SUASANA di sana terlihat kumal. Cat di dinding pada mengelupas, air ledeng di WC belakang berhenti mengalir. Di satu ruangan, ada seperangkat meja dan kursi tampaknya biasa digunakan untuk rapat tapi kotor karena debu. Karpet hijau pelapis lantai ruangan penuh bercak kotoran, rupanya jarang dirawat. Seandainya tak ada papan nama di halaman depan, orang mungkin tak tahu bahwa gedung di Jalan Diponegoro, Jakarta, itulah kantor pusat Partai Persatuan Pembangunan. Panggung kampanye kontestan ini mirip kantornya tadi, tak segegapgempita dua yang lain. Golkar menggotong Titiek Puspa, Benyamin, dan segerobak artis lainnya untuk menghimpun massa. Begitu pula PDI, walau dalam jumlah yang lebih kecil. Di sana ada Guruh, Sophan Sophiaan, Widyawati, Boim alias Harry de Fretes dari Lenong Rumpi yang lagi mencuat itu, serta sejumlah artis kece lainnya. "Selain kampanye kami memang tidak mengutamakan artis, kami jelas kalah uang untuk bersaing memperebutkan artis," ujar Wakil Sekjen PPP Yusuf Syakir. Akhirnya, dengan penampilan seadanya itu, PPP berhasil meraih hampir 17 juta suara pemilih. Artinya, ada tambahan sekitar tiga juta suara dibanding pemilu lima tahun lalu. Tapi Ketua Umum PPP Buya Ismail Hasan Metareum tak gembira. "Terus terang saya kecewa," ujarnya kepada TEMPO. Itu bisa dimaklumi, sebab sebelum masa kampanye, Buya mengibarkan tekad untuk merebut kembali kursi mereka yang lenyap dalam pemilu 1987. Dalam pemilu itu partai ini masih dipimpin Naro PPP kehilangan 33 kursi, sehingga yang tersisa cuma 61 kursi DPR. Sekarang, meski suara bertambah, perolehan kursinya cuma bertambah satu, menjadi 62. Soalnya, dalam pemilu ini ada pertambahan 17 juta pemilih baru, yang berarti jumlah suara yang dibutuhkan untuk tiap kursi bertambah pula. Selain itu, kenaikan suara yang diperoleh PPP itu terjadi cuma di Pulau Jawa sebanyak tujuh kursi terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari dua provinsi ini, PPP memperoleh tambahan enam kursi, kemudian satu kursi lainnya dari Jawa Barat. Sementara itu, mereka kehilangan enam kursi di Sumatera: masingmasing satu di Aceh (padahal Buya Ismail berasal dari Aceh), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Lampung. Bertambahnya kursi di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu memang mudah diduga, disebabkan oleh kembalinya sebagian massa NU ke kandang, setelah mengungsi dalam pemilu sebelumnya. Seperti diketahui, pada pemilu 1987, sejumlah tokoh NU menggembosi PPP, sebagai pembalasan atas tindakan Ketua Umum Naro, waktu itu, yang mendepak sejumlah tokoh NU dari kepengurusan PPP. Dalam kepengurusan Buya sekarang, banyak kalangan NU yang menduduki posisi penting di partai ini. Sebut saja Matori Abdul Djalil yang menjadi sekjen, sebagai contoh. Langkah Buya yang rajin mengunjungi pesantrenpesantren, jauh sebelum masa kampanye, rupanya berhasil pula menarik simpati para kiai dan santri. Ketua PB NU Abdurrahman Wahid membenarkan bahwa ada arus mudik itu. "Mereka ada yang merasa setelah ikut Golkar ternyata sama saja, tak mendapat apaapa. Selain itu, ada juga yang pada waktu penggembosan oleh para kiai itu menjadi bingung, akhirnya tak milih apaapa, lalu kini milih PPP lagi," ujar Wahid. Di daerah pemilihan Jakarta dan Jawa Barat pun yang tak bisa disebut basis NU perolehan suara PPP menanjak, sehingga menyalib posisi PDI yang dalam pemilu sebelumnya berada di atas PPP. Yang kini menjadi tanda tanya, mengapa PPP ambruk di Sumatera. Bila PPP masih dipercaya sebagai penyalur aspirasi umat Islam, pertanyaan tadi akan lebih menggoda, sebab dulu Sumatera merupakan basis Masyumi, partai Islam terbesar tahun 1950an. Din Syamsudin, ahli politik Islam itu, berpendapat bahwa PPP ditinggalkan oleh para pemilihnya dari kalangan Muhammadiyah dan Muslimin Indonesia, ormas bekas Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), yang sampai kini masih dipimpin Naro. "Terjadi kesenjangan yang mengambang antara ormas Islam dan PPP. Tampak di sini PPP lebih menampung aspirasi NU, sementara aspirasi Muhammadiyah kurang terakomodasi," ujar Din Syamsudin, yang kebetulan Ketua Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah itu. Amir Santoso, Ketua Jurusan Politik di FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, menambahkan bahwa faktor lokasi berpengaruh terhadap perebutan suara. Banyak pengamat mengakui bahwa pemilu kali ini lebih longgar dari yang sebelumnya. Namun, hal itu lebih terasa di Jawa. "Semakin jauh dari pusat, biasanya birokrasi makin kaku, karena mereka takut disalahkan oleh pusat," kata Amir Santoso. Tak heran bila menghadapi kekalahan partainya di seluruh Sumatera itu Buya Ismail menuding terjadinya kecurangan. "Kami kedodoran karena banyak terjadi penyimpangan. Di Aceh, penyimpangan itu malah dalam bentuk yang kejam," tutur Buya. Tapi kalau kecurangan yang menjadi sebab, mestinya suara PDI juga turut amblas. Nyatanya tidak, partai banteng itu mengalami pelonjakan suara di Sumatera. Ada yang mengatakan bahwa konsolidasi PPP di Jawa menguat, tapi semakin ke pelosok kendali PPP makin lemah. Misalnya, kepengurusan PPP di Sumatera Utara. "Aparat kami di sana lemah, tak bisa bekerja 100 persen," Yusuf Syakir mengaku. Karena campur tangan pemda setempat, terjadi kericuhan di kepengurusan setempat. Selain soal seperti ini, ada lagi yang lain. Dalam kampanye, PPP tak menampilkan diri sebagai partai alternatif seperti yang dilakukan PDI dengan tema perubahan itu. PPP malah menyatakan akan mencalonkan Pak Harto sebagai presiden mendatang. Dengan demikian, PPP muncul sebagai partai yang menginginkan status quo. Artinya, orangorang yang tak suka Golkar dan menginginkan perubahan tentu tak juga memilih PPP. Sikap ini tampaknya dipilih karena sebagai partai yang mengaku menampung aspirasi kaum muslim, PPP harus mengikuti irama gendang yang telah dipukul oleh para ulama dan kiai terutama di Jakarta dan Jawa Timur dalam bentuk kebulatan tekad dan doadoa politik itu: untuk mencalonkan Pak Harto. Di Jawa, PPP mendapat arus suara dari kaum muslim itu, yang rupanya banyak yang sudah tak kerasan di Golkar. Adapun di luar Jawa, terutama di Sumatera, tampaknya para pemilih Islam masih kerasan di Golkar yang jelasjelas partai pemerintah ketimbang PPP yang seakan cuma serambi depan Golkar. Ardian Taufik Gesuri, Iwan Qodar Himawan (Jakarta), M. Faried Cahyono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini