BANGUNAN untuk ibadat itu hanya terdiri dari tiang-tiang kayu dengan atap seng yang telah berkarat dan tak mempunyai dinding. Namun masjid Cot Plieng di Desa Bayu, Aceh, itu masih berfungsi. Inilah monumen kebanggaan rakyat desa yang terletak sekitar 30 kilometer dari Lhok Seumawe. Suatu tonggak sejarah yang berdiri di atas puing-puing masjid lama, yang pertengahan November 1942 hancur dibombardir Jepang. Juga terbakar habis pesantren dan rumah Imam Teuku Abdul Jalil, pemimpin pesantren Cot Plieng. Itu peristiwa masa lalu. Kini melalui Machmud Masao Shirikawa, 64, orang Jepang yang sudah menjadi WNI sejak 1963, sejumlah sumbangan dari Negeri Matahari terbit ini mengalir ke Desa Bayu. 18 Februari lalu, terbentuk Panitia Pembagunan Masjid Cot Plieng yang dimotori 9 bekas opsir Jepang, dan berhasil menghimpun Rp 30 juta. Sedangkan dari masyarakat Aceh terkumpul Rp 5 juta. Biaya pembangunan diperkirakan Rp 40 juta. Dana yen bagi Pembangunan masjid Cot Plieng lebih didasari hubungan kemanusiaan. Bukan semacam pampasan perang yang memang kewajiban pemerintah Jepang. Ketika Perang Asia Timur Raya berakhir, 14 Agustus 1945, selain menderita kekalahan. Jepang juga menanggung utang. Karena mengacak-acak banyak negeri selama Perang, Mahkamah Internasional memutuskan, Jepang harus membayar ganti rugi alias pampasan perang. 1951, ada perundingan perdamaian antara Jepang dan Indonesia. Salah satu syarat dari pemerintah Republik, kala itu, untuk menandatangani perdamaian, menurut Roeslan Abdulgani, menlu RI 1956-1957, apabila Jepang bersedia membayar pampasan itu. Jepang bersedia, tetapi besarnya akan ditentukan kemudian. Menurut taksiran RI, besarnya ganti rugi itu sekitar US$ 17 milyar. Itu berdasar kerugian material saja. Angka tadi tak begitu saja diterima orang-orang Tokyo. Lewat berbagai perundingan yang panjang, hampir tujuh tahun, tuntutan turun menjadi US$ 1 milyar, yang akhirnya hanya US$ 800 juta. Pampasan yang di bawah lima persen dari tuntutan semula itu, separuhnya dibayar dalam bentuk bantuan lunak jangka panjang. Yang US$ 174 juta pembayarannya unik: utang RI ke Jepang -- yang terutama berupa impor barang modal -- dianggap lunas. Bantuan proyek gratis lebih dari US$ 223 juta. Jumlah yang terakhir ini yang termuat dalam pasal 4, Perjanjian Jepang-Indonesia, 1958, antara Soebandrio dan Aiichiro Fijiyama menteri luar negeri kedua negara. Dari uang pampasan yang terakhir diangsur selama dua belas tahun -- Indonesia bisa membangun industri perkapalan dan berbagai jembatan serta berbagai bendugan, misalnya Karangkates dan di Riam Kanan. Juga berbagai gedung tinggi Jakarta, misalnya Toserba Sarinah dan Wisma Nusantara. Sebagian digunakan beasiswa bagi orang-orang Indonesia ke Jepang. Lulusan eks Jepang itu kini bernaung di bawah Persada (Persatuan Alumni dari Jepang). A. Luqman, Laporan Biro: Jakarta, Medan, dan Tokyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini