Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Kekerasan di Aksi Tolak RUU TNI, Tim Advokasi akan Lapor Ombudsman

Setidaknya 83 orang mengalami luka-luka, 161 orang ditangkap, dan 18 jurnalis mengalami kekerasan selama dua pekan gelombang aksi penolakan RUU TNI.

10 April 2025 | 17.07 WIB

Aksi demonstrasi mahasiswa bersama koalisi sipil mendesak pencabutan UU TNI dan menolak RUU Polri berakhir ricuh dengan petugas kepolisian di depan Gedung DPR RI, Jakarta, 27 Maret 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Perbesar
Aksi demonstrasi mahasiswa bersama koalisi sipil mendesak pencabutan UU TNI dan menolak RUU Polri berakhir ricuh dengan petugas kepolisian di depan Gedung DPR RI, Jakarta, 27 Maret 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menyatakan akan menyerahkan laporan kekerasan aparat terhadap massa aksi penolakan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kepada Ombudsman Republik Indonesia. Laporan itu disusun berdasarkan pemantauan mereka pada dua periode aksi, yaitu 15-20 Maret dan 21-28 Maret 2025, yang menunjukkan adanya pola pelanggaran serius terhadap hak menyatakan pendapat warga negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Dari segi maladministrasinya, banyak peserta aksi yang ditangkap tanpa prosedur hukum yang benar. Ada yang ditahan tanpa surat penangkapan atau pemanggilan,” kata anggota Divisi Hukum KontraS Muhammad Yahya Ihyaroza, saat ditemui di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Kamis, 10 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAUD mencatat setidaknya 83 orang mengalami luka-luka, 161 orang ditangkap, dan 18 jurnalis mengalami kekerasan selama dua pekan gelombang aksi penolakan RUU TNI berlangsung di berbagai daerah.

Selain itu, KontraS juga menyinggung keterlibatan aparat berpakaian sipil dalam pengamanan massa aksi. “Beberapa dari mereka membawa senjata, memicu kerusuhan, lalu menghilang. Ini pola yang berulang dan sangat berbahaya,” katanya.

KontraS dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai sebagian besar tindakan aparat, terutama dari unsur kepolisian dan TNI, menunjukkan kecenderungan represi yang berlebihan.

“Penanganan aksi itu kan sudah diatur lewat Perkap (Peraturan Kepala Kepolisian). Tapi kenyataannya, justru aparat seolah bebas memukul dan menangkap siapa pun tanpa dasar hukum yang jelas,” ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI Zainal Arifin.

Ia menambahkan, laporan ke Ombudsman akan menyoroti potensi maladministrasi dalam bentuk pembiaran, tindakan represif yang tak proporsional, hingga kriminalisasi terhadap peserta aksi.

Selain menyerahkan laporan ke Ombudsman, Zainal menyebut pihaknya juga sedang mendiskusikan kemungkinan melakukan litigasi strategis terhadap aparat sebagai upaya hukum. “Kami tidak bisa terus membiarkan kekerasan ini terjadi tanpa pertanggungjawaban,” katanya.

TAUD menyatakan laporan ke Ombudsman ini bukan hanya bentuk protes, tetapi langkah strategis untuk mendesak negara agar tidak terus-menerus menormalisasi kekerasan terhadap masyarakat sipil dalam ruang demokrasi.

Seperti diketahui, pembahasan RUU TNI oleh DPR dan pemerintah diwarnai unjuk rasa penolakan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil. Di antara alasan penolakan adalah RUU tersebut dianggap bisa mengembalikan dwifungsi TNI, layaknya era Orde Baru. Namun DPR tetap membahas RUU tersebut dan mengesahkannya dalam sidang paripurna yang digelar pada Kamis, 20 Maret 2025.

Dinda Shabrina

Lulusan Program Studi Jurnalistik Universitas Esa Unggul Jakarta pada 2019. Mengawali karier jurnalistik di Tempo sejak pertengahan 2024.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus