Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Ancaman Mogok

Putra bangsawan dalem Paku Alaman Suryopranoto, th 1918 mendirikan persatuan karyawan pabrik. Th 1920 membuat ancaman mogok kepada pabrik gula. Tuntutan berhasil tapi para buruh tidak berminat berorganisasi.

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA dijuluki de Stakingskoning dan kata itu bercerita banyak tentang dirinya. Sebab julukan "raja mogok" itu tak cuma menunjukkan militansinya menggerakkan pemogokan buruh. De Stakingskoning juga menyindir sebuah latar belakang yang ganjil. Suryopranoto, dilahirkan sekitar 109 tahun yang lalu, bukan dibesarkan di keluarga proletariat. Dia putra bangsawan tinggi dari nDalem Paku Alaman di Yogyakarta. Tapi Raden Mas ini, seperti juga adiknya, Suwardi Suryaningrat yang kemudian bernama Ki Hajar Dewantara, lain dari yang lain. Mereka radikal. Mereka pemberontak. Di tahun 1908, menurut penuturan adiknya dalam Dari Kebangunan Nasional Sampai Proklamasi Kemerdekaan, Kenang-Kenangan Ki Hadjar Dewantara (1952), Suryopranoto, yang bersekolah di Middlebare Landbouwscbool di Bogor, sudah berembuk dengan para pelajar Stovia di Jakarta, untuk membentuk suatu perhimpunan. Dia gagal, tapi kemudian kita tahu di tahun itu Boedi Oetama berdiri. Dan Suryopranoto jadi sekretaris yang pertama di Yogya. Toh sang Raden Mas resah. Baginya, seperti ditulisnya sendiri kemudian, jalannya organisasi Boedi Oetama "masih sangat berhati-hati dan lambat." Pucuk pimpinan Boedi Oetama memang dipegang seorang bupati--pegawai tinggi di pemerintahan penjajahan. Pejabat ini tahu bahwa pemerintah tak senang "melihat kemenangan perkumpulan bumi putra". Akhirnya Boedi Oetama pun, dalam kata-kata bangsawan radikal ini, "tetap hidup di meja dan di kamar", "tidak terasa di kalangan rakyat tingkatan bawah". Suryopranoto, tak puas, di bulan April 1917 memulai gerakan Adhi Dharma. Gerakan ini oleh Ki Hajar, yang nampaknya sangat mengagumi kakaknya, disebut sebagai "badan sosial yang berusaha secara hebat". Dan memang mengesankan. Di tahun 1918 misalnya Adhi Dharma mendirikan persatuan karyawan pabrik, atau Personeel Fabrieksbond (PFB). Semula PFB hanya bermaksud membantu buruh pabrik gula yang diberhentikan dan keluarga mereka yang sakit. Tapi keresahan rakyat di bawah mendorongnya bergerak lebih galak: lewat hentakannya, diperjuangkan perbaikan nasib. Di tahun 1919 jumlah anggotanya pun meledak dari hanya 700 menjadi 6.000. Inilah yang agaknya memberi semangat bagi Suryopranoto buat mengancam mogok di bulan Maret 1920. PFB mengirim satu memorandum ke sindikat gula. Di sana dinyatakan tuntutan untuk perbaikan upah -- dan tuntutan agar PFB diakui sebagai perantara tawar-menawar antara buruh dengan pemilik pabrik. "Yah, apa akan dikata," tulis Suryopranoto kemudian, "jika seorang pegawai Belanda dalam pabrik gula, dengan duduk ongkang-ongkang, mendapat persenan tahunan 500.000 rupiah, berhadapan dengan kuli, yang bikin lubang dalam tanah yang panjangnya 24 kaki, lebar dan dalamnya masing-masing 1 kaki, dengan upah 1,5 sen". Ia pun menyebut tentang "hati rakyat yang . . . mengandung dendam yang tidak habis-habisnya". Ia berbicara tentang "sumber kegentingan sosial yang dahsyat". Tapi benarkah putra ningrat ini tahu benar hati rakyat? Tuntutannya di tahun 1920 kepada sindikat gula berhasil. Nasib buruh diperbaiki oleh para majikan--setelah pemerintah ikut mendesak. Tapi tuntutan agar PFB jadi perantara antara buruh dengan pemilik pabrik gagal. Dan buruh nampaknya tak peduli: mereka hanya memasuki serikat buruh pada saat yang sulit, dan kehilangan minat berorganisasi begitu tuntutan ekonomis mereka dipenuhi. "Itulah fenomen yang menjangkiti gerakan buruh Indonesia secara keseluruhan", tulis Ruth T. McVey tentang masa itu dalam Tke Rise of Indonesian Communism. Adhi Dharma, betapa pun efektifnya di saat-saat awal, kemudian hilang dari ajang pergulatan. Itu tak berarti detakingskoning hanya mengada-ada. Ia hidup di masa ketika ada buruh batik perempuan yang bekerja dengan kaki dirantai, "supaya tidak dapat pergi mengaso". Bangsawan yang di kala muda menulis karya sastra Jawa itu pun tersintuh, dan protes. Tapi rasa marah dan radikalisme saja nampaknya tak cukup. Rakyat kadang punya hasrat hati tersendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus