Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo didesak mengevaluasi putusan Sidang Komisi Etik Polri terhadap Brotoseno.
Putusan Sidang Komisi Etik Polri yang tak memecat Brotoseno dinilai janggal dan tebang pilih.
Mabes Polri menegaskan bahwa Brotoseno tidak punya jabatan dan tak bertanggung jawab di penyidikan.
JAKARTA — Pegiat hukum dan antikorupsi mendesak Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengevaluasi kejanggalan pada putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri terhadap Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno. Terbukti bersalah dalam perkara suap dan divonis 5 tahun penjara pada 2017, Brotoseno tak dipecat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, mengatakan keputusan Sidang Komisi Kode Etik Polri itu bertentangan dengan komitmen antikorupsi yang beberapa kali dilontarkan Kapolri. Seharusnya, kata dia, Polri memberhentikan Brotoseno yang terbukti menerima suap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengingatkan keputusan Presiden Joko Widodo pada Februari 2015 terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi saat itu. Jokowi memberhentikan keduanya karena menjadi tersangka di dua kasus berbeda—yang belakangan dihentikan. “Padahal mereka statusnya masih tersangka, belum terbukti. Lha, ini (Brotoseno) sudah vonis,” kata Asfinawati, Rabu, 1 Juni 2022.
Menurut Asfinawati, Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus turun tangan jika benar-benar ingin membenahi Polri. Pasalnya, sesuai dengan Pasal 15 dan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian, Kapolri adalah pemegang kewenangan keputusan memberhentikan dan mempertahankan anggota kepolisian berpangkat paling tinggi ajun komisaris besar. Pasal sebelumnya mengatur pemberhentian tidak dengan hormat terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana dan dipenjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Hal senada dilontarkan peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana. “Kejadian ini menjadi momentum untuk menanyakan kembali komitmen antikorupsi Kapolri,” ujarnya. Menurut Kurnia, sidang kode etik semestinya langsung memberhentikan Brotoseno karena melakukan kejahatan dalam jabatan, yang telah dibuktikan di pengadilan.
Terdakwa kasus dugaan suap penghapusan red notice Joko Tjandra yang juga mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Polisi Napoleon Bonaparte, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
Nama Brotoseno kembali menjadi buah bibir setelah Mabes Polri menjawab kabar yang beredar tentang kembali aktifnya terpidana perkara suap tersebut sebagai penyidik kepolisian. Sidang Komisi Kode Etik Polri yang dilaksanakan pada 13 Oktober 2020, delapan bulan setelah Brotoseno dinyatakan bebas bersyarat, memang menyatakan lulusan Akademi Kepolisian 1999 itu telah melakukan perbuatan tercela. Alih-alih dipecat, Brotoseno hanya dihukum dengan meminta maaf serta dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat demosi.
Sidang Kode Etik Polri tak memberhentikan Brotoseno karena ia dinilai berkelakuan baik selama menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Sidang juga mempertimbangkan putusan kasasi Mahkamah Agung yang membebaskan penyuap Brotoseno. Sidang juga menerima pertimbangan atasan Brotoseno yang menganggap Brotoseno dapat dipertahankan sebagai anggota Polri karena berprestasi. Hingga kini belum terang siapa atasan yang dimaksudkan. Sedangkan ketika putusan Sidang Kode Etik Polri itu dibuat, Listyo Sigit menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Polri sebelum dilantik sebagai Kapolri pada akhir Januari 2021.
Kurnia Ramadhana menilai pertimbangan Sidang Komisi Etik Polri tersebut janggal dan mengada-ada. “Mengapa hasil putusan etik menyatakan Brotoseno terbukti melakukan perbuatan korupsi, lalu di sisi lain seolah-olah diabaikan dengan dalih pihak penyuap telah divonis bebas?" ujar Kurnia.
Dalih berkelakuan baik di lembaga pemasyarakatan juga tak sepantasnya dijadikan pertimbangan. Sebab, kata Kurnia, berkelakuan baik merupakan kewajiban bagi narapidana. Lagi pula, ia mengingatkan, ganjaran bagi penghuni narapidana yang berkelakuan baik bukan kewenangan Polri, melainkan pemerintah, yang dapat memberi remisi melalui rekomendasi dari lembaga pemasyarakatan. Brotoseno juga bebas dari lembaga pemasyarakatan setelah menerima pemotongan masa hukuman selama 13 bulan 25 hari pada Februari 2020. "Jadi, tidak tepat jika dicampuradukkan dengan proses pemeriksaan etik Brotoseno," kata Kurnia. Ia mendesak Mabes Polri transparan dalam mengungkap seluruh proses yang janggal dalam sidang etik tersebut, termasuk tentang atasan yang memberi rekomendasi agar Brotoseno tak dipecat.
Menurut dia, putusan sidang kode etik tebang pilih. Pasalnya, dalam kasus lain, pelanggaran oleh anggota Polri diganjar pemecatan. Baru-baru ini, dia mencontohkan, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur memberhentikan tidak dengan hormat 12 personelnya karena terindikasi terlibat dalam peredaran narkotik. “Dua jenis kejahatan tersebut, narkotik dan korupsi, sama-sama tergolong ke dalam rumpun kejahatan luar biasa, lalu mengapa tindakan terhadap korupsi tidak bisa setegas menindak kejahatan narkotik?" kata Kurnia.
Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo mengatakan, sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 19 Tahun 2012 Pasal 68, putusan Sidang Kode Etik Polri bersifat final dan tidak dapat dianulir. Kendati demikian, dia memastikan polemik atas putusan sidang etik Brotoseno akan menjadi bahan evaluasi dalam menindak tegas anggota Polri yang terlibat kasus tindak pidana di masa mendatang. "Ini menjadi bahan masukan dan evaluasi ke depan dalam memutuskan secara tegas dan keras pada anggota Polri yang terlibat dalam kasus tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi," kata Ferdy kepada Tempo, Rabu, 1 Juni 2022.
Ferdy mengatakan, jika waktu bisa diputar kembali ke 2017, Divisi Propam yang saat ini pasti akan memberhentikan tidak dengan hormat Brotoseno. Ketika ditanya, apakah maksud pernyataannya tersebut sebagai tanda bahwa putusan sidang etik Brotoseno keliru, ia enggan berkomentar. "Saya harap kita tidak lagi mundur ke belakang, kita tatap masa depan. Propam Polri akan senantiasa membantu Kapolri mewujudkan Polri yang presisi, Polri yang lebih baik," ujar Ferdy.
Menurut Ferdy, saat ini Brotoseno bertugas sebagai perwira menengah Divisi Teknologi Informasi dan Komunikasi Mabes Polri tanpa jabatan. "Tugas dan tanggung jawabnya sehari-hari bukan di penyidikan atau fungsi penegakan hukum."
MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo