Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yamin, Si "Penyulap"?

Pribadi Moh. Yamin tokoh kontraversial, dan bukunya "Naskah Persiapan UUD 1945: yang dijadikan sumber utama oleh Prof.Dr. Notosusanto untuk menyimpulkan bahwa penggali Pancasila bukan hanya Bung Karno.(nas)

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOKOH macam apa sebenarnya Muhammad Yamin itu? Di tengah ramainya polemik mengenai siapa penggali Pancasila, nama Yamin mendadak mengulang lagi. Bukunya, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama kali terbit pada 1959, dijadikan sumber primer oleh Prof. Dr. Notosusanto untuk menyimpulkan: penggali Pancasila bukan hanya Bung Karno saja, tapi juga Soepomo dan Yamin. Dasar kesimpulan tersebut: pada 29 Mei dan 31 Mei 1945, Yamin dan Soepomo di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengemukakan gagasan mereka tentang dasarnegara Indonesia yang akan dibentuk. Teks pidato kedua tokoh tadi termuat dalam buku Yamin itu. Banyak yang meragukan autentisitas pidato Yamin karena banyak "keanehannya". Ada yang curiga, Yamin diduga tidak pernah mengucapkan pidato yang kemudian dimuatnya dalam bukunya tersebut. Dengan istilah lain Yamin dicurigai telah "menyulap sejarah". Ada juga yang kurang setuju bila Soepomo dikatakan telah mengajukan juga gagasan hma dasar negara seperti disimpulkan Nugroho. Betulkah Yamin pemalsu sejarah? rokoh satu ini memang kontroversial. Nugroho Notosusanto sendiri mengakui sejumlah tokoh yang diwawancarainya umumnya kurang menyukai pribadi Yamin. Ada yang menganggap Yamin "licik" "pembohong" dan "tukang sulap". "Pak Yarnin itu banyak musuhnya. Benci bisa mempengaruhi pertimbangan. Hingga karya Pak Yamin pun dianggap begitu. Tapi satu kali tidak benar tidak berarti lantas seluruhnya tidak benar," kata Nugroho pada TEMPO. Bagaimana sebenarnya pribadi Yamin memang masih gelap buat banyak orang. Tokoh yang pernah mendapat Bintang Mahaputra ini dikenal sebagai ahli sejarah, ahli hukum dan ketatanegaraan serta sekaligus juga sastrawan. Bahwa dia juga seorang nasionalis yang mencitakan keagungan Indonesia Raya tidak diragukan lagi. Ia pernah mencita-citakan Indonesia yang seluas Majapahit meliputi juga Malaysia dan Kamboja. Tapi menurut Ensiklopedi Umum, sebelum kemerdekaan di kalangan pergcrakan nasional kedudukan Yamin terpencil karena dia dikenal sebagai "tukang pemecah (persatuan)". Namun dia juga dianggap "pejuang militan, penuh prakarsa dan ambisi-ambisi pribadi". MUHAMMAD Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto, -- Sumatera Barat pada 23 Agustus 1903. Pamannya seorang laras (setingkat wedana) di daerah itu. Tapi Yamin melewatkan sebagian besar hidupnya di Jawa. Pendidikannya: Sekolah Pertanian di Bogor--karena hanya sekolah itu yang memberikan beasiswa, AMS di Yogyakarta dan akhirnya tamat dari Rechtschooge school di Jakarta pada 1932. Di kala kecil Yamin telantar. Rupa fisiknya kurang menarik. "Ia tidak begitu diperhatikan oleh ibunya," kata Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar yang secara tidak langsung merupakan cucu Yamin. "Yamin itu adik nenek saya dan dibesarkan kakek saya, seorang guru. Ketika kakek dipindahkan ke Palembang, Yamin dibawa dan disekolahkan di HIS," cerita Harsja. Yamin ternyata tak hanya lulus HIS, tapi juga lulus sekolah guru. "Dari dulu dia sudah peka bahasa. Yamin ikut memeriksa pekerjaan rumah pelajaran bahasa para murid yang dibawa kakek ke rumah," kata Harsja pula. Di masa mudanya Yamin giat dalam pergerakan pemuda dan sebagai Ketua Indonesia Muda pada 1928 ikut berperan dalam mencetuskan Sumpah Pemuda. Sejak mudanya Yamin memang menonjol dalam usahanya mengangkat bahasa Indonesia. "Tiada bahasa, hilangnya bangsa" adalah kiasan yang diciptakannya. Sajak-sajak dan tulisan Yamin sebelum kemerdekaan penuh gelora semangat pemujaan kebesaran bangsa serta berusaha menggali kebesaran lama Indonesia. Misalnya Indonesia Tumpah Darahku (1928), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Sejarab Peperangan Diponegara (1945) dan Gajah Mada (1945). Berpuluh buku kemudian ditulisnya. Ia pernah menjadi anggota Volksraad dan kemudian menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Banyak yang menduga "seorang teman kita ahli bahasa" yang dalam pidato 1 Juni 1945 Bung Karno dikatakan memberi petunjuk nama Panca Sila adalah Yamin. Menurut Nugroho Notosusanto yang kini sedang meneliti hubungan Soekarno dan Yamin, antara kedua tokoh ini ada semacam cross-fertilization hingga jalan pikiran mereka paralel. "Yamin pandai. Orangnya cerdas. Tapi karena pandai dia cenderung meremehkan orang lain. Jadi banyak yang tersinggung," kata Harsja W. Bachtiar. Dari berbagai tulisannya tampak Yamin bersimpati pada murba -- rakyat kecil. Mungkin itu yang menyebabkannya dekat dengan pandangan Tan Malaka hingga kemudian bergabung dalam kelompok Persatuan Perjuangan. Yamin ikut dalam percobaan makar menggulingkan pemerintah yang dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli 1946. Mahkamah Tentara Agung kemudian menjatuhinya hukuman penjara empat tahun. Dia memperoleh grasi pada 17 Agustus 1948 dan kemudian diangkat sebagai Penasihat Delegasi Rl dalam Konperensi Meja Bundar. Dalam beberapa kabinet RI ia silih berganti jabatan: Menteri Kehakiman, PPK, Menteri Penerangan dan Ketua Dewan Perancang Nasional. Yamin juga dikenal sebagai pendukung kuat Konsepsi Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945. Anaknya hanya seorang, Rahadian Yamin yang kemudian dikenal sebagai peragawan dan pencipta mode yang meninggal karena kecelakaan uhun yang lalu. Yamin sendiri meninggal pada 17 Oktober 1962 dan dimakamkan di kampungnya, di samping makam ayahnya, Usman gelar Baginda Khatib, di Talawi, Sumatera Barat. Yamin banyak menulis buku sejarah. Namun sebagai sejarahwan dia tidak dinilai tinggi. Metodenya sering dianggap "kurang ilmiah" dan terkadang lebih didorong interpretasi pribadi dan semangat perjuangan. Salah satu contoh ialah bagaimana Yamin menentukan "wajah" Gajah Mada. Pada 1945 ia menerbitkan buku Gajah Mada yang memuat sebuah potret patung yang disebutnya Gajah Mada Sepotong keterangan disertakan Yamin marca tanab liat ini dapat digali di dekat puri Gajah Mada di Terawulan (Majapahit). Rupanya penuh dengan kegiatan yang maha tangkas dan air mukanya menyinarkan keberanian seorang ahli politik yang berpemandangan jauh. Tidak ada penjelasan lain. Tidak ada catatan dari mana dan bagaimana Yamin bisa memastikan itu patung Gajah Mada. Toh selama puluhan tahun"wajah" Gajah Mada versi Yamin ini dianggap benar. Padahal, banyak sejarahwan yang menentang Gajah Madanya Yamin. "Itu bukan patung Gajah Mada. Itu celengan peninggalan Majapahit yang ditemukan di Trowulan," kata Drs. Buchari, dosen Fakultas Sastra Jurusan Sejarah. Buchari sendiri pada Yamin pernah membantah pendapatnya itu. "Tapi Yamin balik minta pembuktian bahwa itu bukan patung Gajah Mada," kata Buchari. Lalu penyair pemuja kejayaan Majapahit itu pun terus --seolah tak peduli. Dia sudah ketemu Gajah Mada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus