Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Difabel

Lebih dari 100 Anak Berkebutuhan Khusus Mengalami Kekerasan Selama Pandemi

Ada beberapa jenis kerentanan yang dialami anak berkebutuhan khusus selama pandemi Covid-19.

22 Agustus 2021 | 08.43 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi difabel. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu kerentanan anak berkebutuhan khusus di masa pandemi Covid-19 adalah mendapat tindak kekerasan dan eksploitasi. Data Simfoni Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak atau KPPPA menunjukkan, terdapat 110 kasus kekerasan terhadap anak difabel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Data Simfoni KPPPA per 30 Maret 2021 mencatat terdapat 110 kasus anak disabilitas yang mengalami kekerasan dari 1.355 kasus anak yang dilaporkan kepada kami," ujar Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus KPPPA, Elvi Hendrayani, dalam webinar Perlindungan Anak Disabilitas dari Kekerasan Selama Pandemi, yang diinisiasi oleh Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Jumat 20 Agustus 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KPPPA menyebutkan beberapa jenis kerentanan yang dialami anak berkebutuhan khusus selama pandemi Covid-19. Di antaranya kehilangan hak pengasuhan lantaran orang tua atau wali meninggal karena Covid-19 hingga eksploitasi oleh keluarga yang menganggap kondisi disabilitas anak dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomi. "Ada juga kesalahan memahami anak berkebutuhan khusus dengan lingkungan di sekitarnya, misalkan mengalami kesulitan belajar sehingga rentan dimarahi atau menerima kekerasan," kata Elvi.

Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya, Irwanto mengatakan, kerentanan yang dialami anak berkebutuhan khusus selama masa pandemi disebabkan anak difabel bukan populasi homogen. "Anak berkebutuhan khusus memiliki variabel yang sangat banyak," kata dia. Irwanto membagi variabel kedisabilitasan menjadi tiga kelompok, yakni kognitif, fungsional, serta emosional dan perilaku.

Menurut Irwanto, semakin serius derajat kedisabilitasan seorang anak, maka semakin rentan pula anak tersebut menalami kekerasan. "Apalagi yang multi-disabilitas, jangankan membela diri, melakukan komunikasi saja bisa sangat sulit," ujarnya. Kondisi semakin parah dengan tanda-tanda disabilitas yang tidak kasat mata oleh lingkungannya. Dia mencontohkan disabilitas mental intelektual.

Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad mengatakan, jenis kekerasan yang diterima oleh penyandang disabilitas dipengaruhi oleh faktor jenis kedisabilitasannya. "Jadi, jenis kekerasan yang diterima oleh penyandang disabilitas tidak dapat disamaratakan, tergantung jenis disabilitasnya," kata Bahrul.

Pria yang disapa Cak Fu ini mencontohkan, kekerasan terhadap anak dengan disabilitas pendengaran akan berbeda dengan kekerasan yang diterima oleh anak dengan disabilitas penglihatan. Pelaku tindak kekerasan akan beranggapan, anak dengan disabilitas pendengaran tidak akan melapor karena tidak dapat berkomunikasi. Dan pelaku kekerasan kepada anak dengan disabilitas penglihatan beranggapan anak tersebut tidak dapat menceritakan siapa pelakunya.

Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap anak berkebutuhan khusus yang berbasis gender, terutama perempuan selama pandemi yang patut menjadi perhatian adalah kejahatan berbasis online. Hingga 31 Maret 2021, Komnas Perempuan merekam peningkatan kejahatan berbasis cyber naik signifikan sebanyak 300 persen. Kasus ini banyak terjadi pada perempuan dan sebagian besar adalah anak.

Baca juga:
Difabel Satu Kaki Pakai Celana Pendek Saat Bersepeda, Sering Dicegat - Dibuntuti

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus