PAK pejabat negara diantar dengan segala kehormatan, depan
deretan bus yang mengangkut transmigran asal Wonogiri itu
menderu sebarisan polisi lalulintas berkenderaan sepeda motor.
Kemudian dua jip dengan kap terbuka penuh dengan petugas LLAJR.
Dengan sirene meraung sepanjang jalan, mereka dibawa ke tempat
pemukiman baru di Sitiung, 270 km dari Padang. Sebelum masuk
rumah tinggal masing-masing, diadakan upacara penerimaan
ditambah pidato-pidato dan kalungan bunga untuk pimpinan
rombongan. Sesudah itu saling peluk-memeluk antara pendatang
baru dan yang sudah lebih duluan tiba, disertai percakapan
bahasa Jawa yang tentu saja asing buat telinga orang awak di
sana.
Acara rutin begini, seminggu sekali, adalah acara menjemput
setiap kedatangan 100 KK per trip. Dan akan berlangsung terus
sampai Maret 1977 hingga penempatan 2.000 KK seluruhnya
terpenuhi. Transmigran umum bahkan yang sudah lama tinggal tak
jauh dari Sitiung - tak pernah mengalami perlakuan istimewa
semacam ini. Di Sulteng, pernah terjadi para transmigran
terpaksa diangkut dengan truk atau traktor, malah pernah ada
yang berjalan kaki atau naik gerobak sapi menuju lokasi
penempatannya.
Sitiung, termasuk sebuah nagari (setingkat desa) di kecamatan
pulau Punjung kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Dulunya hutan dan
banyak pohon karet. Konon pernah menjadi tempat mukim harimau.
Kini mendadak-sontak bangun menjadi desa baru berwajah "wayang"
di tengah kultur Minang yang dominan. Sejumlah 80.000 pohon
karet milik rakyat diikhlaskan ditebang untuk mendirikan desa
baru ini. Baru tiga bulan Sitiung dihuni transmigran Wonogiri,
pekarangan-pekarangan rumah sudah kelihatan hijau dengan tanaman
muda seperti singkong, kacang-kacangan. Ada pula yang menanam
nenas. Sayang ada di antara mereka yang cemas: tanah Sitiung
tidak sesubur seperti yang diharapkan. Ada jenis tanaman muda
yang mati sebelum mereka nikmati.
Tapi umumnya para keluarga transmigran optimis akan masa depan
mereka. Desa baru itu cepat mekar dan ramai. Suasana desa Jawa
begitu cepat mereka "duplikatkan" Sitiung. Berkumpul di bawah
pohon-pohon rindang, berlalu-lalang ngalor-ngidul diselingi
pedagang-pedagang wanita yang ramai berjualan, mulai dari pisang
goreng sampai rujak. Sementara bocah-bocah bercelana katok atau
telanjang bermain atau berlarian. "Mangan ora mangan angger
kumpul " (makan tidak makan asal kumpul) - pepatah Jawa yang
membuat mereka sukar meninggalkan "tanah leluhur" - rupanya
sudah dipupus. Di desa baru ini mereka diminta "berkiblat"
kepada pepatah ranah Minang yang menjadi harapan ninik mamak
pula ketika dengan nada lapang menerima mereka: "Di mana bumi
dipijak, di situ langit dijunjung . . . ".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini