Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Teror Pasukan Antiteror

Pelaku penembakan markas polisi Palu diduga anggota Detasemen Khusus Antiteror. Polisi menutup kasusnya.

23 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERANGKAIAN penembak­an anggota polisi di Jakarta hari-hari ini membuat kepolisian di daerah bersiaga. Selama tiga hari, pada Selasa-Kamis pekan lalu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menggelar pelatihan praktis menangkal teror untuk polisi, lurah, dan anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Palu, Sulawesi Tengah.

Menurut Kepala Kepolisian Resor Kota Palu Ajun Komisaris Besar Trisno Rachmadi, anggotanya juga diikutkan dalam pelatihan itu karena ancaman teror berupa penembakan kepada anggotanya pernah terjadi pada Juli lalu. "Di sini polisi juga rawan ancaman teror," katanya pekan lalu.

Penembakan itu terjadi di kantor Kepolisian Sektor Palu Selatan pada 17 Juli malam. Anggota polisi yang berjaga di markas dikejutkan oleh serentetan peluru yang dimuntahkan senjata laras panjang oleh dua orang berpakaian hitam. Seorang saksi mata, pemilik warung di seberang kantor polisi, mengatakan dua orang mengendarai sepeda motor RX King turun sekitar 50 meter dari pos jaga dan begitu saja menembak para polisi itu.

Brigadir Kepala Novembri dan seorang polisi lain yang sedang berjaga belingsatan begitu tembakan dimuntahkan. Mereka berlindung ke tembok tanpa tahu dari mana arah peluru. Dari dalam kantor, tujuh polisi buru-sergap yang sedang memeriksa seorang perempuan juga kocar-kacir mencari perlindungan.

Seorang anggota buru-sergap membalas tembakan itu, tapi dua penunggang RX King telah kabur sebelum lebih banyak peluru balasan. Kepala Polsek Palu Selatan Komisaris Saemudi Ali, yang datang tak lama setelah penembakan, segera mengumpulkan anak buahnya. "Saya minta anak buah saya kejar mereka," ujarnya Jumat pekan lalu mengenang peristiwa itu.

Malam itu juga polisi-polisi bersenjata lengkap berpatroli ke seluruh pelosok kecamatan. Satu tim memeriksa saksi mata dan menyisir pos jaga. Dua buah selongsong peluru berukuran 5,56 militer ditemukan tak jauh dari pagar. Satu lagi dekat musala. Anehnya, tak ada jejak peluru di tembok pos kendati Novembri dan pemilik warung itu melihat tembakan diarahkan ke sana.

Tim pemburu gagal menangkap penembak malam itu. Kesaksian pemilik warung tak terlalu banyak membantu karena ia tak melihat dengan jelas wajah keduanya yang terbungkus sebo, penutup kepala, juga karena jalan itu gelap akibat hujan yang cukup lebat. Petunjuknya hanya pelaku penembakan lari ke selatan dan sepeda motor RX King tanpa diketahui nomor polisinya.

Setelah itu, berita penembakan hilang tanpa jejak. Polisi seperti menghentikan pengejaran pelaku penembakan karena minim petunjuk. Sampai suatu ketika, pada 23 Agustus 2013, Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Ari Dono Sukmanto menggelar silaturahmi dengan wartawan di Palu. Dalam pernyataannya, ia menjelaskan soal pengamanan wilayah Sulawesi Tengah, termasuk teror yang mulai mengarah kepada anggota polisi.

Maka Ari Dono pun mengungkit penembakan di Polsek Palu Selatan itu. "Wartawan tertipu," katanya, seperti ditirukan Ketua Aliansi Jurnalis Independen Palu Riski Maruto. Riski berada satu meja dengan Ari Dono dalam pertemuan itu. "Penembakan itu bukan teror, melainkan pelatihan untuk meningkatkan kewaspadaan anggota polisi," Ari Dono melanjutkan.

Ketika dimintai konfirmasi Jumat pekan lalu, Ari Dono tak menyangkal pernah mengatakan kalimat itu. Menurut dia, latihan tersebut tak memakai sandi dan nama operasi karena untuk menguji kesigapan polisi menghadapi terorisme. Peneror adalah anggota Polda Sulawesi Tengah. Selain Polsek Palu Selatan, beberapa polsek lain dipilih sebagai sasaran penembakan. "Kami memang tak memberi tahu sasaran karena ini latihan tertutup," katanya.

Rupanya pernyataan Ari Dono yang tiba-tiba membahas penembakan Polsek Palu Selatan tanpa ada yang bertanya dan sebulan setelah peristiwa terjadi itu mengandung rahasia. Seorang sumber di Polda Sulawesi Tengah bercerita, tim Polda bukannya tak bergerak mencari peneror. Sehari setelah kejadian, anggota Brigade Mobil menangkap seseorang yang diduga pelaku penembakan di Palu Timur. Petunjuknya menyusuri arah lari dan sepeda motor RX King.

Keberhasilan penangkapan itu tak pernah dipublikasikan seperti umumnya operasi penangkapan kriminal. Menurut sumber itu, prestasi Brigade Mobil ditutupi karena orang yang diduga pelaku tersebut ternyata anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror yang bertugas di Kabupaten Poso, wilayah yang paling diawasi Detasemen karena banyaknya peristiwa terorisme. Keanggotaan pelaku di Detasemen diketahui setelah polisi menginterogasinya.

Menurut polisi ini, temuan itu menghebohkan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. "Polisi yang menangkap itu sampai dipanggil ke Jakarta," ujar sumber ini. Polisi yang menangkap berinisial R dan yang ditangkap berinisial YW. Keduanya kini tak jelas keberadaannya. Tempo berusaha melacak dan mencari keduanya, tapi teman-teman di kesatuannya juga tak paham.

Berita penangkapan anggota Detasemen Khusus Antiteror ini sempat menyebar di Palu. Tapi para wartawan tak mendapat keterangan berarti dari polisi. Sampai pekan lalu, Brigadir Jenderal Ari Dono berkukuh bahwa isu penangkapan anggota Detasemen hanya isapan jempol. "Itu informasi untuk mendiskreditkan polisi," katanya.

Ari Dono lupa pada keterangannya dua hari setelah penembakan. Kepada kontributor Tempo di Palu, Darlis Muhammad, ia mengatakan anak buahnya masih mengejar pelaku penembakan Polsek Palu Selatan. "Masih didalami," ucapnya. "Tapi bisa dipastikan penembakan itu adalah bagian dari aksi teror."

Di Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta, keterangan serupa disampaikan Kepala Bagian Penerangan Umum Komisaris Besar Agus Rianto dalam jumpa pers saat menjelaskan penembakan tersebut. Juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Franky Sompie, menambahkan, markasnya telah membentuk tim khusus untuk mengejar dua penembak itu.

Ketika dimintai konfirmasi ulang, Ari Dono berkukuh pada keterangan setelah 23 Agustus. Ia bersumpah tak pernah mengeluarkan rilis bahwa penembakan itu bagian dari teror kepada polisi. Ia malah menyalahkan media massa. "Media yang menyebut penembakan itu teror," katanya. "Di lingkup internal, kami menyebutnya bagian dari latihan."

Kabar penangkapan anggota Detasemen Khusus Antiteror sampai juga ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisioner Siane Indriani, yang mendengar informasi itu, meminta polisi terbuka agar publik mengetahui motif Detasemen meneror koleganya sendiri. "Jika terbuka, publik akan tahu apakah latihan itu sesuai dengan standar prosedur simulasi penanggulangan terorisme atau tidak," katanya.

Rusman ParaQbueq, Amar Burase (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus