itu, Hendri membangun usaha, bengkel motor. September 1985, sejumlah petugas Bina Marga mulai mematok tanah-tanah sekitar rumahnya. Berangsur-angsur tetangganya pun hijrah ke tempat lain, setelah menerima ganti rugi. Hingga akhirnya, hanya gubuk dia yang masih tersisa di kawasan proyek itu. Keadaan membuat usaha bengkelnya ambruk, dan rumah tangga Hendri bergantung pada dua anak lelakinya yang bekerja sebagai kernet truk. Bujukan para petugas tak dia dengar. Bahkan Desember 1986, dia mengirim surat ke Wali Kota, minta ganti rugi Rp 1 milyar. Mulailah intimidasi harus dia hadapi. Impitan itulah yang mendorongnya membuat tulisan besar "Gubuk Derita" di depan rumahnya, dan sempat mengundang perhatian pers. Toh akhirnya eksekusi penggusuran itu berlangsung, setelah didahului dengan tiga kali peringatan tertulis dari Wali Kota. Buldozer wali kota ini beraksi ketika Hendri tak ada di rumah. Pagi itu dia sengaja diundang ke Kantor Wali Kota, untuk kesekian kalinya berunding soal ganti rugi. Sementara Hendri berunding, sebuah buldozer yang dikawal oleh sekitar 100 orang petugas keamanan menggilas rumahnya. Umroh Aini, istri Hendri, hanya bisa menangis sambil mendekap anak bungsunya, ketika "atraksi" itu berlangsung. Puing-puing rumah beserta perabot rumah tangga tersisa diangkut pula oleh para petugas, entah dibawa ke mana. Hendri mengaku tak kaget ketika melihat rumahnya rata dengan tanah. "Saya tidak marah, tidak menangis," ujarnya. Dia mengaku telah pasrah. "Mereka punya kekuasaan, sedangkan saya hanya punya hak," tuturnya dalam suara serak. Tapi dia tetap tak ingin meninggalkan haknya. "Saya sudah lelah berdebat. Kalau mereka mau bunuh saya, silakan," ujarnya pasrah. Kepasrahan Hendri memang punya alasan. Dia telah tiga kali tergusur. Lebih dari seperempat abad lalu, dia tergusur dari kawasan Senayan, lantaran di situ dibangun kompleks olahraga. Dia hijrah ke kawasan Tebet. Namun, di situ peristiwa yang sama terulang. Lantas, dia beli tanah di tempat yang jadi sengketa sekarang, dengan harga Rp 11 juta pada 1978. Berbekal pengalaman dua kali tergusur, Hendri bersikap hati-hati. Sebelum transaksi tanah yang masuk Kelurahan Serengseng Sawah itu, dia telah minta penjelasan tentang tanah itu. Jawabannya melegakan. Surat bernomor 514/Gsb/s/80, dari Pemda DKI mengatakan kawasan itu diperuntukkan bagi hunian masyarakat. Tapi ternyata rencana DKI itu berubah 5 tahun kemudian. Gubernur Wiyogo mengakui bahwa sampai 1980 memang belum ada rencana membangun jalan raya Pasar Minggu-Depok. Rencana itu mendadak mencuat setelah ada rencana memindahkan UI ke Depok. "Ini proyek pusat," kata Wiyogo. Gubernur DKI menolak anggapan bahwa ganti rugi yang diberikan tak pantas. Mestinya, kata Wiyogo, soal harga itu dinilai dari kaca mata 1985. "Harga saat itu berapa?" ujarnya kepada G. Sugrahetty dari TEMPO. Secara pribadi, Wali Kota Jakarta Selatan Mochtar Zakaria tak menutupi rasa simpatinya kepada Hendri. "Dia memang kasihan nasibnya, tiga kali kena bongkar, saya mengerti perasaannya," ujarnya. Gubernur Wiyogo juga tak ingin menunda proyek jalan ini. "Kami tetap akan konsisten dan konsekuen agar proyek pusat itu bisa terwujud. Dan harap diingat, proyek ini untuk kepentingan umum, bukan perseorangan," tuturnya. Apa pun rencana Wiyogo, Hendri tampak tak peduli. Di dekat tendanya kini muncul tulisan: "Tanah ini milik Perumahan ... yang tidak berkepentingan dilarang masuk". Secara bergurau, dia pun mengubah "Gubuk Derita"-nya menjadi "Istana Derita". Istana? "Ya, sebentar lagi akan muncul taman di sini, kolam, air mancur, pilar beton, dan lain-lain," kata Hendri sendu. Kasus "Gubuk Derita" ini rupanya juga memancing perhatian Mendagri Rudini. Sabtu pekan lalu ia mengatakan bahwa ia telah menghubungi Wagub DKI Bidang Pemerintahan, Basofi Soedirman, untuk meminta penjelasan.Putut Tri Husodo dan Rustam F. Mandayun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus