Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus perundungan atau bullying dokter kembali menjadi sorotan setelah Kementerian Kesehatan memberikan teguran tertulis bagi tiga rumah sakit. Pimpinan RS itu dinilai lalai sehingga terjadi praktik perundungan terhadap dokter residen atau dokter yang tengah menjalani pendidikan dokter spesialis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menanggapi itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Ari Fahrial Syam memberikan penjelasan mengenai sejumlah temuan kasus perundungan yang dialami peserta didik kedokteran di RS pemerintah itu. Bentuk perundungan kepada Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang dilaporkan kepada Inspektorat Kementerian Kesehatan diantaranya waktu siaga pelayanan yang melebihi batas wajar, penyalahgunaan iuran hingga pernyataan menggunakan kata-kata kasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Terkait waktu siaga pelayanan yang melebihi batas wajar, PPDS merupakan proses pendidikan dan latihan yang memerlukan jam jaga yang lebih untuk memperoleh pengalaman yang lebih luas," kata Ari, Sabtu, 19 Agustus 2023.
Ari mencontohkan seorang dokter bedah bisa bekerja hingga 24 jam. Itu berdasarkan pengalaman dirinya yang sudah 33 tahun berprofesi sebagai dokter yang harus menyiagakan ponselnya selama 24 agar selalu siap jika dihubungi rumah sakit.
Ari pun mempertanyakan indikator penilaian Inspektorat Kemenkes atas beban kerja peserta didik yang dianggap berlebihan. "Jadi kapanpun saya harus siap untuk datang ke rumah sakit jika ada pasien yang memerlukan tindakan atau pasien yang mengeluhkan sakit dan hal itu tidak pernah dimengerti oleh orang yang tidak pernah bekerja di rumah sakit," kata dia.
Mengenai bentuk perundungan oleh dokter senior berupa penggunaan kata-kata kasar diakui Ari dialami sebagian kecil peserta didik. "Karena angka kasus yang terjadi hanya satu atau dua kasus, tidak sampai puluhan atau ratusan kasus," kata Ari.
Adapun mengenai penyalahgunaan dana iuran peserta didik untuk kepentingan pribadi senior, Ari meminta tim Inspektorat Kemenkes melakukan investigasi yang lebih mendalam. Sebab, pada dasarnya setiap rumah sakit memiliki keterbatasan sehingga ada beberapa kasus yang mengharuskan dokter mengeluarkan dana untuk keperluan darurat pengadaan obat bagi pasien atau untuk membeli makan PPDS ketika bertugas.
"Saya tidak setuju kalau uang itu untuk membiayai kepentingan pribadi senior. Hampir 99 persen di RSCM, RS Adam Malik dan lainnya merupakan pasien BPJS, jadi bisa membantu untuk pasien dan bisa untuk makan PPDS yang berjaga," kata Ari.
Menurut Ari, pengumpulan dana iuran peserta didik merupakan hal positif selama dimanfaatkan dengan jelas dan transparan untuk kegiatan positif. Justru, ia menilai khususnya dokter muda perlu dilatih untuk membiasakan diri terlibat dalam iuran, tapi bukan untuk kepentingan pribadi.
Contohnya, untuk pembelian alat pelindung diri (APD) ketika pandemi Covid-19 melalui pengumpulan dana iuran peserta didik hingga mereka lulus oleh Ikatan Alumni UI senilai total Rp 1 miliar lebih.
Adapun teguran tertulis diberikan kepada Dirut RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo di Jakarta, Dirut RS Hasan Sadikin di Bandung dan Dirut RS Adam Malik di Medan. Mayoritas dari laporan perundungan terkait dengan permintaan biaya di luar kebutuhan pendidikan, pelayanan dan penelitian serta tugas jaga di luar batas wajar.