Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Jika Tabu Diumbar ke Publik

Fatwa NU mengharamkan infotainment dilihat warga Nahdliyin karena banyak mudaratnya dan cenderung kepada fitnah.

31 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua pekan terakhir, kabar per-ni-kah-an siri pentolan Dewa, Ahmad- Dhani Manaf, dengan personel- Ratu, Mulan Kwok, menjadi ta-yangan utama infotainment di layar ka-ca. Peristiwa-nya kian menarik karena terjadi perseli-sihan antara Dhani dan ayahnya, Eddy Abdul Manaf. Kehidup-an Dhani se-per-ti buku terbuka yang bebas diserap -pe-nonton segala usia.

Mempertontonkan perselingkuh-an,- urus-an ranjang, dan perkelahian para selebritas di infotainment inilah yang membuat gusar hati para ulama Nah-dla-tul Ulama. Apalagi, tayangan itu -muncul beragam dengan cerita dan narasum-ber yang sama terus membombardir -penonton televisi seharian. Lantaran itu, -dalam halaqah ulama NU di Malang -beberapa waktu lalu, diputuskan bahwa- tayangan infotainment -hukumnya ha-ram. Tergolong ghibah dalam bahasa -Islamnya, artinya bergunjing.

Keputusan itu disahkan dalam Musya-warah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya pekan lalu. ”Fatwa ini mengikat bagi warga Nahdliyin agar tidak melihat infotainment,” kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Agiel Siradj-. Ia beralasan fatwa internal ini demi men-jaga moral dan budaya bangsa.

Alasan Siradj, tontonan ini le-bih banyak mudaratnya ketimbang man-faatnya. Penyebabnya, tayangan yang mengumbar rahasia amat privat ini cen-derung ke-pada fitnah dan dampak ne-ga-tif-nya -be-sar. Apalagi, tayangan ini tak elok di-lihat anak-anak. Padahal, kata dia, -Tuhan- maha menutupi kesa-lahan manu-sia, tapi kenapa justru dibongkar manusia-nya sendiri.

Karenanya, ghibah termasuk dosa besar karena tergolong fitnah. Dalam Al-Qur-an, surat Al-Hujurat ayat 12, disebutkan larangan membuka kesalahan orang lain karena termasuk dosa besar- yang di-ibaratkan memakan bangkai orang lain. Kejadian serupa, tutur Siradj,- pernah dialami sahabat Nabi Muhammad.- Satu kali sahabat ini menceritakan ke-jelekan orang lain. ”Kata Nabi, banyak se-kali orang yang masuk neraka karena lidahnya,” ujar Siradj.

Hanya, ia menekankan, aib boleh dice-ritakan jika dilakukan untuk kebaikan ba-nyak orang. Misalnya, politisi yang mengkritik kebijakan pejabat atau pejabat tertentu yang melakukan korupsi dan KKN.

Wakil Ketua Majelis Tarjih- Mu-ham-madi-yah, Saad Abdul Wahad, punya pen-dapat serupa. Ghibah atau ngerasani pasti menceritakan kejelekan dan mempermainkan emosi seseorang. Dampak-nya bisa menyebabkan permusuh-an. Or-ganisasinya sudah berkali-kali meng-imbau warganya supaya tidak melihat- tayangan ini. ”Kalau yang menonton hu-kumnya makruh, tapi media dan pe-lakunya yang haram,” katanya.

Lantas, apakah larangan ini akan ditaati penonton? Pengamat televisi Veven Sp. Wardhana me-ragukannya. ”Fatwa MUI yang resmi saja diabaikan, apalagi fatwa NU.” Toh, ia tetap memberi se-lamat atas keberanian ulama NU meng-haramkan sesuatu yang menjadi tontonan favorit ibu-ibu rumah tangga.

Veven sendiri mengaku muak dengan- infotainment. Menurut dia, dalam se-minggu ada 30 tayangan infotainment- yang menyiarkan gosip. ”Belum terma-suk yang diulang pada jam-jam terten-tu,” ujarnya. Ia sering kali kesal atas- klaim perusahaan periset, rumah pro-duksi, dan stasiun televisi bahwa infotainment menduduki peringkat tinggi. Padahal, ”Itu hanya provokasi yang -jangan terlalu dipercayai,” katanya.

Kenyataannya, kabar rating yang me-lonjak ini memang memancing iklan -bu-at masuk. Veven menjelaskan, klaim itu sulit dibuktikan kebenarannya, sebab tak mudah memonitor program yang di-lihat penonton. Jika di negara Barat, setiap unit televisi sudah dipasangi people meter untuk mendeteksi peringkat. Di Indonesia, pendeteksiannya hanya- melalui pencangkokan people meter yang dilakukan pihak periset. ”Wilayah mana yang dicangkok saja n-ggak valid kok,” kata dia. Entahlah, yang terang, fatwa ini adalah suatu kritik keras, sa-ngat keras, terhadap acara yang sangat populer tapi kerap melanggar batas-batas privasi itu.

Istiqomatul Hayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus