TOKOH macam apa sebenarnya Muhammad Yamin itu? Di tengah
ramainya polemik mengenai siapa penggali Pancasila, nama Yamin
mendadak mengulang lagi. Bukunya, Naskah Persiapan Undang-Undang
Dasar 1945 yang pertama kali terbit pada 1959, dijadikan sumber
primer oleh Prof. Dr. Notosusanto untuk menyimpulkan: penggali
Pancasila bukan hanya Bung Karno saja, tapi juga Soepomo dan
Yamin.
Dasar kesimpulan tersebut: pada 29 Mei dan 31 Mei 1945, Yamin
dan Soepomo di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia mengemukakan gagasan mereka tentang
dasarnegara Indonesia yang akan dibentuk. Teks pidato kedua
tokoh tadi termuat dalam buku Yamin itu.
Banyak yang meragukan autentisitas pidato Yamin karena banyak
"keanehannya". Ada yang curiga, Yamin diduga tidak pernah
mengucapkan pidato yang kemudian dimuatnya dalam bukunya
tersebut. Dengan istilah lain Yamin dicurigai telah "menyulap
sejarah". Ada juga yang kurang setuju bila Soepomo dikatakan
telah mengajukan juga gagasan hma dasar negara seperti
disimpulkan Nugroho.
Betulkah Yamin pemalsu sejarah? rokoh satu ini memang
kontroversial. Nugroho Notosusanto sendiri mengakui sejumlah
tokoh yang diwawancarainya umumnya kurang menyukai pribadi
Yamin. Ada yang menganggap Yamin "licik" "pembohong" dan "tukang
sulap". "Pak Yarnin itu banyak musuhnya. Benci bisa mempengaruhi
pertimbangan. Hingga karya Pak Yamin pun dianggap begitu. Tapi
satu kali tidak benar tidak berarti lantas seluruhnya tidak
benar," kata Nugroho pada TEMPO.
Bagaimana sebenarnya pribadi Yamin memang masih gelap buat
banyak orang. Tokoh yang pernah mendapat Bintang Mahaputra ini
dikenal sebagai ahli sejarah, ahli hukum dan ketatanegaraan
serta sekaligus juga sastrawan. Bahwa dia juga seorang
nasionalis yang mencitakan keagungan Indonesia Raya tidak
diragukan lagi. Ia pernah mencita-citakan Indonesia yang seluas
Majapahit meliputi juga Malaysia dan Kamboja. Tapi menurut
Ensiklopedi Umum, sebelum kemerdekaan di kalangan pergcrakan
nasional kedudukan Yamin terpencil karena dia dikenal sebagai
"tukang pemecah (persatuan)". Namun dia juga dianggap "pejuang
militan, penuh prakarsa dan ambisi-ambisi pribadi".
MUHAMMAD Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto, -- Sumatera
Barat pada 23 Agustus 1903. Pamannya seorang laras (setingkat
wedana) di daerah itu. Tapi Yamin melewatkan sebagian besar
hidupnya di Jawa. Pendidikannya: Sekolah Pertanian di
Bogor--karena hanya sekolah itu yang memberikan beasiswa, AMS di
Yogyakarta dan akhirnya tamat dari Rechtschooge school di
Jakarta pada 1932.
Di kala kecil Yamin telantar. Rupa fisiknya kurang menarik. "Ia
tidak begitu diperhatikan oleh ibunya," kata Prof. Dr. Harsja W.
Bachtiar yang secara tidak langsung merupakan cucu Yamin. "Yamin
itu adik nenek saya dan dibesarkan kakek saya, seorang guru.
Ketika kakek dipindahkan ke Palembang, Yamin dibawa dan
disekolahkan di HIS," cerita Harsja.
Yamin ternyata tak hanya lulus HIS, tapi juga lulus sekolah
guru. "Dari dulu dia sudah peka bahasa. Yamin ikut memeriksa
pekerjaan rumah pelajaran bahasa para murid yang dibawa kakek ke
rumah," kata Harsja pula.
Di masa mudanya Yamin giat dalam pergerakan pemuda dan sebagai
Ketua Indonesia Muda pada 1928 ikut berperan dalam mencetuskan
Sumpah Pemuda. Sejak mudanya Yamin memang menonjol dalam
usahanya mengangkat bahasa Indonesia. "Tiada bahasa, hilangnya
bangsa" adalah kiasan yang diciptakannya. Sajak-sajak dan
tulisan Yamin sebelum kemerdekaan penuh gelora semangat pemujaan
kebesaran bangsa serta berusaha menggali kebesaran lama
Indonesia. Misalnya Indonesia Tumpah Darahku (1928), Ken Arok
dan Ken Dedes (1934), Sejarab Peperangan Diponegara (1945) dan
Gajah Mada (1945). Berpuluh buku kemudian ditulisnya.
Ia pernah menjadi anggota Volksraad dan kemudian menjadi anggota
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Banyak
yang menduga "seorang teman kita ahli bahasa" yang dalam pidato
1 Juni 1945 Bung Karno dikatakan memberi petunjuk nama Panca
Sila adalah Yamin.
Menurut Nugroho Notosusanto yang kini sedang meneliti hubungan
Soekarno dan Yamin, antara kedua tokoh ini ada semacam
cross-fertilization hingga jalan pikiran mereka paralel. "Yamin
pandai. Orangnya cerdas. Tapi karena pandai dia cenderung
meremehkan orang lain. Jadi banyak yang tersinggung," kata
Harsja W. Bachtiar.
Dari berbagai tulisannya tampak Yamin bersimpati pada murba --
rakyat kecil. Mungkin itu yang menyebabkannya dekat dengan
pandangan Tan Malaka hingga kemudian bergabung dalam kelompok
Persatuan Perjuangan. Yamin ikut dalam percobaan makar
menggulingkan pemerintah yang dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli
1946. Mahkamah Tentara Agung kemudian menjatuhinya hukuman
penjara empat tahun.
Dia memperoleh grasi pada 17 Agustus 1948 dan kemudian diangkat
sebagai Penasihat Delegasi Rl dalam Konperensi Meja Bundar.
Dalam beberapa kabinet RI ia silih berganti jabatan: Menteri
Kehakiman, PPK, Menteri Penerangan dan Ketua Dewan Perancang
Nasional. Yamin juga dikenal sebagai pendukung kuat Konsepsi
Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945.
Anaknya hanya seorang, Rahadian Yamin yang kemudian dikenal
sebagai peragawan dan pencipta mode yang meninggal karena
kecelakaan uhun yang lalu. Yamin sendiri meninggal pada 17
Oktober 1962 dan dimakamkan di kampungnya, di samping makam
ayahnya, Usman gelar Baginda Khatib, di Talawi, Sumatera Barat.
Yamin banyak menulis buku sejarah. Namun sebagai sejarahwan dia
tidak dinilai tinggi. Metodenya sering dianggap "kurang ilmiah"
dan terkadang lebih didorong interpretasi pribadi dan semangat
perjuangan.
Salah satu contoh ialah bagaimana Yamin menentukan "wajah" Gajah
Mada. Pada 1945 ia menerbitkan buku Gajah Mada yang memuat
sebuah potret patung yang disebutnya Gajah Mada Sepotong
keterangan disertakan Yamin marca tanab liat ini dapat digali di
dekat puri Gajah Mada di Terawulan (Majapahit). Rupanya penuh
dengan kegiatan yang maha tangkas dan air mukanya menyinarkan
keberanian seorang ahli politik yang berpemandangan jauh.
Tidak ada penjelasan lain. Tidak ada catatan dari mana dan
bagaimana Yamin bisa memastikan itu patung Gajah Mada. Toh
selama puluhan tahun"wajah" Gajah Mada versi Yamin ini dianggap
benar.
Padahal, banyak sejarahwan yang menentang Gajah Madanya Yamin.
"Itu bukan patung Gajah Mada. Itu celengan peninggalan Majapahit
yang ditemukan di Trowulan," kata Drs. Buchari, dosen Fakultas
Sastra Jurusan Sejarah.
Buchari sendiri pada Yamin pernah membantah pendapatnya itu.
"Tapi Yamin balik minta pembuktian bahwa itu bukan patung Gajah
Mada," kata Buchari. Lalu penyair pemuja kejayaan Majapahit itu
pun terus --seolah tak peduli. Dia sudah ketemu Gajah Mada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini