Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Magrib Berdarah di Bireun

Enam anggota marinir tewas dalam penyerangan mendadak di Bireun, Aceh. Akibat konflik internal tentara atau AGAM yang semakin beringas?

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOA-DOA belum lagi selesai diucapkan ketika suara ledakan dahsyat itu tiba-tiba berdentum. Padahal, hari belum genap malam. Azan magrib belum lama berkumandang. Tiga belas marinir anggota Pos Komando Marinir Desa Ujoengblang, Bireun, Aceh Jeumpa, itu Senin pekan lalu bersama beberapa penduduk baru saja mengakhiri salat magrib berjamaah mereka di meunasah (musala). Tapi ledakan tak dapat ditahan. Pasukan penyerang tiba-tiba datang dari arah barat, timur, dan tenggara. Tiga dentuman dari senjata pelontar granat GSM memekakkan telinga, disusul rentetan peluru senjata jenis Minimi. Prajurit elite Angkatan Laut itu tiarap dan berusaha memberikan perlawanan, tapi gagal: saat salat, mereka memang tak bersenjata. Seorang prajurit marinir yang menyimpan senjata dalam mantel senjata dekat tubuhnya pun tak mampu berbuat banyak. Dalam sekejap, kepalanya berlubang diterjang peluru. Pertempuran 15 menit itu meninggalkan korban. Empat prajurit ambruk di sekitar meunasah dengan lubang peluru menganga di tubuh dan kepala mereka. Dua lainnya terkapar di dekat posko yang jaraknya hanya 50 meter dari rumah ibadah itu. Selain itu, tiga prajurit lainnya mengalami luka berat, tiga luka ringan, dan seorang lagi, Prajurit Dua Yudi S., hilang tanpa jejak. Mengapa pasukan marinir diserang? Ini yang mengherankan. Selama ini, kinerja marinir di Aceh lumayan bagus. Mereka umumnya dekat dengan masyarakat dan tidak suka main sweeping. Maklumlah, semenjak pertama kali diterjunkan di Aceh pada 1991, tugas kesatuan itu hanya menangkal penyelundupan senjata melalui laut. Kontak senjata dengan kelompok sipil bersenjata baru pertama kali ini terjadi. ''Mereka selalu salat berjamaah dengan masyarakat, bahkan sering kali ikut gotong-royong," kata Adam, warga Bireun. Bahkan, juru bicara Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM), Ismail Syahputra, mengakui perihal kedekatan marinir dengan rakyat ini. ''Warga dan marinir memang kompak," katanya. Tapi, justru karena kekompakan itu, berbagai spekulasi pun muncul. AGAM menuduh pasukan marinir dibokong satuan Brigade Mobil (Brimob) dari kepolisian. Beberapa saat sebelum kejadian, memang ada satu tim Brimob BKO (Bawah Kendali Operasi) Kepolisian Sektor Jeumpa menumpang truk Rio datang ke posko marinir. Entah untuk urusan apa, sesaat kemudian truk itu pergi. ''Mungkin itu yang dikatakan oleh GBPK (Gerombolan Bersenjata Pengacau Keamanan—sebutan aparat untuk AGAM) bahwa Brimob datang untuk membunuh marinir," kata Lettu Edi, Kepala Penerangan Komando Resor Militer 011/Lilawangsa. Menurut Ismail Syahputra, Brimob tidak suka atas popularitas satuan Angkatan Laut tersebut. Suatu ketika, masih menurut cerita juru bicara AGAM itu, marinir pernah diminta Brimob melakukan penyisiran (sweeping) bersama mereka. Tapi permintaan tersebut ditolak pasukan Angkatan Laut itu. ''Tujuannya, ya, untuk membuat marinir bentrok dengan rakyat," kata Ismail lagi. Meski mungkin saja terjadi, dugaan Ismail sebenarnya rada janggal. Soalnya, selama ini, belum pernah ada peristiwa yang menunjukkan bukti atas rivalitas marinir dan Brimob tersebut. Selain tugas kerja dua kesatuan ini berbeda, satuan marinir juga dikenal low profile. Tapi Ismail punya alasan lain untuk menduga bahwa Brimob terlibat. Menurut dia, lokasi meunasah tempat marinir diserang itu dekat dengan posko marinir, sehingga mestinya cukup aman dari serangan pihak luar (lihat peta lokasi). Tidak mungkin pihak AGAM bisa masuk ke sana, kata Ismail, kecuali sang musuh dalam selimut tadi. Cerita versi ini kontan dibantah oleh penduduk sekitar lokasi penyerbuan. Kata mereka, serangan itu berhasil menewaskan prajurit marinir karena marinir lengah akibat terlalu percaya kepada keamanan di sekitar lokasi. Aparat keamanan bahkan balik menuduh bahwa AGAM-lah yang mendalangi peristiwa magrib berdarah tersebut. Komandan Komando Distrik Militer 0103/Aceh Utara, Letkol Inf. Suyatno, bahkan telah mengidentifikasi keterlibatan tokoh AGAM bernama Tengku Muslem dalam peristiwa itu. ''Daerah itu memang berada dalam area wilayahnya," kata Suyatno. Keberadaan Tengku Muslem ini memang kontroversial. Beberapa penduduk Bireun mengatakan keberadaan Muslem sering menggelisahkan. Pasukannya kerap meminta sumbangan atas nama perjuangan AGAM, melakukan penjualan atribut AGAM dengan paksa, bahkan terkadang melakukan perampasan kendaraan bermotor. Karena itu, pimpinan teras AGAM menolak ada jajarannya yang bernama Muslem. Di wilayah Bireun, kata Ismail Syahputra, pimpinan perang ada di tangan Komandan Azis, Tengku Darwis, dan Tengku Yakob. ''Tengku Muslem itu karangan fiktif aparat saja," kata Ismail. Yang mana yang benar? Sulit memang memastikannya. Manajemen organisasi AGAM sendiri memang memungkinkan pasukannya timbul-tenggelam di antara masyarakat. Sebentar muncul dan keberadaannya diakui, sebentar kemudian hilang dan identitasnya disangkal. Kematian Abu Arafah—salah satu panglima perang AGAM—beberapa waktu lalu merupakan salah satu contoh bagaimana AGAM bisa membantah keberadaan pasukannya. Polisi mengaku telah menembak Abu Arafah, tapi AGAM menolak punya pasukan bernama demikian. Sebagai strategi perang, sikap seperti ini tentu tidak salah. Tapi, untuk klarifikasi persoalan—apalagi jika sampai ada anggota AGAM yang melakukan pemerasan—sikap ini tentu merepotkan rakyat Aceh yang katanya dibela AGAM. Siapa AGAM dan siapa bukan AGAM jadi membingungkan. Di luar itu semua, kunci ke arah terkuaknya kasus Bireun sebetulnya ada pada Prajurit Dua Yudi S., yang kini hilang. Dialah yang bisa menjelaskan siapa yang berada di belakang serangan mendadak tersebut. Tentara percaya Yudi berada di tangan AGAM. Seorang sumber TEMPO yang mengenal betul organisasi Aceh Merdeka memastikan bahwa Yudi berada dalam status tawanan AGAM. Artinya, kemungkinan AGAM-lah yang melakukan penyerangan tersebut. Aparat memang telah berupaya keras menemukan Yudi. Sayang, penyisiran yang mereka lakukan beberapa hari setelah kejadian belum membuahkan hasil. Walhasil, kisah magrib berdarah di Bireun, Senin lalu, agaknya bakal menjadi misteri—seperti halnya misteri kekerasan lainnya yang dilakukan baik tentara maupun AGAM selama ini: terlacak tapi tak terungkap, terungkap tapi pelakunya tak bisa dipaksa bertanggung jawab. Tanah Rencong terlalu lama menyimpan kabut rahasia. Arif Zulkifli, Zainal Bakri (Lhoksemauwe), J. Kamal Farza (Banda-aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus