Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

BUMN di Tangan Partai Politik

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMOKRASI boleh saja diyakini sebagai sistem politik yang terbaik, tapi bukan berarti tak ada sisi gelapnya. Ekses kaitan antara politik dan uang adalah salah satu di antaranya. Maka, ketika Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan akan mengganti delapan direktur utama badan usaha milik negara (BUMN), teropong perhatian masyarakat selayaknya diarahkan pada proses pengambilan keputusan di balik pernyataan itu. Pasalnya, BUMN selama ini dikenal sebagai gudang duit bagi kalangan birokrat, penguasa, dan para kroni mereka. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak pimpinan institusi bisnis milik negara yang hidup mewah pada masa lalu, kendati lembaga yang dikelolanya rugi melulu. Memang, sekarang pemerintahan telah berganti, tapi budaya yang sudah menyeruak di dalam BUMN selama tiga dekade tentu tak langsung berubah dan pasti akan meninggalkan sejumlah residu. Residu itu bisa berbagai kemungkinan. Yang paling berbahaya adalah bila BUMN tetap menjadi sapi perah bagi para pengelolanya dan kekuasaan yang menempatkan mereka di lahan basah itu. Ancaman seperti ini tak cuma terjadi di negara berkembang, melainkan juga di negara-negara maju. Hanya, untuk kedua kelompok negara yang berbeda kesejahteraannya ini, tujuan menguasai BUMN tidak persis sama. Di negara maju seperti AS, Jerman, Prancis, dan Jepang, soal patgulipat ini dimaksudkan sebagai alat menggalang dana politik untuk kampanye dan mengooptasi lawan. Di negara berkembang seperti Indonesia, lebih banyak yang mengucur ke kantong pribadi ketimbang kas rahasia partai. Apalagi jika sistem perpartaian yang berlaku masih mengacu pada ketokohan sang pemimpin dan bukan landasan tempat berpijaknya visi partai. Senang atau tidak, kondisi nyata di Indonesia saat ini membuat kita mesti berdebar-debar. Sebab, sulit untuk dimungkiri bahwa kebanyakan partai politik di Tanah Air terlalu bertopang pada karisma pemimpinnya. Selain itu, tingkat kesejahteraan pegawai negeri, termasuk di BUMN, masih jauh dari bersaing dibandingkan dengan sejawat mereka di swasta. Apalagi kondisi perpolitikan pada era Orde Baru telah menyebabkan partai-partai lama terbonsai kemampuan organisasinya, termasuk—ini yang paling penting—kemandirian sistem pendanaannya. Adapun partai-partai baru tentu lebih parah lagi. Karena itu, jangan heran jika kelompok-kelompok politik yang paling nyaring menghujat Orde Baru dan mendewa-dewakan reformasi pun membuka lowongan kepengurusannya kepada tokoh-tokoh Orde Baru, yang tak sungkan mengucurkan pundi-pundi rupiahnya bagi mereka. Apa boleh buat, membuat kaus untuk jutaan pendukung tentu perlu dana yang lumayan. Menyewa helikopter untuk kampanye pemimpin partai tidaklah murah. Bahkan, mengumpulkan sejumlah orang untuk bersarasehan pun perlu biaya untuk sekadar kopi dan makanan kecilnya. Sebagian tentu disumbangkan dengan sukarela oleh para simpatisan, tapi terlalu naif untuk menyatakan tak cukup banyak yang berharap pamrih di belakangnya. "Tak ada makan siang gratis (There is no free lunch)," kata pepatah Inggris. Maka, setelah ingar-bingar pemilu berlalu dan partai-partai yang berkuasa menaruh orang-orangnya di pemerintahan, desakan untuk membayar balas budi kental terasa. Acap kali yang diminta memang bukan posisi strategis untuk pribadi—mereka tidak sebodoh itu—tapi untuk orang-orangnya. Posisi kepemimpinan di BUMN termasuk peringkat tinggi dalam daftar mereka. Selain untuk menimbulkan kembali peluang mengeruk rupiah, setidaknya untuk menutupi pencurian mereka pada masa lalu. Tapi, haruskah kita menyerah kepada para pencuri ini? Rasanya masih cukup banyak orang yang punya akal sehat untuk menolaknya. Bagaimana kekuatan partai politik akan bersikap terhadap pencalonan pimpinan BUMN yang bukan dan yang dari kelompoknya akan menunjukkan warna asli mereka. Yang jelas, sebaiknya Presiden Abdurrahman Wahid tidak menggunakan pertimbangan yang sama dalam memilih para direktur utama BUMN seperti ketika menyusun kabinetnya. Sebab, jika ini dilakukan, berarti mendekatkan minyak dan api. Korupsi untuk kepentingan partai jauh lebih rendah hambatan psikologisnya dibandingkan dengan untuk memperkaya diri. Bisa saja sang pelaku, yang sangat meyakini kebenaran partainya, menganggap yang dilakukan adalah bagian dari perjuangan. Padahal, korupsi tetap saja korupsi, tak peduli hasilnya untuk apa. Maka, bursa pencalonan memang sebaiknya dibatasi pada kalangan profesional yang punya reputasi baik dan tidak mempunyai afiliasi politik. Bahkan, kalau bisa juga yang dikenal tidak mempunyai ambisi politis. Soalnya, pengalaman di Rusia menunjukkan para penguasa BUMN kaya raya berkolusi dengan jaringan kekuasaan dan membentuk kerajaan bisnis yang akhirnya malah menentukan perpolitikkan negara itu. Jelas sebuah contoh yang ingin kita jauhkan dari republik ini. Salah satu cara menghindarkannya adalah dengan menentukan masa jabatan yang terbatas. Juga dengan meminta para calon bersedia diaudit kekayaan pribadinya sebelum menjabat, secara periodik saat menjabat, dan pada akhir masa tugasnya. Tentu rinciannya tak perlu dipublikasikan kepada khalayak selama audit dilakukan oleh lembaga yang punya reputasi internasional Setelah itu: kita rajin-rajin berdoa menurut keimanan masing-masing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus