Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Petisi berjudul ‘Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!’ di laman charge.org per Rabu, 18 Desember 2024 pukul 15.25 WIB, telah ditandatangani oleh 65.171 orang. Mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto membatalkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggagas petisi, Bareng Warga, menilai kenaikkan PPN jadi 12 persen itu justru akan membuat kondisi ekonomi masyarakat Indonesia makin sulit. Menurut mereka, kenaikan PPN juga dilakukan pada saat yang tidak tepat karena masih tingginya angka pengangguran di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kita tentu sudah pasti ingat, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas," bunyi petisi tersebut.
"Atas dasar itu, rasa-rasanya Pemerintah perlu membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam UU HPP. Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membesar dan menyebar ke mana-mana," tulis mereka.
Airlangga: Bukan pemerintah yang menentukan kenaikan PPN 12 persen
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, bukan pemerintah yang menentukan kenaikan PPN menjadi 12 persen, tapi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Airlangga menyebutkan, kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan keputusan DPR RI lewat pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HHP).
Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini mengatakan, semua fraksi di Senayan, kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menyetujui pengesahan undang-undang tersebut. DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 dalam sidang paripurna pada 7 Oktober 2021.
“Jadi yang menentukan bukan pemerintah,” kata Airlangga di Bandara Halim Perdana Kusumah, Jakarta Timur, Selasa, 17 Desember 2024.
Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, penerapan PPN 12 persen ini akan dikenakan pada barang dan jasa dalam kategori mewah. Ia menyebut, selama ini, barang dan jasa mewah banyak dikonsumsi oleh penduduk kaya dengan pengeluaran menengah ke atas yang masuk dalam kategori desil 9 hingga 10.
“Kami akan menyisir untuk kelompok harga barang dan jasa yang masuk kategori barang dan jasa premium tersebut,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Paket Stimulus Ekonomi di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin, 16 Desember 2024.
Sri Mulyani mencontohkan beberapa barang dan jasa kategori mewah yang akan terkena PPN 12 persen, yaitu beras premium, buah-buahan premium, daging premium (seperti wagyu dan daging kobe), ikan premium (seperti salmon dan tuna premium), udang, dan crustacea premium (seperti king crab).
Selanjutnya, jasa pendidikan premium seperti layanan pendidikan mahal dan berstandar internasional, jasa pelayanan kesehatan medis premium atau VIP, serta listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3.500 hingga 6.600 VA.
Di samping itu, Sri Mulyani juga menyebutkan beberapa jenis komoditas yang tidak terkena PPN, seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula konsumsi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, dan pemakaian air.
Ada juga sejumlah komoditas pokok lain yang pajaknya bertahan di angka 11 persen, seperti tepung terigu, gula industri, dan Minyakita. Pemerintah mempertahankan tarif PPN ketiga komoditas tersebut dengan menggunakan mekanisme kebijakan insentif pajak ditanggung pemerintah.
Eka Yudha Saputra, Oyuk Ivani, dan Andry Triyanto berkontribusi dalam penulisan artikel ini.