Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Difabel

Ismail, Tunanetra Anggota Mapala Universitas Negeri Padang

Simak kisah Ismail, anggota mapala Universitas Negeri Padang saat berlatih sampai naik gunung Bukit Barisan.

14 Juli 2020 | 16.00 WIB

Ismail berfoto dengan sesama anggota Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup (MPLAH) Universitas Negeri Padang atau UNP pada tahun 2018. Foto: Istimewa
Perbesar
Ismail berfoto dengan sesama anggota Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup (MPLAH) Universitas Negeri Padang atau UNP pada tahun 2018. Foto: Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Bagi sebagian orang, menggeluti aktivitas sebagai mahasiswa pecinta alam tidaklah mudah. Umumnya organisasi mahasiswa pecinta alam atau mapala menunutut kekuatan dan ketahanan fisik guna menyusuri hutan, menyusuri gua, memanjat tebing, dan lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Segudang aktivitas mapala yang menuntut keterampilan fisik tersebut tidak menyurutkan minat Ismail, seorang tunanetra untuk bergabung dengan Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup atau MPLAH di Universitas Negeri Padang. "Sata soe hok gie, hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya," ucap Ismail yang kehilangan kemampuan penglihatan saat duduk di bangku SMA, kepada Tempo, Sabtu 27 Juni 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ismail ingin membuktikan keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk meraih tujuan, termasuk berkegiatan di alam bebas. Dia memang sempat terkendala selama menjalani proses pendidikan dasar anggota mapala. Salah satu materi yang sulit adalah membaca peta. "Membaca peta kan harus melihat, harus bisa memvisualisasikan, saya tidak bisa. Tapi yang penting saya memahami konsepnya," Ismail.

Anggota Mapala Universitas Negeri Padang, Ismail menyusuri gua di Sumatera Barat, pada 2017. Foto: Istimewa

Ismail berupaya maksimal pada materi lain yang tidak mengutamakan penglihatan. Misalkan teknik memasang harnest webbing, sebuah teknik dasar yang harus dimiliki dalam kegiatan panjat tebing atau susur gua. Pelaksaan pendidikan dan latihan lapangan juga menjadi tantangan terberat Mail. Dia harus mendaki gunung selama sepuluh hari di Bukit Barisan. Inilah syarat terakhir untuk menjadi anggota mapala.

Selama pendakian tersebut, Ismail harus memegang ransel teman yang ada di depannya untuk memandu langkah. Panitia juga menugaskan satu orang yang khusus mengawasi Ismail.

Ketua Umum Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup di Universitas Negeri Padang pada 2016 yang menerima Ismail, Nopan Putra mengatakan, sempat meragukan apakah Ismail mampu bertahan dalam menjalani proses pendidikan dasar. Kenyataannya, Ismail mampu membuktikan dia setara dengan calon anggota yang lain.

Anggota mapala tunanetra, Ismail memanjat tebing di Kenagarian Kolok, Sawah Lunto, Sumatera Barat, pada 2017. Foto: Istimewa

"Kami sempat meragukan dan mengkhawatirkan keselamatannya. Tapi ketika di lapangan, ternyata dia tidak banyak merepotkan teman-teman," kata Nopan. "Ismail mampu menyelesaikan semua rangkaian pendidikan dasar dan kami bangga kepadanya."

Ismail bersyukur karena dia mendapat dukungan penuh dari teman-temannya. Pria yang sudah diwisuda pada Maret 2020 ini berharap, organisasi mapala dapat lebih inklusi dengan memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk bergabung. Pernyataan senada disampaikan oleh Nopan. "Setiap orang punya hak yang sama untuk berkontribusi mencintai alam dan beraktivitas di alam bebas."

MUHAMMAD AMINULLAH

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus