Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Lebih baik dari sitiung ?

Transmigran pola sitiung akan diterima di sul-teng sebanyak 2.000 kk pada tahun anggaran 77/78. dalam proyek ini biaya dan fasilitas lebih tercurah dari pusat. ada 300.000 ha tanah sampai pelita iii.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SULAWESI Tengah mulai tahun anggaran 1977/1978 akan menerima 2.000 KK transmigran dengan mentrapkan pola Sitiung (TEMPO 11 Desember 1976). Gubernur Sulteng AM Tambunan sudah menyiapkan areal tanah di tepi jalan seluas 300.000 hektar untuk persiapan sampai Pelita III. PUTL pun bersama Nakertranskop akan mendrop 30 peralatan besar untuk pembenahan sarananya. Menurut rencana transmigran yang bakal dibawa ke sana berasal dari jebol desa sekitar gunung Merapi di Jawa Tengah. Tapi pola lama dengan transmigrasi umum tetap diteruskan dengan mendatangkan 2.800 KK - sesuai rencana semula. Apa perbedaan pola Sitiung dengan pola lama? Buat Sulteng, sebenarnya tak banyak perbedaan. Seperti dikatakan oleh drs. A. Amirroenas Ka Kanwil Direktorat Transmigrasi yang baru saja pulang meninjau Sitiung, perbedaan hanya terletak pada biaya. Menurut Amirroenas, pola Sitiung sebenarnya sudah sejak lama ditrapkan di Sulteng. Sejak lama di Sulteng sudah ada Badan Pembina Pembangunan Daerah Transmigrasi yang dibentuk dan diketuai oleh Gubernur Tambunan. Badan ini beranggotakan beberapa instansi yang secara aktip menangani pembinaan dan bimbingan proyek transmigrasi sesuai bidang masing-masing. Antaranya Dinas Pekerjaan Umum, Pertanian, Perkebunan, Peternakan, P dan K, Kesehatan, Agama, Pramuka, LSD dan WD. Pembinaan semacam ini sudah berjalan sejak Pelita II. "Soal kecepatannya, kita memang angkat tangan. Sebab setiap lokasi transmigrasi di Sulteng rata-rata membutuhkan waktu persiapan 1« sampai 2 tahun", ucap Amirroenas. Buat apa pola Sitiung ditrapkan kalau memang sudah lama Sulteng menjalankan pola semacam? Jawab Gubernur Tambunan: "Dengan pola Sitiung, berarti biaya dan fasilitas akan lebih banyak tercurah dari pusat". Apalagi pola semacam itu dikaitkan pula dengan penyediaan sarana secara lengkap dan cepat, misalnya jalan raya dalam lokasi tansmigrasi. Sarana semacam ini tidak mampu diusahakan oleh pemda sendiri lewat APBDnya. Apalagi sesuai dengan janji Menteri Sutami, rencana pola Sitiung ini berkaitan dengan rencana pembukaan lintas Sulawesi yang akan dikerjakan bulan April 1977. Di Sulteng, lokasi transmigrasi sebelumnya diisi dulu baru dibuatkan jalan. Itu pun hanya dengan swadaya pemda atau sedikit anggaran dari Nakertranskop. Lain halnya dengan proyek Sitiung, di samping ada lintas Sumatera yang hanya 4 km dari lokasi proyek dalam lokasi seluas 2.734,5 hektar itu juga tersedia jalan sepanjang 120 km. Bahkan peralatan besar yang dikerahkan untuk membenahinya sejumlah 65 buah. Jumlah itu tak sebanyak peralatan DPU di seluruh Sulteng. Pembukaan jalan itu tak lain karena pertimbangan kepadatan jumlah penduduk. Agar jalanjalan (terutama lintas Sulawesi) yang sudah dibiayai cukup besar itu tak mubazir. Sekarang Sulteng kepadatan penduduk baru mencapai 15 jiwa per kmÿFD dengan jumlah penduduk hanya 1,1 juta jiwa. "Asal kita dibuatkan jalan, berapa pun banyaknya transmigran bakal kita tampung", ucap Tambunan. Dengan adanya jalan, bukan saja akan ditarik manfaatnya oleh penduduk asli, tetapi juga akan menjamin masa depan transmigran sendiri. Mereka akan tak sukar lagi memasarkan hasil pertanian ke kota. Apa lagi perbaikan jalan ini memang sudah lama dirindukan. Sampai sekarang, dari 736,5 km jalan negara dan 1293,5 km jalan propinsi yang berfungsi baru 55%. Sisanya masih payah disebut sebagai jalan. Tapi mata bisa terbeliak mendengar biaya pola Sitiung. Untuk pembuatan rumah sederhana ukuran 34,5 MÿFD misalnya, harganya mencapai Rp 200.000. Padahal dengan kondisi lebih baik dari Sitiung, di Sulteng bisa dicapai hanya dengan Rp 150.000. Begitu pun upah membabat hutan hanya berkisar Rp 50.000 per hektar, sedang di Sitiung sampai mencapai Rp 200.000. Belum lagi hak "pensiun" Rp 1,5 juta per tahun untuk transmigran Sitiung yang berarti 5 kali lipat dari jumlah yang didapat transmigrasi umum. "Dengan biaya melimpah begini, kita bisa lebih baik mengatur dari Sitiung sendiri", ucap Amirroenas. Nampaknya pola biaya Sitiung ini (ditambah jaminan sarananya) menjadi inceran Sulteng untuk bergegas siap menerima 2.000 KK jebol desa ~dari Merapi itu. Nah, terbukti. Pejabat pusat pun mulai dari Bappenas, PUTL sampai Nakertranskop - sejak akhir Januari lalu sudah mulai ramai berdatangan ke sana. Bahkan Menteri PUTL Sutami dan Menteri Nakertranskop Subroto sudah memasang acara bulan Pebruari ini akan berkunjung ke sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus