Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bonnie Triyana mengatakan pemberedelan terhadap pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional makin melanggengkan praktik persekusi terhadap kebebasan berkesenian. Bonnie menilai tindakan tersebut adalah ancaman serius bagi kebebasan di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan catatan Bonnie, sepanjang lima tahun terakhir, ada 15 kasus persekusi terhadap kegiatan seni dan budaya. Jumlah itu, kata dia, bisa saja melebihi hasil pemantauannya. “Itu jumlah yang banyak dan tidak pantas terjadi saat ini,” kata Bonnie yang merupakan kader PDI Perjuangan saat ditemui di kawasan Cikini, Ahad, 22 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bonnie mengatakan, selain pelarangan terhadap lukisan Yos Suprapto, pada 2021 dan 2022 marak terjadi pelarangan terhadap karya mural. Di Tangerang, misalnya, ada mural menggambarkan sosok Joko Widodo yang dihapus.
“Jadi bagaimana kita sebagai bangsa yang berbudaya, tapi di dalam kegiatan seni dan kebudayaan belum leluasa,” katanya.
Dia mengatakan persekusi terhadap kegiatan kesenian merupakan tabiat kekuasaan otoriter. Hal ini marak terjadi pada masa orde baru. Menurut dia, pelarangan itu merupakan upaya kekuasaan dalam memberikan tafsir tunggal terhadap ekspresi kesenian.
“Kalau tafsir tunggal kekuasaan diberlakukan dalam soal ini, ya, selesai kita. Sama seperti yang terjadi di zaman orde baru,” ujar dia.
Adapun Yos Suprapto, perupa yang sedianya menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional hingga 19 Januari 2025, memutuskan untuk menurunkan karyanya. “Otw Galnas,” kata Yos saat dikonfirmasi Tempo melalui pesan singkat WhatsApp, siang ini.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Fadhil Alfathan menuturkan, alasan pelukis Yos Suprapto menurunkan karyanya di Galeri Nasional merupakan bentuk kekecewaan terhadap lembaga kesenian. “Penurunan karya tersebut adalah bentuk kekecewaan Pak Yos terhadap lembaga kesenian yang membatasi pamerannya,” kata Fadhil.
Koalisi Seni mencatat situasi kebebasan berkesenian di Indonesia jauh lebih mengkhawatirkan. Koalisi mencatat kasus persekusi terhadap kegiatan seni jauh lebih banyak dibanding yang dicatat oleh Bonnie.
Dalam laporan Koalisi Seni pada 2022, setidaknya terdapat 33 peristiwa pelanggaran terhadap kegiatan kesenian. Semua kasus itu yang hanya terekam dalam pemberitaan media. “Yang tidak tercatat mungkin lebih banyak lagi,” tulis laporan tersebut.
Pelanggaran terhadap kebebasan berkesenian itu meliputi tidak dikeluarkannya perizinan, pelarangan karena dianggap mengganggu ketertiban serta bertentangan dengan norma di daerah tertentu. “Penolakan terhadap kegiatan seni tertentu juga dilakukan dengan mempersulit izin acara,” kata Ratri Ninditya, penulis laporan tersebut.
Kasus pelanggaran terhadap kegiatan kesenian paling banyak terjadi pada pertunjukan musik yaitu 21 kasus, seni tari 11 kasus, teater 5 kasus, seni rupa 4 kasus, film dan sastra masing-masing 1 kasus.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengatakan pelarangan terhadap kebebasan berkesenian mencerminkan tindakan yang kerap terjadi di negara otoriter. Menurut Usman, tindakan pelarangan pameran itu bertentangan dengan kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Indonesia telah meratifikasi kovenan tersebut sebagai payung hukum dalam menjamin kebebasan berekspresi warga negara.
“Ketentuan dari pasal 19 kovenan tersebut menjamin kemerdekaan berekspresi dari setiap orang, termasuk seniman,” ujar dia.
Usman menilai tindakan pelarangan atas karya seni itu mendekatkan Indonesia ke arah otoriter. Dia mengatakan ada tiga alasan yang selalu digunakan oleh negara-negara otoriter ketika membatasi karya seni, yaitu mengganggu stabilitas politik, mengganggu norma agama, dan dianggap mengganggu norma sosial ekonomi.
“Tampaknya Indonesia belakangan ini memang tidak lagi dikategorikan sebagai negara dengan kualitas demokrasi yang baik, dimana kebebasan ekspresi dijamin. Karena ada tiga problem yang terjadi dalam tahun-tahun terakhir,” kata Usman
Pameran bertajuk ‘Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan’ yang memamerkan karya Yos Suprapto rencananya dibuka pada Kamis malam, 19 Desember 2024. Namun beberapa menit sebelum pembukaan pameran, pintu kaca digembok dan lampu dimatikan.
Menurut Suprapto, pangkal dari pembatalan ini adalah karena kurator yang ditunjuk Galeri Nasional, Suwarno Wisetrotomo, meminta lima dari 30 lukisannya diturunkan. Namun, Yos menolak. Lima lukisan itu berhubungan dengan salah satu tokoh di Indonesia. Yos menyatakan tidak ada yang salah dengan karyanya dalam pameran tunggal di Galeri Nasional itu.
“Pameran saya yang bertajuk kebangkitan tanah dan kedaulatan pangan, jelas sekali mengusung isu-isu sosial yang saya rangkum dalam bentuk visual. Bagi saya isu sosial itu tidak bisa dipisahkan dari hukum sebab-akibat seperti halnya ilmu eksakta," kata Yos di Gedung YLBHI-LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 21 Desember 2024.
Sementara itu, kurator pameran Suwarno Wisetrotomo memutuskan untuk mundur karena tidak sepakat dengan Yos terhadap karya-karya di pameran ini. “Menurut pendapat saya, ada dua karya yang terdengar seperti makian semata, terlalu vulgar, sehingga kehilangan metafora yang merupakan salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektif,” kata Suwarno melalui pernyataan resminya, Jumat, 20 Desember 2024.
Adapun Menteri Kebudayaan Fadli Zon membantah telah terjadi pemberedelan terhadap pameran Yos Suprapto. “Tidak ada pembungkaman, tidak ada beredel. Kami ini mendukung kebebasan berekspresi," kata Fadli kepada wartawan di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat malam, 20 Desember 2024.
Politisi Partai Gerindra ini mengklaim batalnya pembukaan pameran itu karena ada lukisan Yos Suprapto yang dinilai melenceng dari tema dan memuat unsur politik. Fadli juga menilai ada lukisan itu yang bersifat tidak senonoh.
Advist Khorunnikmah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.