MEMANG sering terjadi penyalah gunaan ilmu sejarah. Karena
penulisan sejarah, seperti tulisan lain, punya fungsi dalam
masyarakat--misalnya fungsi legitimasi atau fungsi memberi
teladan bagi generasi muda.
Bahaya dari itu adalah bahwa fakta atau proses sejarah dipakai
seenaknya saja oleh tokoh politik, cendekiawan dan lain-lain.
Hal ini akan lebih mengaburkan pandangan masyarakat mengenai
kedudukan ilmu sejarah dan konsepsinya mengenai sejarah.
Di Indonesia, sejarah --sebagai kesusastraan --dipakai dengan
tujuan legitimasi, atau untuk menonjolkan tokoh sebagai teladan.
Ini tercermin dari karya-karya tradisional yang terkenal sebagai
babad, hikayat dan lain-lain. Sejarah semacam ini ditu'lis dalam
bahasa kebudayaan setempat, dan bersifat "kontemporer". Artinya
pelukisan kraton masa lampau, misalnya, dilakukan dengan
melukiskan kraton yang dimengerti oleh pendengarnya.
Fungsi legitimasi dari suatu karya seperti Babad Tanah Jawi dari
Kerajaan Mataram adalah jelas. Di sini Mataram dibesar-besarkan,
sedangkan peranan Majapahit sangat diperkecil. Kerajaan
sebelumnya, seperti Kediri dan Criwijaya, bahkan sama sekali
terlupakan.
Contoh seperti itu bersifat tidak sangat merugikan siapa saja.
Paling-paling berupa pengelabuan terhadap masyarakat tentang
kebesaran suatu kerajaan. Contoh seperti itu masih lebih
innocent bila dibanding dengan pemalsuan yang membawa akibat
perang, kekejaman dan pengejaran terhadap suatu golongan oleh
golongan yang berkuasa.
Pemalsuan semacam itu kadang-kadang juga dengan jalan
menciptakan dokumen palsu. Contohnya adalah dokumen yang dibuat
polisi rahasia Rusia di bawah Czar pada akhir abad ke-l9 yang
terkenal sebagai Protokol Zion. Dokumen palsu ini memuat cerita
tentang berkomplotnya orang Yahudi dengan Free Masonry untuk
merebut kekuasaan dunia. Kedua pemalsuan itu dipakai pemerintah
yang berkuasa untuk mengejar-ngejar kaum ahudi.
Banyak sejarahwan segan menulis atau meneliti sejarah
kontemporer atau masa yang sezaman dengan masa hidup sejarahwan
itu. Bahkan ada yang mengatakan makin kuno suatu zaman untuk
diteliti, makin ilmiah sifatnya, karena emosi, kepentingan dan
lain-lain sudah mereda, dan mungkin bahannya pun lebih lengkap.
Pendapat itu belum tentu benar. Sejarah kuno lndonesia misalnya
sedikit sekali bahannya. Pun emosi dan kepentingan msih bisa
terus kuat tentang suatu zaman yang sudah lama lampau.
Apakah penulisan sejarah itu obyektif, ataukah ada selalu unsur
subyektif? Persoalan apakah ilmu sejarah itu senetral ilmu
eksakta, menurut pendapat saya adalah suatu persoalan filsafat.
Persoalan bagi seorang sejarahwan ialah apakah metode
bahan-bahan penelitianya cukup lengkap.
Seorang ilmuwan sejarah harus menyediakan bukti dan kongklusi
seketat seperti halnya seorang ilmuwan eksakta juga dituntut
demikian. Metodenya mungkin berbeda dan hasilnya mungkin
menimbulkan keraguan lain. Namun bagi seorang ilmuwan
sejarah,bukti-buktinya adalah obyektif, dan sepasti bukti-bukti
ilmuwan eksakta.
Adanya ketidaklengkapan bahan sebenarnya adalah hal yang dialami
semua peneliti ilmu. Karena itu dapat dan sering terjadi
perubahan penulisan sejarah. Sebab apa yang dikemukakan oleh
seorang sejarahwan pada suatu waktu dapat dikemukakan secara
lain oleh sejarahwan lain, karena penemuan bahan baru ataupun
karena wawasan baru. Akan tetapi, sejarahwan tetap tidak dapat
secara seenaknya mengubah sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini