Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah bekerja keras, hasilnya sia-sia. Perasaan itu mengendap dalam pikiran Ketua Panitia Pemilihan Majelis Rakyat Papua, Tony Rahail. Pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), yang dilakukan susah payah pada 8 Oktober lalu, hasilnya ditentang beberapa kelompok masyarakat, termasuk Dewan Adat Papua. Keruwetan bertambah se-telah lembaga-lembaga keagamaan me-nyatakan tidak akan mengirim wa-kil-nya di majelis itu.
Penolakan lembaga keagamaan tak bisa diremehkan. Peraturan Daerah Pro-vinsi (Perdasi) Papua No. 4 Tahun 2005 menyebut, MRP harus diisi wakil masyarakat adat, wanita, dan wakil dari lembaga keagamaan. Tiap ”golongan” itu mendapat jatah 14 orang. Artinya, MRP tidak bisa dilantik alias batal jika mereka tidak mengirim wakilnya.
Persoalan bertambah pelik karena pekan depan persiapan pemilihan Gubernur Papua yang baru harus dilakukan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua, calon Gubernur Papua harus mendapat persetujuan MRP. Demi-k-ian juga pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat. Kalau MRP belum dila-ntik, bagaimana kedua hal itu dilakukan? ”Saya sudah menyerahkan persoalan ini kepada Panitia Khusus MRP di DPRD Papua,” ujar Tony.
Pemilihan anggota MRP telah dig-elar secara serempak di 14 wilayah pemilih-an dari Sorong hingga Nabire. Di antara-nya di daerah pemilihan IX—meliputi Kabupaten Jayapura dan Sarmi—yang digelar di kantor Bupati Jayapura di daerah Gunung Merah, Sentani.
Tiga bangunan beratap tenda plastik berbentuk obe-obe (rumah adat Senta-ni) didirikan di sana. Di dalam bangun-an ”darurat” itulah para wakil adat dan wanita dari kedua kabupaten bermu-syawarah sambil menginang (makan si-rih pinang). Berbeda dengan pem-ilu pada umumnya, pemilihan anggota MRP dilakukan secara musyawarah da-ri tingkat desa, kecamatan, hingga daerah pemilihan.
Hasil pemilihan wilayah IX menunjuk Martinus Buaim dan Hana Hikoyabi sebagai wakil adat dan wanita. Rencana-nya, mereka dilantik pada 15 Oktober lalu bersama-sama 40 wakil terpi-lih lainnya—termasuk di dalamnya 14 orang dari kelompok agama. Namun, lembaga-lembaga keagamaan menolak me-nempatkan wakilnya dalam rapat ber-sama panitia khusus di kantor DPR Papua, Selasa pekan lalu.
Mereka beralasan, MRP menjadi simbol politis belaka. Ini bertentangan de-ngan tujuan semula lembaga itu dibentuk. Menurut lembaga keagamaan, MRP seharusnya mandiri dan khusus mena-ngani hak ulayat masyarakat dan meng-atasi persoalan kultural. ”Sekarang lem-baga ini malah ditangani pemerintah. Jadi, tidak mungkin MRP ini lembaga kultural,” ujar Ketua Sinode Gereja Kris-ten Indonesia (GKI) Papua, Herman Saud.
Politisasi MRP itu, Herman mencontohkan, terlihat jelas pada ketentuan bahwa anggota majelis harus dilantik pre-siden. Kewenangan menentukan calon gubernur yang ”pantas” serta ikut andil dalam membentuk Provinsi Irian Jaya Barat juga dianggap menyimpang jauh dari tujuan MRP sebenarnya. ”Jelas ini politik praktis,” ujarnya. Sementara itu, lembaga keagamaan pantang berpolitik praktis. Hal itu akan mempersempit pelayanan dan bisa terjebak dalam konflik kepentingan.
Penolakan inilah yang membuat panitia pemilihan harus be-kerja ekstrakeras. Jadwal pe-lantikan anggota MRP semula, pertengahan Oktober lalu, tak mungkin terlaksana. Kini, Tony sedang berusaha mencari jalan alternatif untuk memecahkan ma-salah unsur agama ini. ”Tapi harus menjadi kesepakatan ber-sama,” ujarnya.
Salah satu ide yang dilontarkan Tony adalah mengganti perwakilan lembaga keagamaan dengan tokoh-tokoh agama. Jika itu bisa dilakukan, kehadiran MRP tidak akan dihambat oleh penolakan berbagai lembaga keagamaan formal. Namun, untuk melakukan itu, substansi Perdasi harus diubah. Dan itu wewenang panitia khusus MRP.
Hingga akhir pekan lalu, pa-ni-tia khusus secara inte-nsif te-rus ber-sidang. Mereka mem-ba-has implikasi yuridis dari penolakan lembaga-lembaga keagamaan itu. Sek-retaris panitia khusus, We-ynand Watori, bercerita, sempat terbetik ide men-datangkan ahli bahasa untuk me-nafsir-kan kembali Perdasi dan aturan lainnya: Undang-Undang No. 1 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2004 tentang MRP. Siapa tahu ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk mencari jalan keluar.
Menurut Weynand, mengubah Pasal 23 Ayat 4 Perdasi tetap menjadi alternatif terakhir setelah semua jalan lain mentok. Cara itu membutuhkan waktu lama. ”Kami justru berharap pihak lembaga agama mau memberikan jalan keluar,” ujarnya.
Sumber Tempo menyebutkan, sepanjang akhir pekan lalu pansus aktif melobi para pimpinan agama di Papua. Tujuannya, agar mereka bisa melunakkan sikap lembaga-lembaga agama itu. Belum diketahui bagaimana hasilnya. Namun, tampaknya tak mudah. GKI jauh hari sudah sesumbar tidak akan meng-ubah keputusan mereka. ”Dipaksa pun kami tetap tidak akan mau,” kata Herman Saud.
Herman malah mengusulkan agar anggota MRP cukup dari kelompok adat dan wanita. Tapi itu pun akan menjadi masalah. Selain perlu mengamendemen Perdasi, masih banyak kelompok masyarakat adat yang menolak MRP. Dewan Adat Papua salah satunya. Bagi mereka, MRP tidak representatif. Dari 253 suku, kok hanya 14 yang punya wakil di MRP. ”Ada ratusan suku di Papua, tapi yang dipakai hanya sebagian. Bagaimana mengatakan itu representasi masyarakat adat?” ujar Tom Beanal, Ketua Dewan Adat Papua (DAP), saat dihubungi melalui telepon di Timika.
Penolakan DAP bukan hal baru. Sebelumnya, mereka juga menolak otonomi khusus. Sikap itu merupakan kesepakatan DAP dalam musyawarah DAP III di Manokwari, Februari lalu. Menurut Tom, DAP menganggap pelaksanaan otonomi khusus sudah menyimpang. Di antaranya korupsi dana pembangunan yang ”seolah” dibiarkan. ”Banyak rak-yat Papua di pedalaman menderita dan tak merasakan hasil pembangunan. Padahal dana cukup besar telah dikucurkan,” ujarnya.
Menurut Sekretaris Pemerin-tahan -DAP, Faddal al-Hamid, semua pr-otes DAP akan dilakukan secara damai. ”Kami tidak akan mengibarkan bende-ra Bintang Kejora atau mengguna-kan sim-bol-simbol politik Papua Barat,” k-atanya.
Pada 12 Agustus lalu, DAP secara res-mi ”mengembalikan” otonomi khusus Papua kepada pemerintah pusat melalui DPRD Papua. Sekitar 20 ribu orang demonstran turun ke jalan mendukung aksi Dewan Adat ketika itu.
Aksi pengerahan massa itu tampak-nya akan kembali terulang jika peme-rintah bersikeras melantik anggota MRP. Front Persatuan Perjuangan Rakyat Pa-pua Barat (Pepera) malah sudah lebih da-hulu beraksi. Pada Jumat dua pekan lalu, sehari sebelum pemilihan, Pepera menggerakkan sekitar 1.500 demonstran ke kantor DPR Papua. Aksi itu akhirnya dibubarkan Satuan Pengendalian Masyarakat Kepolisian Resor Jayapura.
Aksi protes itu tak menggetarkan pe-me-rintah pusat. Pekan lalu, Direktur Jen--deral Kesatuan Bangsa Departemen Dalam Negeri, Sudarsono Hardjosoe-karto, menegaskan bahwa anggota MRP tetap akan dilantik. Departemen Dalam Negeri juga menentukan, pada 10 November mendatang MRP sudah meng-usulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Papua yang baru. Tentang penolakan DAP dan elemen masyarakat lain? ”Sepanjang di dapil (daerah pemilihan) itu ada perwakilan adatnya, tidak ada masalah,” ujar Sudarsono enteng kepada para wartawan di Jakarta, termasuk Raden Rachmadi dari Tempo.
Sikap Jakarta inilah yang kini, tampaknya, mati-matian diperjuangkan panitia pemilihan, DPR Papua, dan aparat pemerintah di sana. Jadwal baru untuk pelantikan pun ditentukan: 20 Oktober.
Deadline itu terasa mepet. Masa jabat-an Gubernur Papua akan berakhir 23 November dan MRP harus bekerja jauh sebelum itu. Kini, beban berat ada di pundak pansus. Pilihannya, mengubah Perdasi atau ”merayu” lembaga keagamaan. ”Mudah-mudahan segera ada tanda-tanda baik,” kata Tony Rahail. Ia tak ingin hasil kerja kerasnya sia-sia.
Philipus Parera, Cunding Levi (Papua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo