DAHAN Beringin patah di empat provinsi di Jawa Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat. Di Jawa Timur, menurut hasil penghitungan suara, mereka akan kehilangan 10 kursi. Pada Pemilu 1987, rakyat Jawa Timur mengegolkan 46 calon Golkar ke DPR. Meski tetap unggul dari PPP dan PDI, Golkar dalam pemilu kemarin hanya "menguasai" 28 kabupaten dan delapan kota madya di provinsi dengan 21 juta pemilih dan 62 kursi DPR itu. Total perolehan suara Golkar di Jawa Timur turun 12% dibandingkan Pemilu 1987. Lima tahun lalu, Golkar hanya gagal memenangkan kursi di Kabupaten Sampang, Madura. Di Jawa Tengah, Golkar kehilangan 8 kursi, sehingga wakil mereka untuk DPR tinggal 32 orang. Di Yogyakarta dan Jawa Barat, Golkar akan kehilangan masingmasing 1 kursi. Total 20 kursi tak dapat dipertahankan Golkar di empat provinsi Jawa. Andil kemenangan Golkar pada Pemilu 1987 sebenarnya tak lepas dari ketidakcocokan pimpinan Nahdlatul Ulama terhadap Ketua Umum PPP (waktu itu) John Naro. Lalu, keluar "fatwa" penggembosan PPP. Akibatnya, perolehan kursi PPP anjlok dari 21 kursi jadi 13 kursi. Tahun itu, Golkar memperoleh tambahan 15% suara atau 14 kursi baru, dan PDI kebagian satu kursi hingga menjadi 5 kursi. Daerah "tapal kuda" Jawa Timur, melingkar dari Madura sampai Situbondo, yang merupakan basis pesantren, hanya menyisakan Kabupaten Sampang untuk PPP. Di tengah kebingungan para santri atas tak jelasnya "instruksi" kiai, suara tak sah di empat kecamatan di wilayah itu sampai dua juta. Sebuah penelitian di lingkungan Golkar Jawa Timur diadakan untuk mengetahui apakah kenaikan suara mereka merupakan akibat penggembosan NU. Hasil penelitian itu akhirnya membuktikan bahwa tak ada hubungan langsung antara penggembosan NU dan kenaikan suara Golkar. Lalu dari mana datangnya tambahan 15% suara Golkar? Kesimpulan penelitian lainnya juga dipesan Golkar Jawa Timur membuktikan tambahan suara Golkar itu antara lain dari 80% pemilih pemula yang tiga juta itu. Suara dari pesantren dianggap "golput" karena banyak surat suara yang tak sah di kawasan "tapal kuda" tadi. Akhirnya, menurut sebuah sumber, Golkar tak memasukkan kiai di daftar calon. Ketua Golkar Jawa Timur, M. Said, menjelaskan soal ini pada TEMPO, pekan lalu. "Saya ini menghormati kiai NU. Jadi, saya tak menggunakan massa mereka. Kalau saya bujuk kampanye untuk memperoleh kursi, itu kan tidak baik. Golkar juga punya mekanisme sendiri," kata Said. Pada pemilu kemarin, ketika NU tak lagi mengeluarkan "fatwa" penggembosan PPP, ternyata Partai Bintang mendapat tambahan tiga kursi di Jawa Timur menjadi 16 kursi. Sementara itu, PDI naik 5 kursi menjadi 10 kursi. Untuk membuktikan apakah benar suara NU yang membuat Golkar merosot, barangkali kasus Kabupaten dan Kodya Pasuruan bisa dijadikan contoh. Adalah K.H. Nizar Nawawi, 54 tahun, pengasuh Pesantren Rodhatul Muta'alimin, Gondangwetan, Pasuruan, yang pada 1987 dikenal sebagai tokoh "penggembos" PPP. Pada pemilu lalu, Kiai Nawawi pulang kandang ke PPP. "Sekarang saya merasa lebih baik dan cocok dengan PPP," katanya. Di samping itu, urusan penjualan tanah bengkok Cangkringmalang, yang melibatkan Bupati Pasuruan, barangkali ada andilnya terhadap kekalahan Golkar. Akan halnya basis PPP Sampang yang jatuh ke Golkar. Dalam lima tahun terakhir Sampang digarap. Bahkan, bekas Gubernur Jawa Timur, Mochamad Noer, yang juga Ketua Ikatan Keluarga Madura, sempat kampanye di sana dan kabarnya menyumbang Rp 500.000 untuk tiap komisaris. Yang agak mengherankan, di kawasan Mataraman, seperti Ngawi, Magetan, Madiun, Pacitan, Blitar, Tulungagung, dan Bojonegoro, suara PPP naik. Bahkan, di Kediri, daerah K.H. Hamim Djazuli alias Gus Mik, yang bersama Ketua Golkar M. Said membuat semaan, ternyata PPP naik. Diduga, menurunnya kursi perolehan Golkar di Jawa Timur akibat "digembosi" orangorang eks PNI, yang dulu mendukung Golkar. Pasalnya, orangorang PNI ini merasa ditinggalkan dan menganggap tawar-menawar tentang daftar calon sebagai "bulan madu" Golkar-NU. Di wilayah Mataraman, isu BPPC dan petani cengkeh juga merebak dan mengganjal Golkar. Di sekitar pabrik rokok seperti Gudang Garam Kediri, suara Golkar menurun pesat. "Penurunan itu memang ada kaitannya dengan masalah cengkeh," ujar Bupati Kediri Ruspandji. Di Jawa Timur, Golkar juga dihadang kepala-kepala desa yang berhenti akibat instruksi Menteri Rudini Oktober 1989, yang melaksanakan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Ketika didata, dari sekitar 7.500 kepala desa, sekitar 6.000 orang hanya berijazah SD, dan lebih dari 400 orang berusia di atas 60 tahun. Padahal, UU tadi mensyaratkan kepala desa minimal berpendidikan SMP, dan berusia di bawah 60 tahun. Maka, mulailah penggantian kepala desa secara besarbesaran. Tahap pertama, dua tahun lalu, ada 1.800 kepala desa diberhentikan. Mereka kemudian banyak yang "membelot" ke PDI. Mantan kepala desa yang "sakit hati" dan membela PDI juga banyak dijumpai di Jawa Tengah. Urusannya sama, UU Pemerintahan Desa yang membatasi masa jabatan lurah menjadi hanya delapan tahun. Tahap terakhir mengganti sekitar 6.700 lurah di Jawa Tengah berakhir dua tahun lalu, dan rupanya berbuntut sampai Pemilu 1992. Harap diingat, para lurah inilah ujung tombak Golkar di pedesaan. Faktor lain yang dianggap menurunkan suara Golkar, kata Wakil Ketua Golkar Jawa Tengah, Utoyo Mardi, "Ada kecenderungan warga NU kembali ke PPP." Walhasil, Golkar kehilangan 8 kursi di sana. Kalau soalnya adalah UU Pemerintahan Desa, mengapa di Jawa Barat hanya satu kursi yang hilang? Ternyata, menurut sumber TEMPO di Pemda JaBar, pelaksanaan penggantian lurah baru dilakukan setelah Pemilu. Toriq Hadad, Zed Abidien, Moebanoe Moera, Jalil Hakim, dan Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini