POLEMIK tentang siapa penggali Pancasila ternyata terus
berlangsung. Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, yang menyimpulkan
bahwa penggali utama Pancasila tidak hanya Bung Karno tapi juga
Muh. Yamin dan Soepomo, lewat Kompas akhir pekan lalu mulai
menjawab pengritiknya.
Kesimpulan Nugroho yang juga mengatakan 1 Juni hanyalah hari
lahir Pancasila Bung Karno, memang mengundang banyak kritik.
Beberapa sejarahwan meragukan metodologi sejarah dan prosedur
ilmiah yang dipakai Nugroho untuk membuktikan kesimpulannya
(TEMPO, 29 Agustus 1981). Seorang sejarahwan dari Leknas/LIPI,
Abdurrachman Surjomihardjo malah berpendapat bahwa karya Nugroho
Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara lebih merupakan "pamflet
politik" daripada suatu karya sejarah.
Toh tidak ada yang sampai menuduh Nugroho telah berusaha
"memalsukan sejarah." Keberatan para penyanggah Nugroho terutama
menyangkut buku tulisan Prof. Mr. H. Muh. Yamin Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber primer. Yamin dicurigai
telah "menyaring" notulen rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, dan hanya memuat bagian-bagian yang
memperkuat dan menonjolkan posisinya.
Almarhum Bung Hatta secara tidak langsung malah pernah menuduh
Yamin memasukkan ke dalam bukunya itu, pidato yang tidak pernah
diucapkannya sendiri.
Buku Yamin itu memang banyak mengundang tanda tanya. Misalnya:
mengapa Yamin tidak memasukkan pidato para pembicara
lain--kecuali dia sendiri dan Soepomo -- yang antara 29 Mei
sampai 1 Juni 1945 juga berbicara di muka sidang Badan
Penyelidik?
Pertanyaan lain: pidato Soepomo 31 Mei dan Soekarno 1 Juni
dibubuhi penjelasan yan mengatakan pidato-pidato tersebut
diucapkan dalam rapat Badan Penyelidik. Tapi naskah pidato Yamin
tidak ada penjelasannya. "Sebenarnya itu bisa mengundang
pertanyaan: di mana pidato Yamin itu diucapkan? Di bawah pohon?
Di pinggir kali?", komentar seorang tokoh politik dari masa lalu
yang menolak disebut namanya.
Nugroho sendiri rupanya tetap mengukuhi kesimpulannya -- sampai
ada bukti yang benar-benar kuat yang bisa meruntuhkan
pendapatnya. Ia berpendapat bukunya itu karya ilmiah. "Seorang
sejarahwan yang profesional tentu tidak mau dinilai rendah
mutunya oleh para rekannya. Ia akan berusaha supaya mutu
karyanya setinggi mungkin," katanya.
Nugroho juga membantah ia membenci Bung Karno. Malah diakuinya
ia"pengagum, tapi bukan pengikut " Bung Karno. "Tidak ada sanl
pun karangan saya yang anti-Bung Karno. Tidak ada. Sampai zaman
pengganyangannya pun tidak pernah saya menyerang Bung Karno,
karena saya merasa bagaimanapun juga beliau itu jasanya luar
biasa," kata Nugroho dalam suatu wawancara dengan TEMPO.
Polemik tentang siapa penggali Pancasila memang melibatkan
perasaan terhadap peran Bung Karno dalam sejarah. Dan itu bisa
sengit serta panjang. Apalagi belum ada bukti tertulis lain yang
betul-betul bisa menyanggah buku Yamin.
Naskal Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan
dibubuhi catatan oleh Yamin berdasar notulen stenografis sidang
Badan Penyelidik. Notulen ini dipinjam Yamin dari Prof. Mr. A.G.
Pringgodigdo yang dalam Badan Penyelidik menjabat Kepala
Sekretariat. Naskah ini tidak pernah dikembalikan. Sampai
sekarang masih "hilang".
Tanpa ditemukannya notulen ini, tidak akan bisa diketahui siapa
saja yang pernah berbicara dalam sidang tersebut serta apa yang
mereka bicarakan. Yang pasti hanya: antara 29 Mei dan 1 Juni
1945 ada pembicara lain selain Yamin dan Soepomo. Misalnya Bung
Hatta, Abdulkadir dan P.F. Dahler.
Kisah hilangnya notulen sidang yang penting itu sampai sekarang
belum jelas. Abdul Gaffar Pringgodigdo, 77 tahun, yang kini
tinggal di Surabaya, tidak bersedia lagi diwawancarai mengenai
masalah Pancasila karena keadaan fisiknya yang sering
sakit-sakitan. Dia juga mulai pelupa. "Kalau mengenai Pancasila,
lebih baik datang saja ke Pak Roeslan Abdulgani. Ia lebih
tahu," ujarnya melalui putranya, Chamdi, dua pekan lalu.
Pada TEMPO Roeslan Abdulgani pekan lalu bercerita: "Pada 1951,
tatkala Prof. Mr. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada akan
bertindak sebagai promotor dalam pemberian gelar Doktor Honoris
Causa pada Bung Karno, dia meminjam notulen tersebut dari Pak
Gaffar. Catatan ini kemudian disimpan Pak Noto. Tatkala
Konstituante pada 1957-1959 memperdebatkan masalah Undang-Undang
Dasar, notulen itu dipinjam Yamin. Sesudah itu 'hilang'."
Ada lagi versi lain seperti yang dituturkan Prof. Dr. W.B.
Sidjabat, guru besar di Sekolah Tinggi Theologia Jakarta.
Menurut yang dia dengar, notulen ini pernah dipinjamkan
Pringgodigdo pada Prof. Dr. A. Toynbee, ahli sejarah dari
Inggris yang termasyhur itu guna bahan penulisan bukunya.
Setelah selesai, notulen tersebut akan dikirimkan kembali ke
Indonesia. Kebetulan Yamin waktu itu berkunjung ke London,
hingga naskah itu pun dititipkan pada Yamin. Rupanya notulen itu
kemudian tidak dikembalikan Yamin.
JIKA Yamin memang orang yang sering disebut sebagai peminjam
dokumen, di manakah naskah-naskah itu disimpannya? Koleksi
Yamin, berupa buku dan naskah yang berjumlah sekitar 23.000
buah, telah dijual putranya, Rahadian Yamin, di tahun 1970
kepada Pertamina dengan harga Rp 50 juta. Lebih dari separuh
koleksi ini sekarang berada dalam keadaan berantakan -- yang
jika dibiarkan terus bisa hancur (lihat box).
Rahadian, seorang peragawan dan perancang mode, menurut Prof.
Dr. Harsya Bachtiar, tidak memiliki kecintaan sejarah seperti
sang ayah. "Banyak dokumen ayahnya yang dibakar,' kata Harsya,
kemanakan Rahadian. Bagi Rahadian, kertas-kertas itu hanya
membuat kotor saja.
"Yamin telaten pada kertas, tapi tidak telaten pada pakaiannya.
Ia bisa tidak ganti baju berhari-hari. Sedang Rahadian seorang
yang dandy," ujar Harsya pula. Menurut Harsya notulen sidang
yang bersejarah itu, "mungkin saja ikut terbakar."
Terbakar atau hilang, yang pasti kasus ini dengan tajam
menunjukkan bahwa kesadaran orang Indonesia untuk memelihara
dokumen sejarah masih sangat rendah.
"Banyak di antara kita yang tidak memiliki sense of history,
hingga banyak dokumen yang dijual ke tukang loak. Bangsa kita
bisa menjadi bangsa yang pelupa kalau tidak memikirkan
dokumentasi," kata bekas Menteri Penerangan di zaman Bung Karno,
Roeslan Abdulgani, yang banyak menulis tentang ide nasionalisme
dan sejarah Indonesia.
Soemarmo, Ketua Badan Pelaksana Yayasan Idayu yang terutama
bergerak di bidang perpustakaan dan dokumentasi, malahan
menganggap saat ini ada kecenderungan untuk "menolak masa lalu".
Arus dan kecenderungan ini disebutnya "penggerhanaan sejarah ".
Idayu sendiri merupakan salah satu dari sedikit usaha swasta
yang bertujuan memelihara bahan sejarah. Secara rutin yayasan
yang dibiayai sebagian besar oleh pengusaha penerbit Masagung
ini, mengundang para tokoh tua memberikan ceramah yang kemudian
didiskusikan sebelum dibukukan. Koleksi buku lembaga yang
didirikan sejak tahun 1966 ini sekarang sekitar 150 ribu buah,
dengan anggota perpustakaan sekitar 15 ribu. "Lewat usaha ini
kami juga ingin menumbuhkan sense of documentation, terutama
pada generasi muda kita," kata Ny. Murtini S. Yendit, Panitera
Yayasan tersebut. Banyak tokoh, termasuk Roeslan Abdulgani,
Ali Sastroamidjojo dan Adam Malik, yang menyumbangkan koleksi
buku mereka pada Idayu.
Kesadaran akan arti penting dokumentasi dan sejarah itu memang
nampaknya baru secara terbatas ditumbuhkan. Berbagai kasus lain
menunjukkan betapa masih tipisnya kesadaran itu pada sebagian
besar masyarakat Indonesia.
Bulan lalu Direktur Pusat Produksi Film Negara (PPFN) G.
Dwipayana menyerahkan 462 reel film kepada Arsip Nasional .
Jumlah itu adalah sebagian dari 6.880 reel film dokumentasi yang
bisa diselamatkan PPFN. "Peralatan untuk menyimpan dokumen di
Arsip Nasional jauh lebih lengkap dibanding PPFN," kata
Dwipayana.
Sistem penyimpanan film dokumentasi di PPFN selama ini memang
memprihatinkan. Gudang bawah tanah yang dipakai sebagai tempat
penyimpanan sangat pengap dan lembab. Untuk masuk ke dalamnya
harus dipakai masker. Dengan itupun seseorang hanya bisa tahan
beberapa menit saja. Padahal film negatif seharusnya disimpan di
ruangan yang suhunya di bawah 0øC, sedang film positif di suhu
18-20 øC.
Peralatan untuk mengatur suhu itu sebenarnya dimiliki PPFN.
"Cuma orang-orang yang harus mengurus kurang memperhatikan,"
kata Dwipayana. Untung ia segera membongkar gudang tersebut dan
mengirimnya ke Arsip Nasional.
Seperti disebutkan oleh Dwipayana, sistem dokumentasi film PPFN
dulu cukup berantakan. Ada film yang hilang karena tidak
tercatat siapa peminjamnya dan tidak diketahui di mana film itu
berada. Contohnya film dokumentasi pengangkatan jenaah Pahlawan
Revolusi dari sumur Lubang Buaya pada 1965. Film ini terakhir
dipinjam panitera Mahmilub yang mangadili Subandrio. Sampai
sekarang film tersebut belum kembali ke PPFN.
Dokumen penting lain yang belum ketemu ialah, kabarnya, Surat
Perintah 11 Maret (Supersemar) yang asli dan diteken Bung Karno.
Kini naskah itu tidak diketahui tempatnya.
Seharusnya dokumen asli itu disimpan di arsip Sekretariat
Negara. Konon, setelah dibaca Jenderal Soeharto, surat itu
kemudian diserahkan pada Brigjen Ibnu Subroto yang waktu itu
menjabat Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat. Maksudnya untuk
diperbanyak dan disebarkan pada media massa. Tapi setelah
diperbanyak rupanya surat autentik ini "menghilang," sampai
kini. Padahal Supersemar baru berusia 15 tahun.
Harapan bahwa dokumen autentik akan ditemukan lagi memang ada.
Tidak selalu naskah yang hilang terus lenyap sama sekali.
Naskah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus yang ditandatangani
Bung Karno dan Bung Hatta, misalnya.,Naskah yang diketik Sajuti
Melik ini sempat menghilang dua puluhan tahun, kemudian
diketemukan kembali.
Sajuti Melik selesai mengetik naskah tersebut, dengan mencontoh
draft tulisan tangan Bung Karno, sekitar pukul 02.3n tanggal 17
Agustus 1945. "Setelah ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta,
naskah itu dibawa Bung Karno," cerita Sajuti Melik pekan lalu.
Sedang naskah tulisan tangan Bung Karno ditinggalkannya di atas
mesin ketik. "Tidak terpikir untuk menyimpannya karena keadaan
sudah begitu sibuk, lanjut Sajuti.
Ia tidak tahu persis kalau kemudian B.M. Diah menyelamatkan
naskah tulisan tangan Bung Karno itu dan memuatnya di harian
Merdeka. Seingatnya, naskah tulisan tangan itu kemudian dimuat
dalam Mimbar Indonesia pada 1950 menyertai tulisan Bung Hatta
berjudul "Kenyataan dan Kayalan". Tulisan tersebut untuk
menjawab tulisan Adam Malik Riwayat Proklamasi Agustus 1945 yang
meremehkan perang golongan tua di saat proklamasi.
Bagaimana dengan naskah autentik yang diketik Sajuti dan
ditandatangani kedua proklamator? Ia hilang. Tahu-tahu pada
tahun 1960-an (sebelum 1965) Ketua PKI D.N. Aidit menyerahkannya
kcpada Bung Karno disertai apa yang dikenal sebagai "Testamen
Tan Malaka." Konon Aidit waktu itu minta pada Bung Karno agar
kedua dokumen itu dimusnahkan. Tujuannya untuk menghapuskan nama
Bung Hatta sebagai proklamator kemerdekaan. Jika naskah ketikan
yang autentik itu hilang, tinggallah naskah tulisan tangan yang
tidak mencantumkan nama penandatangannya.
KABARNYA Bung Karno hanya mau membakar "Testamen Tan Malaka"
dan menyelamatkan naskah autentik tersebut. Maka untuk pertama
kali setelah kemerdekaan, pada peringatan proklamasi kemerdekaan
tahun 1967, setelah Bung Karno jatuh, naskah itu dibaca Ketua
MPRS Jenderal A.H. Nasution. Naskah ketikan Sajuti Melik itulah
yang kini dibaca Ketua MPR/DPR tiap upacara peringatan nasional
proklamasi kemerdekaan di Istana Merdeka.
Naskah ketikan Sayuti tertolong, tapi rendahnya kesadaran
dokumentasi pada masyarakat Indonesia tetap mencemaskan. Maka
meskipun ada kecemasan bila dokumen-dokumen penting Indonesia
mengalir ke luar negeri, ada pula anggapan lebih baik demikian
ketimbang tak terawat sama sekali. Sebab banyak lembaga asing
dengan dana besar yang berminat pada dokumentasi mengenai
Indonesia dan menyimpannya baik-baik. Yang repot, untuk
membacanya kembali perlu biaya besar.
Lagi pula saat ini telah berkembang menjadi usaha bisnis.
Misalnya Inter Documentation Company (IDC) di Zug, Swiss, saat
ini dikenal sebagai perusahaan yang menjual mikrofis dari
publikasi berbagai negara. Khusus mengenai Indonesia, IDC
menawarkan sekitar 60.000 mikrofis dari hampir seluruh publikasi
di bidang sosial di Indonesia, yang terbit antara 1945-1968 yang
meliputi lebih dari 3,5 juta halaman buku/majalah. Termasuk,
misalnya, majalah pegadaian.
Library of Congress dari AS yang memiliki koleksi 29 juta
manuskrip dan lebih 15 juta buku, juga getol. Mereka tidak hanya
mengumpulkan bahasa publikasi yang "berat" tentang Indonesia.
Cerita silat Cina juga mereka dokumentasikan, bahkan sampai
karya-karya stensilan.
Bagaimana dengan usaha di Indonesia sendiri7 Pusat Dokumentasi
llmiah Nasional (PDIM) saat ini memiliki sekitar 100 ribu
koleksi, 55 ribu di antaranya berupa buku. "Amat kecil bila
dibanding negara lain," kata Zultanawar, Asisten Direktur PDIN.
Koleksi itu sendiri lebih banyak berupa hadiah atau
tukar-menukar. Tahun 1979/1980, PDIN hanya membeli 458 buah
buku.
Seluruh anggaran rutin dan pembangunan PDIN tahun ini sekitar Rp
240 juta. Bandingkan dengan Perpustakaan Pusat Pertamina yang
untuk pembelian buku dan koleksi baru dari dalam dan luar negeri
saja menyediakan dana sekitar Rp 125 juta.
Di bidang perundang-undangan pun Indonesia masih ketinggalan.
Belum ada Undang-undang Simpan Barang Cetak (Deposit Act) yang
mewajibkan penerbit mengirim hasil penerbitannya pada instansi
atau lembaga yang ditentukan.
Selama ini para penerbit hanya mengirimkan publikasi mereka ke
Kejaksaan Agung. Tidak diketahui bagaimana kemudian nasib
bahan-bahan tersebut.
Badan lain di Indonesia yang bertugas "menyimpan sejarah" adalah
Arsip Nasional. Lembaga ini kini memiliki koleksi sepanjang 20
km lebih, diukur bila bundel arsip-arsip itu ditegakkan.
Koleksi Arsip Nasional masih disimpan terpencar di tiga tempat.
Koleksi zaman VOC sampai 1900 disimpan di Depo Jalan Gajah Mada,
Jakarta, di suatu bangunan yang didirikan pada 1780, artinya
hampir seusia isinya. Depo Bogor menyimpan arsip dari 1900-1942
sedang gudang pusat di Kemang menyimpan arsip masa republik yang
hingga kini bersifat "tertutup ".
Periode yang paling lemah dalam pengarsipan di Indonesia adalah
pada zaman Jepang dan zaman revolusi. "Dalam zaman Jepang,
karena perang banyak. orang berpindah. Sistematik arsip juga
tidak dijalankan dengan baik. Ada juga arsip dalam bahasa Jepang
yang hilang karena kapal yang mengangkutnya ke Jepang
tenggelam,"kata Dr. Taufik Abdullah, seorang staf ahli dari
Leknas/ LIPI.
Mungkin kekosongan pada periode inilah yang antara lain
mengakibatkan polemik tentang penggali Pancasila saat ini.
Langkanya sumber sejarah pada masa ini tambah tidak tertolong
dengan tipisnya kesadaran sejarah pada masyarakat.
Dalam keadaan semacam itu, yang sering terjadi barangkali belum
tentu pemalsuan sejarah, tapi ketidakacuhan pada barang-barang
bersejarah, terutama dokumen. Pemalsuan sejarah kemudian memang
bisa terjadi dalam kekalangkabutan seperti itu. Lalu generasi
muda Indonesia pun akan berjalan dengan kepala kosong dari
rekaman kenang-kenangan,--atau dengan fantasi tentang masa lalu
yang kabur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini