Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Jalan Menuju Sufi

Tasawuf Alghazali semakin dipopulerkan di Indonesia, di antaranya melalui kursus-kursus singkat yang bisa diikuti umum. Kenapa tasawuf selama ini terkesan eksklusif?

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA bisa menjadi sufi". Bunyi iklan di sebuah koran Jakarta pekan lalu itu terasa mendobrak anggapan sebagian orang bahwa yang bisa menjadi sufi (orang yang menjalani tasawuf, aspek rohani Islam) hanya para "mistikus" dan ahli agama yang khusyuk. Benarkah tasawuf bukan lagi "barang mewah" yang terkurung di belakang tembok pertapaan dan tak tersentuh publik—seperti anggapan orang selama ini? Tampaknya ya.

Tasawuf kini mulai diperkenalkan secara populer, baik melalui internet maupun kursus-kursus ringkas dan praktis. Itulah yang dilakukan Iiman (Indonesian Islamic Media Network), sebuah lembaga yang menyosialisasikan tasawuf yang bermarkas di Jakarta. Sebuah kursus singkat dua jam sehari tentang tasawuf diselenggarakan di Gedung Bidakara, Jakarta, setiap Sabtu, sejak awal Februari hingga Maret. Pelajaran dimulai dari pengenalan tasawuf praktis hingga pemahaman teoretis. Materinya antara lain ibadah yang paling mudah, menjelajahi rahasia doa-doa para sufi, dan rahasia salat dari syariat, tarikat, hingga makrifat. "Anda Juga Bisa Menjadi Sufi: Tips Tasawuf Ahlaki" oleh pemerhati tasawuf Husein Shahab, M.A., adalah salah satu materinya.

Kesan eksklusif ilmu tasawuf muncul, kata Husein Shahab, karena faktor sejarah. Pascakepemimpinan Nabi Muhammad dan empat khalifah, dunia Islam didera oleh pertikaian politik internal. Bagi tokoh-tokoh yang menekankan aspek rohani Islam, kehidupan yang diwarnai perebutan kekuasaan itu terasa pengap. Untuk memprotesnya, sebagian ulama menjalani kehidupan zuhud (menghindari kehidupan duniawi). Mereka membentuk kelompok yang terorganisasi untuk membentengi diri dari bau anyir politik. Tradisi yang muncul pada akhir abad ke-1 Hijriah itu kemudian disebut tasawuf. Periode berikutnya, tasawuf berkembang di kalangan pengikut tarekat (organisasi tasawuf) yang diikat oleh hubungan guru dan murid. Mereka yang ingin belajar tasawuf haruslah berbaiat kepada seorang mursyid (guru spiritual)—hal yang kemudian menjadikannya eksklusif.

Seperti pohon yang tumbuh subur dengan cabang dan ranting, berbagai aliran tasawuf muncul dan berkembang. Kecenderungan utama yang muncul, tasawuf sebagai mazhab beroposisi dengan ulama mazhab fikih (yang menekankan syariat, misalnya salat). Imam Alghazali, filsuf dan ahli tasawuf abad ke-12 Masehi, menyintesakan dua mazhab itu dan menggabungkan kembali aspek syariat dan tasawuf. Kitab Ihya' Ulumiddin (menghidupkan sains agama) karya Alghazali menjadikan fikih dan tasawuf sebagai unsur dalam Islam yang saling melengkapi, seperti kata ulama masyhur, Hamka, dalam buku Tasauf, "Belajar fikih tanpa tasawuf, otak akan dipenuhi ilmu halal-haram saja, sementara jiwanya kasar."

Keeksklusifan tasawuf, menurut pemerhati agama Budhi Munawwar-Rachman, gugur dengan terbitnya buku Ihya'. Kitab yang sudah lama menjadi bacaan wajib di banyak pesantren tradisional di Indonesia itu belakangan diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan penampilan dan bahasa yang populer. Toh, tasawuf ahlaki, begitu sebutan untuk tasawuf ala Alghazali itu, dianggap belum memasyarakat. "Jadi, tasawuf Alghazali itu sudah lama ada. Cuma, ia belum go public," kata Husein Shahab. Kursus yang diselenggarakan Iiman itulah salah satu upaya untuk memopulerkan tasawuf praktis.

Tapi, tasawuf praktis untuk umum, menurut Budi Munawwar-Rachman, sebetulnya belum berkembang di Indonesia. Tasawuf yang ada, ya, model kitab Ihya', yang memang berisi panduan praktis—tapi tetap saja lebih pas untuk konsumsi "santri". Tasawuf yang relatif praktis dan generik dikembangkan oleh Hazrat Inayat Khan, sufi India yang bermigrasi ke Amerika Serikat dan membentuk orde sufi pertama di Barat. Pandangan Khan melintas agama. Karena itu, Yoga, menurut Khan, juga bisa dipakai untuk menggapai Tuhan. "Di bawah cinta dan cahaya Tuhan, semua jalan sama," kata Khan dalam bukunya, The Inner Life. Tokoh yang lebih kontemporer adalah Kabir Edmund Helminski. Orang Eropa Timur itu menjadi guru spiritual untuk tarekat Maulawiyah di Istanbul, Turki, pada 1990. Di bawah Kabir, tarekat itu mengadopsi prinsip-prinsip sufi tradisional untuk kehidupan masyarakat modern.

Kelik M. Nugroho, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus