Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak salah lagi, yang ditunjuk hidungnya adalah Barisan Nasional, Koalisi Nasional untuk Demokrasi, dan Forum Kota (Forkot), tiga kekuatan yang tengah gencar-gencarnya menuntut Presiden Habibie turun dan digantikan dengan suatu presidium pemerintahan transisi. Dalam penilaian mereka, Habibie ibarat sedang ketoprakan alias tidak serius menyelesaikan krisis yang terjadi. "Sama sekali tidak ada kesan serius dari Habibie untuk memberantas KKN," kata Ratna Sarumpaet, Koordinator Badan Pekerja Koalisi.
Karena itu, Koalisi menganggap Habibie harus turun. Dan waktu yang tepat adalah dalam Sidang Istimewa MPR, November mendatang. Barisan mengambil sikap yang sama. "Kalau harus menurunkannya sebelum SI, bagaimana mekanismenya?" Kata Sekretaris Jenderal Barisan, Rachmat Witoelar, sambil menepis tudingan bahwa pihaknya akan mengerahkan massa untuk menjungkalkan Habibie. Sedangkan mahasiswa yang tergabung dalam Forkot bersikap ekstrem. "Bila perlu, sekarang juga harus turun,’’ kata Eli Salomon, salah seorang tokohnya, yang menilai kursi Presiden Habibie cacat hukum.
Untuk pengganti Habibie, mereka sudah punya kriterianya. Koalisi, misalnya, menginginkan agar kekuasaan presiden dilimpahkan kepada suatu presidium pemerintahan transisi yang terdiri atas sembilan tokoh sipil yang dipercaya masyarakat. Siapa saja tokoh tersebut, mereka pantang menyebut nama, meskipun ketika ditanya apakah figur seperti Megawati, Gus Dur, dan Amien Rais bisa masuk, Eli mengiyakan. Tugas utama presidium adalah menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur dan adil untuk kemudian memilih presiden dan wakil presiden definitif.
Untuk mengegolkan gagasannya itu, basis kekuatan kelompok ini memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Menurut pengamat politik Arbi Sanit, kekuatan anti-Habibie jauh lebih besar dari barisan pendukungnya. Sampai saat ini, tercatat lebih dari 100 organisasi prodemokrasi dari 18 provinsi--40 di antaranya di Jakarta--bergabung di dalam Koalisi. Sedangkan Forkot, seperti terlihat dalam aksi pendudukan gedung parlemen Mei lalu, didukung oleh 47 kampus se-Jabotabek dengan puluhan ribu mahasiswa.
Banyaknya dukungan ini membuat beberapa pihak menengarai ada kekuatan finansial besar yang mengucurkan dana miliaran rupiah di balik pergerakan kelompok ini. Tapi hal itu dibantah kelompok tersebut. Ratna mengakui ada beberapa pengusaha yang memberikan sumbangan dengan syarat nama mereka tidak disebut-sebut. "Tapi jumlahnya tidak fantastis," kata Ratna. Sumber TEMPO di Koalisi pun mengungkapkan bahwa Arifin Panigoro dan Yusuf Wanandi pernah menyumbangkan masing-masing sekitar Rp 10 juta. Sementara itu, biaya operasional Barisan, menurut Rachmat--entah benar entah tidak--cuma berasal dari kocek pribadi pengurus masing-masing. Forkot melakukan hal serupa. Seluruh aksinya selama ini berasal dari iuran mahasiswa ditambah hasil mengamen dan menjual kardus bekas atau kaus. "Kalaupun ada, bantuan sekadarnya, misalnya nasi bungkus," katanya.
Kekuatan-kekuatan inilah yang kini membuat pemerintah resah dan mengecap mereka inkonstitusional, makar, dan berbau komunis. Menanggapi ancaman jerat makar, Ratna ternyata tak kalah gertak. Kalau aksi-aksi mereka digolongkan makar, ia akan menuntut sikap konsisten pemerintah untuk juga menangkapi semua demonstran yang telah menggulingkan Soeharto, Mei lalu. Termasuk para wakil rakyat.
Karaniya Dharmasaputra, Darmawan Sepriyossa, Hardy R. Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo