Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah Khusus Autis

Menari, menyanyi, dan melukis diajarkan di sekolah khusus autis. Dukungan orang tua tetap diperlukan.

20 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hati ibu mana yang tak trenyuh menyaksikan anak tumbuh berbeda dengan teman sebayanya. Kepedihan itu dirasakan Sundari, 25 tahun, yang tinggal di Semarang. Sepintas lalu, Ryanda, anaknya yang berusia 7 tahun terlihat sehat. Namun, di malam hari bocah kecil itu sulit memicingkan mata. Belakangan, ia berlarian ke sana kemari tanpa henti seraya berteriak-teriak, bahkan menggigit orang.

Bila sedang marah, Ryanda bahkan kerap membenturkan kepalanya ke tembok. Dokter memvonis buah hatinya itu menderita autis hiperaktif. Beragam upaya telah ibu Sundari lakukan untuk penyembuhan anaknya. Psikoterapi hingga ke ”orang pintar”. Juga akupunktur. Masih belum cukup, Ryanda diikutkan pada terapi motorik, wicara, dan musik.

Penderita autis seperti Ryanda kini kian banyak dengan kasus berbeda-beda. Menurut catatan Yayasan Autisma Indonesia, sekitar 7.000 kasus baru muncul tiap tahun. Banyaknya kasus autis, terutama di kota-kota besar, membuat berbagai klinik dan pusat terapi pemulihan autis menjamur di banyak kota. Masing-masing menawarkan metode masing-masing. Dari terapi wicara, perilaku, musik, tusuk jarum, balur, hingga terapi lumba-lumba.

Lumba-lumba? Jangan heran, karena menurut Dr Endang Sumaryati, koordinator terapis dari Dolphin Terapi, Klinik Gelanggang Samudra Ancol, Jakarta Utara, dalam tubuh lumba-lumba terkandung potensi sonar yang bisa merangsang otak manusia untuk memproduksi energi.

Gelombang itu dianggap mampu mempengaruhi aspek kognitif anak autis. ”Terapi ini dilakukan dengan membawa anak-anak berenang bersama lumba-lumba,” tuturnya, ”tentu ditemani instruktur.”

Di sejumlah klinik di Jakarta, ada pula yang mengembangkan terapi balur. Metode ini dimaksudkan untuk mengurangi kadar logam merkuri yang menempel pada tubuh anak autis. Si anak akan diberi minuman yang mengandung asam amino dan tubuhnya diluluri selama dua jam dengan cairan tertentu yang berfungsi mendetoksifikasi gas merkuri.

Beberapa sekolah khusus autis kini bahkan menerapkan terapi musik, menari, dan melukis sebagai tambahan dari metode terapi yang ada. Menurut Dr Muniati Ismail, Kepala Sekolah Bina Autis Mandiri, Palembang, menari dan menyanyi merupakan metode awal yang tepat untuk melatih konsentrasi.

Terapi ini juga dinilai mampu meredam gangguan motorik. ”Selain, tentu saja, belajar mengenalkan seni kepada mereka,” kata Muniati. Sudah beberapa tahun terakhir ia menerapkan metode ini di sekolahnya. Belakangan, teknik ini tak cuma diajarkan di sekolah khusus autis. Sekolah musik bagi anak-anak, seperti yang dikembangkan pianis Dian Hape, juga mengajarkannya.

Ongkos penyembuhan menggunakan terapi seperti ini jelas tidak murah. Umumnya tarif terapi dipatok Rp 50–450 ribu per jam. Terapi dilakukan dua sampai tiga kali dalam seminggu, tergantung berat-ringannya spektrum autis si anak. Dengan harga sekian, jutaan rupiah harus mengalir tiap bulannya.

Ini jelas berat bagi orang tua dari kalangan tak mampu yang anaknya autis. Mereka harus mencari klinik atau pusat terapi berbiaya murah yang ibaratnya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Ada saran dari Direktur Sekolah Autis Mandiga Dyah Puspita untuk mengatasi situasi ini. Para orang tua agar mengeksplorasi sendiri terapi yang ditawarkan pusat terapi atau klinik. Selain menghemat biaya, ini bisa menambah pengetahuan orang tua.

Jika masih ragu, Dyah menyarankan mengontak Yayasan Autisma Indonesia untuk mencari klinik yang tepat bagi anak-anak mereka. Bisa pula mencari informasi terapi autis melalui internet. Komunitas para orang tua yang anaknya penyandang autis juga bisa menjadi tempat bertanya. ”Mereka siap membantu,” ujarnya.

Apa pun bentuk terapi yang akan dilakukan, Dyah mengingatkan bahwa keberhasilan sesungguhnya tergantung pada dukungan orang tua. Banyak contoh anak-anak autis yang sukses berkat sokongan sikap kedua orang tuanya.

Widiarsi Agustina, Imron Rosyid (Klaten), Sunudyantoro (Surabaya), Arif Ardiansyah (Palembang) dan Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus