DIA dijuluki de Stakingskoning dan kata itu bercerita banyak
tentang dirinya. Sebab julukan "raja mogok" itu tak cuma
menunjukkan militansinya menggerakkan pemogokan buruh. De
Stakingskoning juga menyindir sebuah latar belakang yang ganjil.
Suryopranoto, dilahirkan sekitar 109 tahun yang lalu, bukan
dibesarkan di keluarga proletariat. Dia putra bangsawan tinggi
dari nDalem Paku Alaman di Yogyakarta. Tapi Raden Mas ini,
seperti juga adiknya, Suwardi Suryaningrat yang kemudian bernama
Ki Hajar Dewantara, lain dari yang lain. Mereka radikal. Mereka
pemberontak.
Di tahun 1908, menurut penuturan adiknya dalam Dari Kebangunan
Nasional Sampai Proklamasi Kemerdekaan, Kenang-Kenangan Ki
Hadjar Dewantara (1952), Suryopranoto, yang bersekolah di
Middlebare Landbouwscbool di Bogor, sudah berembuk dengan para
pelajar Stovia di Jakarta, untuk membentuk suatu perhimpunan.
Dia gagal, tapi kemudian kita tahu di tahun itu Boedi Oetama
berdiri. Dan Suryopranoto jadi sekretaris yang pertama di Yogya.
Toh sang Raden Mas resah. Baginya, seperti ditulisnya sendiri
kemudian, jalannya organisasi Boedi Oetama "masih sangat
berhati-hati dan lambat." Pucuk pimpinan Boedi Oetama memang
dipegang seorang bupati--pegawai tinggi di pemerintahan
penjajahan. Pejabat ini tahu bahwa pemerintah tak senang
"melihat kemenangan perkumpulan bumi putra". Akhirnya Boedi
Oetama pun, dalam kata-kata bangsawan radikal ini, "tetap hidup
di meja dan di kamar", "tidak terasa di kalangan rakyat
tingkatan bawah". Suryopranoto, tak puas, di bulan April 1917
memulai gerakan Adhi Dharma.
Gerakan ini oleh Ki Hajar, yang nampaknya sangat mengagumi
kakaknya, disebut sebagai "badan sosial yang berusaha secara
hebat". Dan memang mengesankan. Di tahun 1918 misalnya Adhi
Dharma mendirikan persatuan karyawan pabrik, atau Personeel
Fabrieksbond (PFB). Semula PFB hanya bermaksud membantu buruh
pabrik gula yang diberhentikan dan keluarga mereka yang sakit.
Tapi keresahan rakyat di bawah mendorongnya bergerak lebih
galak: lewat hentakannya, diperjuangkan perbaikan nasib.
Di tahun 1919 jumlah anggotanya pun meledak dari hanya 700
menjadi 6.000. Inilah yang agaknya memberi semangat bagi
Suryopranoto buat mengancam mogok di bulan Maret 1920. PFB
mengirim satu memorandum ke sindikat gula. Di sana dinyatakan
tuntutan untuk perbaikan upah -- dan tuntutan agar PFB diakui
sebagai perantara tawar-menawar antara buruh dengan pemilik
pabrik.
"Yah, apa akan dikata," tulis Suryopranoto kemudian, "jika
seorang pegawai Belanda dalam pabrik gula, dengan duduk
ongkang-ongkang, mendapat persenan tahunan 500.000 rupiah,
berhadapan dengan kuli, yang bikin lubang dalam tanah yang
panjangnya 24 kaki, lebar dan dalamnya masing-masing 1 kaki,
dengan upah 1,5 sen".
Ia pun menyebut tentang "hati rakyat yang . . . mengandung
dendam yang tidak habis-habisnya". Ia berbicara tentang "sumber
kegentingan sosial yang dahsyat". Tapi benarkah putra ningrat
ini tahu benar hati rakyat?
Tuntutannya di tahun 1920 kepada sindikat gula berhasil. Nasib
buruh diperbaiki oleh para majikan--setelah pemerintah ikut
mendesak. Tapi tuntutan agar PFB jadi perantara antara buruh
dengan pemilik pabrik gagal.
Dan buruh nampaknya tak peduli: mereka hanya memasuki serikat
buruh pada saat yang sulit, dan kehilangan minat berorganisasi
begitu tuntutan ekonomis mereka dipenuhi.
"Itulah fenomen yang menjangkiti gerakan buruh Indonesia secara
keseluruhan", tulis Ruth T. McVey tentang masa itu dalam Tke
Rise of Indonesian Communism. Adhi Dharma, betapa pun efektifnya
di saat-saat awal, kemudian hilang dari ajang pergulatan.
Itu tak berarti detakingskoning hanya mengada-ada. Ia hidup di
masa ketika ada buruh batik perempuan yang bekerja dengan kaki
dirantai, "supaya tidak dapat pergi mengaso". Bangsawan yang di
kala muda menulis karya sastra Jawa itu pun tersintuh, dan
protes. Tapi rasa marah dan radikalisme saja nampaknya tak
cukup. Rakyat kadang punya hasrat hati tersendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini