Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Janji sekadar janji

Perolehan suara PDI naik paling tinggi dibanding kontestan lainnya. tapi ia tetap nomor buncit. janjijanji menarik masa kampanye itu cuma janji politik.

20 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA ibarat, berapa pun panjang jalan, masih lebih panjang lantai perumahan. Ini terbukti dalam kampanye pemilu yang barusan berlalu. Kampanye PDI telah berhasil memerahkan jalanjalan di berbagai kota besar. Tapi ia tak bisa tampil sebagai juara. Sebab, orang yang tinggal di rumah dan tak ikut bermerahria di jalanan jauh lebih banyak. Lihat saja prestasinya dalam Pemilu 9 Juni lalu. PDI tetap menempati nomor buncit, cuma mendapat 14,5 juta atau hampir 15% dari suara yang terkumpul. Padahal, Partai Banteng itu telah tampil dengan isu yang berani dan menawan seperti perubahan, pembatasan masa jabatan presiden, atau antimonopoli. PDI cuma mampu menjaring 1.026.000 atau hampir 23% di Jakarta, kalah dari PPP yang meraih 24%, atau Golkar hampir 53% dari hampir 4,5 juta suara yang sudah masuk. Kedudukannya sebagai runner up di DKI yang diraih pada Pemilu 1987 melayang ke tangan PPP. Secara nasional, prestasi PDI melonjak. Sampai Sabtu pekan lalu, PDI menggaet hampir 15%. Persentase ini melambung jauh dibanding perolehan 1987 yang cuma 11% dari suara yang masuk. Kursi yang didapat untuk DPR naik dari 40 buah menjadi 56 buah. Kalau ditelusuri, 16 kursi baru PDI itu berupa penambahan 17 kursi dari sembilan daerah pemilihan, dikurangi satu di Jakarta. Penyumbang kursi terbanyak adalah Jawa Timur (5 buah) diikuti Jawa Tengah (4 buah). Provinsi lainnya masingmasing menghasilkan satu kursi DPR, yakni SumUt, SumBar, Riau, Lampung, KalBar, Bali, TimTim, dan NTB. Tapi Ketua Umum PDI Soerjadi sepertinya tak puas dengan angkaangka resmi versi LPU itu. "Kami masih mengumpulkan buktibukti soal proses pengumpulan suara itu. Ini masalah demokrasi," ujarnya. Dia kesal, garagara ada laporan bahwa ribuan saksi PDI mendapat tekanan sehingga urung bertugas di TPS. Di NTT, misalnya, kata Soerjadi, 2.500an saksi PDI batal bersaksi. Lalu, di tiga kabupaten di JaTim, katanya, 1.500an saksi mengalami hal serupa. Lepas dari soal kecurangan itu, Soerjadi lantas menepuk dada karena suksesnya itu tak lepas dari kerja keras pengurusnya dalam menata organisasi. Selain itu, kata Soerjadi pula, PDI berhasil dalam mempersiapkan kampanye. "Tematema kampanye PDI mengena terhadap apa yang dirasakan rakyat," tambahnya. Sebagai pimpinan partai, wajar saja Soerjadi mengajukan klaim yang demikian. Tapi Dr. Alfian, ahli politik LIPI yang duduk di Departemen Cendekiawan Golkar, punya pendapat lain. Dia menilai, suasana longgar pada pemilu 1992 ini memungkinkan PDI dan PPP menggaet kembali massa tradisionalnya. PPP bisa menarik sisa massa NU, Parmusi, Perti, dan PSII. Sedangkan PDI bisa meggaet sisasia masa PNI, Partai Katolik, Parkindo, Murba, dan IPKI. Alfian menunjuk fenomena di Bali. Di situ memang dulunya basis PNI. Pada Pemilu 1971, ketika "keperkasaan" Golkar amat sulit tertandingi, Bali masih mampu mengirim satu anggota DPR dari PNI. Hal yang sama juga terlihat di daerah bekas basis PNI lainnya seperti di JaTim, JaTeng, SumUt, dan SumSel. Pada Pemilu 1992 ini, PDI juga menambah kursi di bekas basis Partai Katolik seperti KalBar. Namun, ada fenomena lain yang sulit dijelaskan dengan teori itu. Misalnya saja, PDI tibatiba saja memperoleh kursi DPR dari SumBar dan Riau, daerah yang dulunya basis Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Perolehan suara PDI di kedua provinsi itu naik tajam, masingmasing 148% dan 120%. Namun, penambahan jumlah pemilih yang paling spektakuler terjadi di Ja-Teng dan Ja-Tim. Di Ja-Teng, PDI naik 72%, dari 1,94 juta suara pada 1987 menjadi 3,35 juta pada 1992. Sedangkan JaTim meningkat 118% dari 1,3 juta menjadi 3 juta suara. Suara PDI hampir naik di semua daerah, termasuk pula di daerahdaerah yang dulunya miskin seperti di Madura serta wilayah "tapal kuda" Gresik, Pasuruan, Probolinggo, sampai ke Situbondo. Di Sumenep, Madura, kursi PDI di DPRD II naik dari 2 menjadi 4 buah. Di daerah "tapal kuda" ratarata ada lonjakan 2 sampai 3 kursi untuk DPRD II. Bahkan di daerah pesantren Jombang, suara PDI melompat hampir tiga kali lipat, menjadi 134.000. Maka, tokoh PDI Kwik Kian Gie keberatan jika kenaikan suara PDI itu cuma dikaitkan dengan pemilih tradisionalnya. Kwik melihat bahwa PDI dipandang sebagai simbol antikemapanan, menjadi tumpahan rasa tak puas, dan menarik karena janji perubahannya. Suara protes pun sebagian masuk ke kotak PDI. Suara protes itu memang ditangkap PDI sebagai suara potensial yang bisa ditarik. Maka, Ketua PDI JaTim Latief Pudjosakti pun sengaja menarik simpati dengan menyentuh persoalan yang dihadapi daerah masing-masing. Di kawasan industri seperti Mojokerto dan Gresik, ia menjual isu perburuhan seperti upah minimum atau jaminan sosial. Isu antimonopoli cengkeh digelar di daerah sentra cengkeh seperti Jombang dan Tulungagung, serta daerah industri rokok Kediri seperti Gudang Garam atau Bentoel. Tokoh-tokoh masyarakat yang tersisih juga ditampungnya. Maka, di JaTim dan JaBar, ratusan mantan kepala desa digiring masuk kandang Banteng. Akibatnya, pahit bagi Sutomo, Kades Purworejo, Kendal, Jawa Tengah. Setelah Mulyadi kades lama yang dikalahkannya dua tahun silam menjadi kader PDI, perolehan suara Golkar di desa itu anjlok 30%. Sebaliknya, PDI naik 500%, dari 100 menjadi 600 suara. Menumpuknya kekecewaan tokoh berpengaruh di desadesa itu tampaknya sungguh berpengaruh bagi perolehan suara PDI di JaTim dan Jateng. Sayangnya, sukses di JaTim ini tak diikuti dengan keberhasilan di daerah pemilihan paling bergengsi, DKI Jakarta. Menurut Kwik Kian Gie, bentuk kampanye PDI yang ugalugalan di Ibu Kota itu membuat orang yang semula simpati menjadi antipati pada Banteng. "Orang Jakarta itu lebih kritis. Kalau di daerah lain PDI brutal mungkin tak jadi soal," katanya. Satu hal lain yang membuat suara PDI lari, kata Kwik, adalah ketika PPP kembali menggaet pemilih dengan isu agama, baik di panggung kampanye, spanduk, atau selebaran gelap. Ada yang berisi sikap PDI dalam pembahasan RUU Peradilan Agama dan Sistem Pendidikan Nasional atau soal unsurunsur fusi nonmuslim partai itu. Sisi lain yang membuat PDI Jakarta tak menjadi runner up adalah calon-calonnya kurang representatif dan tak dikenal luas. Yang lebih penting bagi PDI, menurut Kwik, adalah bagaimana memenuhi janji kepada pemilihnya. "Mampukah dan beranikan fraksi PDI di MPR nanti berbicara tentang perubahan seperti yang telah dijanjikan dalam kampanye?" ujarnya. Dalam soal janji ini, Ketua Umum PDI Soerjadi tampak tak "garang" seperti tatkala kampanye. "PDI itu partai politik. Janjinya, ya, janji politik," ujarnya. Maksudnya, secara prinsip PDI tetap berpegang pada janji itu. Namun, bagaimana bisa terwujud, menurut Soerjadi, itu juga bergantung pada fraksi PPP, Golkar, ABRI, dan Utusan Daerah di MPR. Kalau fraksifraksi itu tak peduli? "Ya, janji itu tak akan jadi apaapa," katanya. Putut Trihusodo, Sri Pudyastuti, Jalil Hakim, dan Heddy Lugito

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus