Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Melihat

Laporan hasil kunjungan Husni Alatas, koresponden TEMPO, ke proyek transmigrasi Sitiung, Sumatera Barat. Transmigran datang setiap minggu 1 rombongan, 100 kk, hingga terpenuhi 2000 kepala keluarga.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAK pejabat negara diantar dengan segala kehormatan, depan deretan bus yang mengangkut transmigran asal Wonogiri itu menderu sebarisan polisi lalulintas berkenderaan sepeda motor. Kemudian dua jip dengan kap terbuka penuh dengan petugas LLAJR. Dengan sirene meraung sepanjang jalan, mereka dibawa ke tempat pemukiman baru di Sitiung, 270 km dari Padang. Sebelum masuk rumah tinggal masing-masing, diadakan upacara penerimaan ditambah pidato-pidato dan kalungan bunga untuk pimpinan rombongan. Sesudah itu saling peluk-memeluk antara pendatang baru dan yang sudah lebih duluan tiba, disertai percakapan bahasa Jawa yang tentu saja asing buat telinga orang awak di sana. Acara rutin begini, seminggu sekali, adalah acara menjemput setiap kedatangan 100 KK per trip. Dan akan berlangsung terus sampai Maret 1977 hingga penempatan 2.000 KK seluruhnya terpenuhi. Transmigran umum bahkan yang sudah lama tinggal tak jauh dari Sitiung - tak pernah mengalami perlakuan istimewa semacam ini. Di Sulteng, pernah terjadi para transmigran terpaksa diangkut dengan truk atau traktor, malah pernah ada yang berjalan kaki atau naik gerobak sapi menuju lokasi penempatannya. Sitiung, termasuk sebuah nagari (setingkat desa) di kecamatan pulau Punjung kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Dulunya hutan dan banyak pohon karet. Konon pernah menjadi tempat mukim harimau. Kini mendadak-sontak bangun menjadi desa baru berwajah "wayang" di tengah kultur Minang yang dominan. Sejumlah 80.000 pohon karet milik rakyat diikhlaskan ditebang untuk mendirikan desa baru ini. Baru tiga bulan Sitiung dihuni transmigran Wonogiri, pekarangan-pekarangan rumah sudah kelihatan hijau dengan tanaman muda seperti singkong, kacang-kacangan. Ada pula yang menanam nenas. Sayang ada di antara mereka yang cemas: tanah Sitiung tidak sesubur seperti yang diharapkan. Ada jenis tanaman muda yang mati sebelum mereka nikmati. Tapi umumnya para keluarga transmigran optimis akan masa depan mereka. Desa baru itu cepat mekar dan ramai. Suasana desa Jawa begitu cepat mereka "duplikatkan" Sitiung. Berkumpul di bawah pohon-pohon rindang, berlalu-lalang ngalor-ngidul diselingi pedagang-pedagang wanita yang ramai berjualan, mulai dari pisang goreng sampai rujak. Sementara bocah-bocah bercelana katok atau telanjang bermain atau berlarian. "Mangan ora mangan angger kumpul " (makan tidak makan asal kumpul) - pepatah Jawa yang membuat mereka sukar meninggalkan "tanah leluhur" - rupanya sudah dipupus. Di desa baru ini mereka diminta "berkiblat" kepada pepatah ranah Minang yang menjadi harapan ninik mamak pula ketika dengan nada lapang menerima mereka: "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung . . . ".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus