Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Jalan Hijrah Si Rama-rama

Beberapa mantan pekerja seks, muncikari, dan warga mulai beralih pekerjaan. Pemasaran kendala utamanya.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Endang Kustiyani menorehkan canting di atas mori dengan teliti. Di sebelahnya sebuah kompor menyala kecil untuk memanaskan wajan berisi malam cair. Kegiatan itu biasanya dilakukan di rumahnya. Sekitar 30 tetangga Endang juga melakoni pekerjaan tersebut. Sebagian hasilnya dipajang di rak kayu di rumah kreatif Risma Ratu, Jalan Dupak Bangunrejo, Surabaya. Coraknya khas Surabaya. Di antaranya motif ikan suro-boyo, Tugu Pahlawan, dan daun semanggi, makanan khas Surabaya. Harga batik tulis itu Rp 150 ribu per lembar.

Endang mengatakan usaha itu dirintis sejak Januari 2014. Saat itu warga mendapat pelatihan membatik dari produsen batik asal Waru, Sidoarjo. Kini usaha batik ini berkembang menjadi tiga kelompok. Mereka adalah Risma Ratu, Kresna Ratu, dan Sari Ratu. Tiap kelompok terdiri atas 20-30 orang.

Kelompok pembatik ini berisi mantan pekerja seks, muncikari, dan warga yang terkena dampak ditutupnya lokalisasi Dupak Bangunrejo pada Desember 2012. Setelah lokalisasi ditutup, warga yang terkena dampak, bekas pekerja seks, dan muncikari yang masih tinggal di kawasan itu bertahan hidup antara lain dengan membuat barang kerajinan dan makanan.

Dupak memang menjadi proyek percontohan penutupan lokalisasi yang gencar dilakukan Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Setelah penutupan, sejumlah warga aktif memulai usaha baru. Mereka lebih dulu mengikuti beragam pelatihan. Selain warga Dupak Bangunrejo, penduduk Dupak Bangunsari mendapat pelatihan. Kini pesanan mulai berdatangan dan lumayan untuk bertahan hidup.

Pengurus Kelompok Sari Ratu, Katiyam, 62 tahun, mengatakan pesanan batik yang diterimanya berasal dari lingkungan Pemerintah Kota Surabaya. Pada Februari lalu, Pemerintah Kota memesan 300 lembar kain batik dari 800 lembar dari Dinas Sosial. "Kemarin sudah dikirim 300 lembar. Minta lagi 700 lembar, terus tambah lagi pesan 100 lembar," ujarnya Selasa pekan lalu. Ada juga pesanan dari Universitas Islam Nasional Sunan Ampel berupa 37 lembar dan 10 potong kain pesanan Rumah Sakit Umum dr Soetomo, Surabaya.

Mereka menggarap order itu dengan modal sendiri secara patungan. Modal awalnya sekitar Rp 50 ribu per orang untuk pembelian kompor dan malam. Kain mori dan pewarnaan batik ditanggung pembina.

Selain menggarap order sendiri, kelompok pembatik mengerjakan pesanan pembina. Jika pembina batik menerima banyak order, pengerjaannya akan diserahkan kepada kelompok pembatik Dupak. Mereka kemudian berbagi tugas. Ada yang khusus membuat rekacorak dengan pensil, menggambar dengan canting, dan mengeblok pola yang sebelumnya sudah dilukis. Mereka menggarap pekerjaan itu di rumah masing-masing.

Untuk membuat rekacorak, pembatik meniru pola motif yang sudah ada. Motif itu lebih dulu digambar di kertas minyak. "Tinggal pilih mau motif apa, terus diblat," ujar Endang, yang juga ketua kelompok batik Risma Ratu.

Dalam satu hari, kata Endang, satu orang bisa menggarap dua kain. Mengerjakan satu kain mendapat untung Rp 12.500-25.000. Dalam dua bulan, mereka bisa menghasilkan 100 lembar kain batik. Kain itu kemudian diserahkan ke pembina di Waru untuk dilakukan proses akhir berupa pewarnaan dan pengeringan.

Akan halnya penduduk Dupak Bangunsari menggarap produknya di Rumah Kreatif Kembang Melati, bekas rumah bordil yang disewa Pemerintah Kota Rp 10 juta sejak pertengahan 2013. Produknya adalah makanan dan kreasi dari kain perca. Produk dari kain perca menjadi unggulan kelompok ini. "Semua yang menggarap ibu-ibu eks pekerja seks, muncikari, dan warga yang terkena dampak," kata Ketua Kelompok Kembang Melati, Anik Sriwati'ah, Selasa pekan lalu.

Berbekal keterampilan membuat keset dari kain perca, Anik memotivasi para tetangganya. Lantaran memanfaatkan barang limbah, yakni kain perca, modal yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Modal awalnya dari Badan Keswadayaan Masyarakat sebesar Rp 7,25 juta pada 2013. Dengan uang itu, Anik membeli sebuah mesin bordir. Dua puluh orang bergabung bersama-sama memproduksi keset.

Beberapa bulan kemudian, bantuan datang lagi. Pemerintah Kota Surabaya menyumbangkan 12 mesin jahit, Dinas Sosial menyerahkan dua mesin, dua mesin jahit lain dari PNPM Mandiri, diitambah dengan setengah sak kain perca. Order keset dipesan oleh Pemerintah Kota dan perorangan. Anik membanderolnya Rp 10-20 ribu untuk yang polos dan Rp 25 ribu ke atas untuk yang bermotif.

Lambat-laun produknya bukan cuma keset. Dengan sedikit inovasi, rentengan kain perca disusun untuk membentuk lukisan wajah. Presiden Sukarno dan Wali Kota Tri Rismaharini adalah dua wajah yang telah dibuat Kelompok Kembang Melati.

Lukisan wajah Sukarno dari kain perca itu mengantarkan Anik dan kelompoknya meraih gelar industri rumahan terbaik ketiga dalam kejuaraan Pahlawan Ekonomi pada Desember 2013. Pihaknya juga berhak atas kontrak pembelian senilai Rp 10 juta dari Carrefour. Baru-baru ini pesanan datang dari kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kembang Melati diminta membuatkan lukisan wajah calon presiden Joko Widodo.

Lukisan kain perca tidak ditentukan harganya. "Biasanya pemesan sendiri yang memberi harga. Ada yang Rp 400 ribu, ada yang Rp 1 juta," ujar ibu dua anak ini. Hasil penjualannya dibagikan kepada ibu-ibu yang menggarap pesanan setelah disisihkan sebagian untuk membayar air dan listrik Rp 500 ribu per bulan.

Namun baik Anik maupun Endang mengakui masih banyak kendala yang dihadapi. Endang mengatakan kelompok pembatik belum berani menerima pesanan sendiri. "Modalnya kan belum ada. Jadi, kami belum berani menerima pesanan sendiri," katanya. Karena itu, usaha membatik yang dikerjakan sehari-hari tersebut belum bisa dijadikan sandaran hidup. Jika garapan batik sedang sepi, mereka beralih kegiatan seperti membuat kue.

Anik merasa fasilitas dari Pemerintah Kota masih sangat kurang. "Fasilitas tidak lengkap, lakunya barang juga kelamaan. Jadi banyak yang beralih ke usaha lain." Lantaran omzet Kelompok Kembang Melati tidak menentu, hanya tujuh orang yang bertahan menggarap produk dari kain perca.

Untuk memotivasi anggota kelompoknya, Anik rajin mengikuti pameran. Undangan pameran dari mana pun disambutnya, sekalipun harus ke luar kota. Dengan cara itu, ia yakin bisa memperkenalkan dan mempromosikan produk unggulan warga usaha kecil Dupak Bangunsari sebagai eks lokalisasi.

Kelompok pembatik yang dimotori Katiyam pun begitu. Sering mereka harus membawa produk ke tempat pameran yang jaraknya relatif jauh. "Uang habis untuk ongkos transpor dan angkut. Itu pun belum tentu laku," ujar Katiyam.

Mereka berharap ada tempat rekreasi dan sentra ekonomi agar memudahkan warga memasarkan produk. Apalagi Dupak Bangunsari memiliki beragam jenis usaha kecil, dari kecap, sirup, kue kering, sablon, ikan presto, sulam pita, enceng gondok, batik, keset kain perca, hingga sambal.

Anik pun berharap mendapatkan pelatihan Internet sekaligus disediakan fasilitasnya. Maka kelompoknya bisa memasarkan produk secara online. Pemasaran yang luas akan membuat permintaan semakin banyak. Dengan begitu, pemberdayaan warga semakin meningkat, sehingga mereka memiliki penghasilan yang dapat diandalkan. "Pokoknya, usaha ini harus tetap jalan. Jangan sampai kembali seperti dulu," kata Anik dan Katiyam.

Endri Kurniawati, Agita Sukma Listyanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus