Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat pada 2025. Dengan demikian, hak-hak masyarakat adat dapat diakui dan dilindungi secara lebih efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senior kampanye Kaoem Telapak, Veni Siregar, menegaskan pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat jadi momentum penting bagi DPR dan pemerintahan Presiden Prabowo untuk menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat adat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat adalah bentuk tanggung jawab negara dalam memastikan keberlanjutan hidup dan kepastian hukum bagi mereka.
"DPR RI, khususnya Badan Legislasi dan delapan fraksi partai politik, harus mengambil langkah strategis untuk terus membangun dialog konstruktif dengan masyarakat adat, agar RUU yang dihasilkan mampu menjawab persoalan yang dihadapi," katanya melalui keterangan tertulis, pada Rabu, 18 Desember 2024.
RUU ini telah masuk kembali dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025 dan masuk dalam prolegnas lima tahunan usulan DPR, namun masih menggunakan frasa RUU Masyarakat Hukum Adat.
Dia menyatakan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat di tengah kekerasan dan kriminalisasi harus menjadi prioritas. Menurut dia, kontribusi masyarakat adat dalam menjaga kelestarian lingkungan juga patut diapresiasi.
"Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat akan terus mengawal secara intensif untuk memastikan RUU Masyarakat Adat disahkan pada tahun 2025," tutur Veni.
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman, mengatakan pengesahan RUU ini merupakan jalan utama untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.
Dia mengatakan, pengesahan RUU Masyarakat Adat akan memberikan kepastian hukum sekaligus menciptakan investasi yang berkeadilan bagi semua pihak. "Undang-Undang Masyarakat Adat adalah jalan pulang untuk meneguhkan kebangsaan dan Ke-Indonesia-an yang beragam,” katanya.
Arman memaparkan data yang dihimpun AMAN selama 10 tahun terakhir, tercatat ada 687 konflik agraria di wilayah adat. Konflik itu mencakup lahan seluas 11,07 juta hektare.
Tak hanya merampas tanah ulayat, namun konflik tersebut juga mengakibatkan 925 masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi. Dari jumlah itu, 60 orang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara, bahkan satu orang meninggal.
Menurut Arman, perampasan tanah ulayat sering kali dilakukan melalui proyek-proyek besar yang dijalankan tanpa konsultasi atau persetujuan yang memadai. Di samping itu, juga mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan.
Koalisi yang terdiri dari 35 organisasi masyarakat sipil tersebut menegaskan, RUU ini merupakan peluang besar untuk memperbaiki ketidakadilan yang terus dialami oleh masyarakat adat. “Masyarakat Adat adalah pemilik awal dan pemilik sah dari negara ini. Namun, mereka dikucilkan oleh kebijakan negara saat ini,” ujar Juandi Gultom, dari Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Dia menambahkan, PGI aktif melakukan advokasi untuk mendukung perjuangan masyarakat adat. Kantor PGI, bahkan menjadi rumah bersama bagi berbagai pengaduan dan permohonan bantuan yang diajukan oleh Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Manajer Bidang Advokasi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Ermelina Singereta, menyatakan pengabaian negara terhadap perlindungan hukum bagi masyarakat adat dalam mempertahankan ruang hidup mereka, adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dia mengingatkan banyak perempuan adat harus berhadapan dengan hukum yang tidak adil.
"Mereka ditangkap, diadili, bahkan dihukum karena mempertahankan hak dan identitas mereka sebagai perempuan adat. Bagi perempuan adat, hukum ibarat fatamorgana: terlihat jelas tetapi sulit untuk dijangkau,” ujar Ermelina.
Dia menekankan bahwa perlindungan hak masyarakat adat tidak hanya penting dari aspek keadilan, tetapi juga memiliki peran kunci dalam melestarikan keanekaragaman hayati global. Dengan pengetahuan tradisional yang diwariskan selama ribuan tahun, masyarakat adat telah menjaga alam dan ekosistem hayati yang tak tergantikan.
Ermelina melanjutkan bahwa keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan wilayah adat berkontribusi besar terhadap upaya global. Baik untuk melestarikan lingkungan, mitigasi perubahan iklim, hingga perlindungan ekosistem.
Pilihan editor: Beda Mekanisme Pengangkatan Anggota Biasa dan Kehormatan Golkar