Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) Wening Udasmoro membenarkan bahwa di kampusnya saat ini memang hanya ada satu guru besar Sastra Jawa. Meski demikian, “Di FIB UGM berlimpah ahli sastra Jawa walaupun statusnya belum dikukuhkan sebagai guru besar,” kata dia di Yogyakarta, Rabu, 3/04.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berita terkait: Jika Prabowo Menang, Hashim akan Ciptakan Guru Besar Sastra Jawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu disampaikan Wening menanggapi pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo ihwal krisis stok guru besar jurusan Sastra Jawa di kampus itu. Adik calon presiden Prabowo Subianto itu sebelumnya menyatakan merasa terpukul dan prihatin karena kini di UGM hanya tersisa satu orang guru besar Sastra Jawa yang akan pensiun Juli 2019 nanti dan belum ada penggantinya.
Hashim berjanji akan mencetak guru besar Sastra Jawa jika Prabowo berhasil menang di Pilpres 2019. "Saya sendiri bertekad, dengan pemerintahan baru nanti, juga akan ciptakan 1,2,3, guru besar Sastra Jawa di universitas seperti Universitas Gadjah Mada," ujar Hashim saat menghadiri pembukaan pameran seni rupa bertajuk Ekspresi Akal Sehat di Luxor Hall komplek Pyramid, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Selasa petang 2 April 2019.
Wening menuturkan satu satunya guru besar Sastra Jawa di UGM saat ini adalah profesor Marsono, dan akan pension pada bulan Juli 2019. Pasca Marsono pension nanti, Wening memperkirakan, belum ada guru besar yang jadi penggantinya.
"Kalau untuk program studi lain (di FIB) tahun ini ada tambahan dua (guru besar), lebih banyak lagi tambahannya 2020 nanti. Tapi untuk yang Sastra Jawa kemungkinan (guru besar) masih kosong sampai tahun depan," ujar Wening.
Namun Wening memastikan di FIB UGM berlimpah ahli sastra Jawa. Salah satunya adlaah Sri Ratna Saktimulya, ahli naskah Keraton Pura Pakuaman yang sudah diakui dunia internasional.
Wening menambahkan sejak tiga tahun terakhir, FIB UGM juga telah mengembangkan program skema darurat profesor. Semacam program khusus untuk mendorong para dosen melahirkan karya-karya penulisan yang to the point mengarah ke skema guru besar. "Kami juga bekerja sangat keras agar dosen-dosen bersedia mengikuti ketentuan jalur ke arah guru besar itu."
Wening menuturkan sejumlah dosen di FIB tinggal selangkah atau beberapa langkah lagi untuk naik pangkat menyandang predikat guru besar. Namun karena berbagai faktor seperti kesibukan dan juga prosedur panjang persyaratan maka arah guru besar tak berlanjut.
"Syaratnya (menjadi guru besar) bukan angka kredit saja tapi juga lainnya harus ditempuh, seperti scopus dan lainnya yang butuh proses," ujarnya. Scopus merupakan sebuah pusat data terbesar di dunia, yang mencakup puluhan juta literatur/jurnal ilmiah terkemuka.
Bagi penganut sistem ini, kala seorang dosen ingin naik pangkat, salah satu syaratnya bakal diukur juga seberapa sering namanya terindeks di scopus itu. Kemungkinan publikasi dalam jurnal terkemuka ini sering memerlukan waktu cukup lama, bisa bertahun tahun terutama dalam ilmu sosial humaniora (soshum). Sistem seperti ini kerap dikeluhkan karena berpotensi memicu para dosen menghalalkan berbagai cara asal namanya bisa terindeks dalam sistem itu.
Hashim mengatakan ia dan keluarga sangat terpukul dengan kondisi belum ada pengganti guru besar Sastra Jawa di UGM yang hendak pensiun pertengahan tahun ini. Hal itu, menurutnya, menjadi indikator yang tidak baik.
Menurut Hashim, UGM adalah salah satu lembaga pendidikan yang menjadi benteng pelestarian budaya Jawa. "Berarti tahun depan sudah tak ada guru besar Sastra Jawa di UGM, ini sungguh menyedihkan, sungguh memalukan, tak boleh diteruskan seperti ini, kita harus perbaiki," ujarnya.
PRIBADI WICAKASONO (Yogyakarta)