Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pukul 18.04 WIB, pramugari meminta penumpang pesawat Lion Air JT 0538 jurusan Jakarta-Solo mengencangkan sabuk pengaman. Pesawat akan segera mendarat di Bandara Adi Soemarmo. Cuaca kabut dan hujan lebat menutupi bandara sejak sore. Tapi lima belas menit sebelumnya pesawat Garuda berhasil mendarat mulus di bandara internasional itu.
Terdengar percakapan antara pilot Dwi Mawaskoro dan petugas menara kontrol:
"Runway in sight," suara pilot.
"You are cleared to land," suara petugas menara kontrol.
"You are cleared to land," pilot membalas.
Sekitar pukul 18.15 roda pesawat mulai menjejak bandara di tengah hujan. Ban belakang menyentuh landasan dan suara menderu terdengar ketika pilot reverse. Itulah awal bencana.
Menurut cerita para penumpang kepada Tempo, badan pesawat bagian depan tetap mendongak sampai terasa guncangan hebat beberapa kali, disusul benturan keras terdengar menerpa bawah pesawat. "Rodanya seperti mental kembali dari tanah, dan suaranya menderum keras sekali," kata Tia, calon penumpang yang saat itu melihatnya dari ruang tunggu bandara. Dan lampu kabin padam. Gelap-gulita. Lalu bunyi kraakk, dan pesawat terempas keras.
Syahrial Syam, seorang penumpang, menceritakan kepada Tempo, dalam gelap terdengar teriakan histeris. Dan tiba-tiba saja pesawat itu telah patah dua, persis di depan deretan kursi nomor 10 yang didudukinya. "Satu tubuh terempas dan melayang di atas saya," katanya. Semua penumpang berlomba keluar dari kabin melalui pintu-pintu yang terbuka.
Pesawat Lion Air MD-82 itu terpuruk di kuburan Kedung Gobyah di Desa Ngesrep, Boyolali, setelah terseret 500 meter melewati landasan pacu, menabrak lampu pembatas bandara, tergesek jalan raya, melewati persawahan, dan berhenti menghantam beton pekuburan. Bagian depan dan bawahnya remuk, kokpitnya tanpa bentuk, meninggalkan mayat pilot Dwi dan tubuh lunglai kopilot Steven Lis Dek yang luka parah. "Kondisi pesawat 70 persen hancur," kata Ertata Lananggaling, ketua tim investigasi. Hidung pesawat ringsek, kedua sayapnya patah, dan badannya berlubang sepanjang dua meter. Dari 156 penumpang, korban yang dipastikan meninggal hingga pekan lalu 26 orang, termasuk tokoh Nahdlatul Ulama Kiai Haji Yusuf Muhammad.
Pada hari pertama penyelidikan, Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Laksamana Muda Setio Rahardjo menuding cuaca jadi penyebabnya. Tapi kenapa Garuda mendarat mulus beberapa menit sebelumnya? "Jangan membandingkan cuaca dalam 15 menit dong, kan bisa berubah," katanya.
Curah hujan yang setinggi 120 mm hari itu sebenarnya tak membuat jarak pandang pilot terganggu. Dokumen menara kontrol menyatakan pilot memiliki visibility (jarak pandang) sampai 2.000 meter, lebih dari cukup dibandingkan dengan panjang landasan yang 2.600 meter. Angin pun berembus tenang, calm wind, dengan kecepatan cuma 6 knot atau sekitar 11,1 kilometer per jam. "Semuanya memenuhi persyaratan untuk landing, dan sampai menyentuh landasan tidak ada keanehan," kata Ertata. "Dan cuaca memungkinkan untuk mendarat."
Rekaman ATC menjelaskan, pada saat kejadian, jarak pandang 2.000 meter, terjadi hujan dengan awan kumulus nimbus pada ketinggian 1.500 meter dan temperatur 23 derajat Celsius. Itulah sebabnya komisi investigasi tak melihat tail wind (angin dari ekor pesawat) sebagai penyebab kecelakaan seperti yang disampaikan pihak humas Lion Air. "Kami tidak mendapatkan bukti adanya tail wind karena memang saat itu angin tenang," kata Ertata.
Pendapat lain, Lion mendarat terlalu di tengah, 1.200-1.300 meter dari ujung landasan, tempat mendarat semestinya. Menurut Setio Rahardjo, informasi itu diperolehnya dari wawancara dengan pengawas menara bandara dan para saksi. Bila itu benar, sisa panjang landasan?total panjangnya 2.600 meter?diperkirakan tidak cukup untuk menghentikan pesawat sehingga pilot harus memilih take off. Kenyataannya, pilot telah melakukan reverse, yakni menutup aliran udara yang masuk ke mesin untuk mengerem, biasanya dilakukan sesaat setelah menyentuh landasan dengan bunyi gemuruh. Menurut prosedur penerbangan, ketika sudah reverse, dapat dipastikan pesawat telah siap mendarat dan tidak mungkin pilot melakukan take off kembali. Reverse akan memberikan efektivitas pengereman lebih dari 10 persen.
Kemungkinan lain adalah efek hydroplaning karena landasan yang basah, sehingga semua rem tak berfungsi dan pesawat meluncur terus. Saat Lion mendarat, landasan memang digenangi air hujan, yang menurut perkiraan setinggi 2-5 milimeter. Belum dijelaskan, apakah pengawas penerbangan dan pilot tidak dapat memperkirakan bahaya itu, sehingga memaksa mendaratkan pesawatnya.
Investigasi lalu diarahkan kepada spoiler, beberapa kepingan kecil di sayap pesawat yang berfungsi sebagai rem udara (aerobreaker) yang bekerja dengan memecah arus angin. "Spoiler kok tidak kelihatan dibuka," kata Setio sembari menambahkan, "tetapi belum jelas, apakah kesalahan teknis atau disengaja." Menurut kepala uji terbang PT Dirgantara Indonesia, Hindrawan Wibowo, kepada wartawan Tempo Rinny Srihartini, spoiler dapat menaikkan efektivitas pengereman hingga 20 persen.
Ertata juga memperkuat pernyataan Setio tentang kemustahilan lepas landas lagi. Dalam rekaman pembicaraan antara menara kontrol dan kokpit, tak disebutkan permintaan izin pilot untuk lepas landas. Apalagi pilot sudah mengerem.
Dirjen Perhubungan Udara menjamin kelaikan terbang pesawat buatan Mc-Donnell Douglas Amerika Serikat tahun 1982 itu. Pemeriksaan kelaikan oleh Garuda Maintenance Facility (GMF) memberikan tenggat November 2005 sebagai batas akhir pemakaiannya. Untuk mengurai misteri lima menit itu, tinggal rekaman kotak hitam dan keterangan kopilot Steven Lis Dek yang bisa membuatnya lebih terang.
I G.G. Maha Adi, Imron Rosyid, dan Anas Syahirul (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo